Artistik atau Alienasi?:
Catatan Menonton Pertunjukan Misteri Pembaca Terakhir

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readSep 15, 2024

--

Pada tulisan sebelumnya saya sempat membagikan sekeping pembahasan dari dua sesi diskusi yang saya moderatori pada acara Pesta Literasi 2024. Sebenarnya selain terlibat pada kedua sesi tersebut, saya juga beruntung untuk bisa mendapatkan kesempatan untuk menonton pertunjukan Misteri Pembaca Terakhir yang disutradarai Agus Noor pada 31 Agustus 2024 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.

Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang pertunjukan tersebut sebelum masuk dalam catatan yang tergambar dalam kepala saya, saya merasa perlu untuk mengutip sinopsis dari pertunjukan teater tersebut, sebagaimana tertulis dalam buku program sebagai berikut:

RonRon, satu dari sedikit orang yang masih suka membaca, hilang secara misterius. Jejak yang tertinggal hanya sobekan dan kutipan puisi.

Siapa yang menculik? Kenapa diculik?

Petualangan pun dimulai. Kamila, Lupus, Alif, dan Bella berusaha menemukan RonRon dan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam pencarian itu, mereka seolah melintasi samudra imajinasi yang melemparkan mereka ke batas-batas terjauh, mempertemukan mereka dengan para pensiunan detektif, Anak Bajang, Srintil, Lelaki Penjaga Senja, Jeng Yah–dan kisah-kisah di buku yang pernah mereka baca. Semuanya seakan saling terhubung dengan cara yang tak terduga, dan membuat mereka makin mengerti kenapa kawan mereka menghilang.

Pementasan ini mengajak siapa pun untuk ikut berpetualang ke dunia fiksi dan bertemu dengan tokoh-tokoh dalam buku-buku, sembari memecahkan misteri lewat baris-baris puisi.

Sinopsis di atas mengindikasikan bahwa cerita Misteri Pembaca Terakhir memiliki taraf intertekstualitas yang tinggi dengan karya-karya sastra yang sudah ada sebelumnya, di antaranya Anak Bajang Menggiring Angin dan Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma, Gadis Kretek karya Ratih Kumala.

Dengan demikian, elemen fiksi yang terdapat dalam Misteri Pembaca Terakhir sifatnya berlapis–cerita dari pertunjukan itu sendiri merupakan fiksi, dan di dalam cerita tersebut terdapat elemen-elemen fiksional dari karya-karya yang lain.

Terlepas dari kentalnya unsur fiksional dalam pertunjukan tersebut, isu yang dibahas dalam cerita sebenarnya berkaitan dengan fenomena realitas dewasa ini, atau mungkin lebih tