Agama adalah Candu, Agama sebagai Peluru
Ketika Pak Martin Aleida menghubungi saya melalui Facebook dan menanyakan alamat untuk mengirimkan buku terbarunya, tentu saya tidak berkeberatan untuk memberikannya.
Namun, saya tidak mengira bahwa ia akan mengirimkan bukunya itu dengan catatan “URGENT” yang tertera dicap dekat tulisan alamat pengiriman. Buku macam apa yang dikirim dengan catatan “URGENT”? batin saya ketika menerima paket tersebut. Tulisan enam huruf dalam tinta merah itu jugalah yang membuat saya segera membongkar plastik dan amplop coklat yang membungkus kiriman tersebut.
Buku berjudul Ritus Panjang untuk Simon saya terima tanpa plastik tipis yang biasanya membalut buku baru. Di bawah judulnya tertera keterangan “(Sebuah Novel)” yang dicantumkan seakan-akan penulis khawatir bukunya akan disalahpahami sebagai buku rohani. Meski saya sendiri merasa buku tersebut lebih tepat dinamakan novela alih-alih novel karena hanya berisikan 106 lembar halaman dengan ukuran tulisan dan jarak spasi yang cukup besar.
Identifikasi jenis tulisan yang dilakukan penulis pada gilirannya membentuk ekspektasi tertentu dalam kepala saya. Saya membayangkan–dan berharap–buku tersebut akan bekerja layaknya novel yang sering saya baca: memiliki tokoh utama dengan karakter yang kompleks dan berinteraksi dengan beberapa karakter sampingan dalam perjalanan alur yang panjang dan/ atau dimainkan sedemikian rupa.
Hal lain yang tidak luput dari perhatian saya tentu keberadaan ilustrasi Chairil Anwar yang terinspirasi dari salah satu fotonya yang cukup popular dan mudah kita temukan di internet. Dalam sampul Ritus Panjang untuk Simon, Chairil tampak berdiri dengan latar belakang lanskap matahari terbenam di lepas pantai. Siluet orang-orang yang berburu di laut dengan perahu dan peralatan sederhana menghiasi latar tersebut. Hadirnya sosok Chairil di sampul muka menimbulkan ekspektasi lain dalam benak saya, yakni buku ini akan menceritakan kisah seorang penyair bernama Simon yang memiliki keterkaitan dalam bentuk apa pun dengan Chairil.
Digerakkan oleh catatan “URGENT” dan dengan kepala yang terlanjur dipenuhi ekspektasi, saya mulai membaca buku tersebut.
Saya langsung terpukau dengan sosok Simon yang diperkenalkan tanpa banyak bertele-tele di bagian awal cerita. Ia adalah seorang pemuda incaran tentara yang lolos dari timah panas tembakan aparat. Tensi cerita berhasil dibangun dengan penggambaran pelarian Simon ke dalam hutan sampai akhirnya ia tiba di tengah hutan dan lepas dari kejaran tentara.
Pembaca selanjutnya diperkenalkan lebih lanjut dengan tokoh utama melalui penarasian narator dan dialog yang dilontarkan Simon. Ia adalah seorang aktivis tani yang relijius, ditunjukkan dari doa ucapan syukur yang disampaikannya setelah berhasil lolos dari kejaran tentara.
Penggambaran relijiusitas tokoh utama semakin diperkuat dengan penjabaran narator tentang hasil pemaknaan Simon atas Injil, khususnya atas tokoh Simon dalam Injil. Paling tidak ada sembilan tokoh bernama Simon yang dapat kita temukan dalam Injil, antara lain 1) Simon Petrus (salah seorang dari 12 rasul Yesus; Matius 4:18), 2) Simon orang Zelot (salah seorang dari 12 rasul Yesus; Markus 3:18), 3) Simon (salah satu saudara laki-laki Yesus; Markus 6:3), 4) Simon tukang sihir (orang yang menawarkan uang kepada para rasul sebagai alat tukar Roh Kudus; Kisah Para Rasul 8:18, 5) Simon Iskariot (ayah Yudas Iskariot; Yohanes 13:2), 6) Simon Farisi (orang Farisi yang mengundang Yesus untuk makan di rumahnya; Lukas 7:39–40), 7) Simon si kusta (pemilik rumah di mana kepala Yesus dituangi minyak wangi yang mahal; Markus 14:3), 8) Simon orang Kirene (orang yang dipaksa memikul salib Yesus; Markus 15:21), dan 9) Simon penyamak kulit (orang yang menemani Petrus ketika tinggal di Yope; Kisah Para Rasul 9:43).
Di antara kesembilan sosok tersebut, secara spesifik Simon dalam novel mengidentifikasi dirinya sebagai Simon orang Kirene. “Simon diseret dari tepi jalan kematian dan dipaksa oleh gerombolan preman Pilatus untuk ikut memikul salib yang sedang dipanggul Yesus dengan kucuran darah dari luka yang tak tertahankan manusia, namun tidak ia rasakan. Paling tidak tiga kali Putra Tuhan itu tersungkur dan ditimpa salib yang bertengger di pundaknya. Simon jelas bukan sebuah inkarnasi. Namun, dia siap berbuat sesuatu dalam batas kemampuannya untuk menghamba kepada sesama manusia” (hlm. 19).
Alasan di balik pemilihan Simon orang Kirene adalah karena Simon merasa ia juga tidak meminta, juga tidak sengaja lahir di daerah dengan tanah kering kerontang dan sulit ditumbuhi tanaman. Serupa dengan Simon orang Kirene yang tanpa sengaja berada di pinggir jalan lalu dipaksa membawa salib Yesus, Simon dalam novel tanpa sengaja lahir di Nusa Tenggara Timur dan dibujuk oleh kesadaran “untuk melakukan sesuatu bagi penduduk yang sedang terengah-engah memikul salib kehidupan” (hlm. 20).
Sampai pada titik tersebut, saya mendapati Simon dalam novel ini sebagai karakter yang unik, khususnya dalam konteks penokohan pada cerita yang berkaitan dengan aktivisme di Indonesia pada dekade 1960-an. Pembaca yang memiliki dasar pengetahuan tentang propaganda antikomunisme di masa Orde Baru agaknya tidak bisa menahan diri untuk mengaitkan penggambaran tersebut dengan narasi “komunis sama dengan ateis” yang digelorakan pada saat itu. Propaganda tersebut bisa ditarik ke pernyataan Marx “agama adalah candu” yang dicatut tanpa pembacaan mendalam dan dilepaskan dari konteksnya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, hadirnya Simon yang disertai dengan alusi kitab suci tampak sebagai upaya untuk menggugat propaganda yang sampai hari ini masih cukup sering kita dengar. Narasi-narasi tentang keterkaitan komunisme dengan ateisme masih cukup sering kita temui sebagai justifikasi atas pelanggaran HAM berat pada periode 1965–66.
Sosok Simon bisa dibilang tidak terlalu sering kita temukan dalam karya-karya yang membahas tentang peristiwa genosida tersebut, di mana tokoh aktivis seringkali dihadirkan dengan penekanan pada peran sosialnya. Namun, menariknya, dengan mengidentifikasi diri sebagai Simon orang Kirene dengan semua ketidaksengajaan takdir yang dihadapinya membantu Simon dalam novel untuk tidak menjadi tokoh dengan Kompleks Mesias atau kompleks juru selamat.
Terlepas dari hal tersebut, bukan berarti bahwa Simon jauh dari definisi karakter novel yang kompleks. Melalui penuturan narator, kita mengetahui bahwa Simon memiliki cara pandang ambivalen terhadap agama yang dianutnya dalam kaitannya dengan kesejahteraan umat. “Doa tetap tak bersambut, padi yang terus tertunduk tetapi hampa. Gereja seperti setengah hati untuk mengejawantahkan iman menjadi gerakan, apa pun itu bentuk dan namanya.” (hlm. 12–13)
Cara pandang yang sedemikian itu juga dimiliki Simon dalam menilai paham dan gerakan. Sebagai seorang aktivis tani yang menyatakan secara terbuka keterlibatannya dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) dan memiliki pengalaman membela kaum tani di Jawa, ia tidak menjadikan hal-hal yang dipercayainya sebagai bagian dari gerakan sebagai suatu kebenaran tunggal.
Ambivalensi Simon dalam menilai paham dan gerakan yang diikutinya tampak dari upayanya bernegosiasi dengan kondisi alam dan demografi masyarakat tempatnya dilahirkan. Ketika berada di Jawa, Simon mendapati dengan terang adanya stratifikasi sosial yang ditetapkan secara tidak tertulis berdasarkan kepemilikan atas tanah. Tanah yang subur, tanah yang siap ditanami, tanah yang mampu memberi penghidupan bagi masyarakat. Semua hal itu tidak terjadi di tempat kelahirannya–siapa yang akan memperebutkan tanah yang amat jarang dijamah hujan?
Oleh karena itu, “di daratan yang membesarkannya ini, Simon harus berpatah arang, tegas-tegas menampik seruan dari Jakarta, yang di sini hanya akan menjadi dogma yang menyesatkan. Bisa berdarah dan berujung kematian.” (hlm. 11)
Secara khusus Simon mengambil jarak dengan aksi sepihak, suatu konsep gerakan yang kerap digunakan aktivis tani di Jawa untuk memperjuangkan hak petani yang tidak memiliki lahan. Pada tataran naratif, saya suka cara novel ini cenderung bersikap ‘cuek’ dalam menjabarkan definisi tentang konsep tersebut. Ia membiarkan pembaca melakukan deduksi atau mencari informasi lebih lanjut tentang aksi sepihak tanpa menawarkan definisi-definisi konseptual yang dapat mengurangi aspek sastrawi dari karya tersebut.
Sementara pada aspek bangunan tokoh, cara pandang tersebut sekali lagi menghindarkan pembentukan karakter Mesianistik yang kerap ditemukan dalam narasi fiksi maupun nonfiksi tentang aktivis atau tokoh gerakan. Menyadari kelemahan suatu gagasan yang diperjuangkan dan melakukan negosiasi merupakan tindakan yang terkesan tidak heroik, tetapi agaknya memang menjadi strategi yang dipilih penulis dalam menghadirkan karakter utama dalam novelnya.
Memasuki bagian tengah cerita pembaca diajak menyelami lebih lanjut upaya-upaya negosiasi yang dilakukan Simon dengan institusi agama yang dominan di tempat kelahirannya. Meski Simon menyimpan kekecewaan pada gereja karena tidak sepenuh hati ‘menyelamatkan’ umatnya, ia memanfaatkan relasi komuni atau persekutuan yang terbentuk dalam lingkup gereja dengan membentuk koperasi.
Strategi tersebut tidak hanya membantu Simon menjalankan misinya sebagai aktivis tetapi juga membantunya mendapatkan dukungan dan perlindungan dari masyarakat. Simon dibela habis-habisan oleh para jemaat di hadapan pendeta dengan mengatakan bahwa “Pak Simon ini bukan komunis, dia BTI… Tapi, dia bukan tukang rampas tanah seperti kawan-kawannya di Jawa sana.” (hlm 50)
Penggambaran tersebut sekali lagi secara implisit menekankan ragam dari watak gerakan tani di Indonesia yang berkaitan erat dengan kondisi alam dan demografi masyarakat. Pemetaan tatanan sosial yang kentara di Jawa menuntut konflik kelas yang saling beradu satu sama lain agar hierarki yang berlaku dapat dipatahkan. Strategi aksi sepihak dengan perampasan tanah tidak akan bekerja di lingkungan masyarakat yang tidak memiliki stratifikasi atau hierarki sosial, dan dalam hal ini agama menjadi peluru.
Penempatan agama sebagai candu sekaligus peluru dalam novel Ritus Panjang untuk Simon menantang gagasan-gagasan dominan yang selama ini berkembang dan kita percayai bersama. Pada satu sisi, hadirnya Simon sebagai seorang aktivis tani yang relijius menawarkan kritik terhadap propaganda “komunisme sama dengan ateisme”. Di sisi lain, karakteristik tersebut juga menggugat adagium “agama adalah candu” yang kerap dipegang teguh oleh orang-orang yang menjadikan Marx sebagai sumber inspirasi gagasan. Hal tersebut menjadi nilai lebih dari novel pendek ini yang patut dieksplorasi lebih lanjut.
Namun, saya cukup kecewa dengan akhir cerita yang terkesan magis dan penuh ketidaksengajaan, layaknya kisah-kisah mukjizat nabi yang tertuang dalam kitab suci. Memang cerita dalam novel ini sejak awal sudah menawarkan hal tersebut, sebagaimana tercermin dari pilihan Simon untuk mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Simon orang Kirene.
Namun, ambivalensi dan dialektika yang mewarnai bagian pembuka yang musnah begitu saja ketika konflik muncul, yakni masuknya tentara ke kampung untuk menangkap Simon, agaknya mereduksi kekuatan bangunan karakter yang tampak dirancang dengan penuh pertimbangan. Setelah diajak melakukan refleksi dan negosiasi atas apa-apa yang selama ini dipercaya sebagai kebenaran, pada akhirnya pembaca dihadapkan kembali dengan narasi selamatnya Putra Tuhan berkat perjuangan dan pengabdiannya–sesuatu yang berkeliaran di teks-teks kitab suci dan ucapan-ucapan khotbah misa.
Tuntas membaca Ritus Panjang untuk Simon, saya masih berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kepala saya sebelum membuka novel tersebut. Mungkin Pak Martin ingin saya membaca buku terbarunya itu pada pekan-pekan menjelang Natal sehingga menyelipkan pesan “URGENT” dalam paket yang ia kirimkan. Dalam konteks ini, Simon seakan menawarkan cerita lain dari gempita peringatan lahirnya Yesus Nazaret.
Namun, saya masih belum menemukan jawaban terkait hadirnya potret Chairil Anwar di sampul muka. Mungkinkah Pak Martin membayangkan Simon sebenarnya reinkarnasi Chairil alih-alih Simon orang Kirene? Entahlah.
Selamat Natal untuk Simon-Simon yang memanggul salib ke mana pun jalan yang ditempuh.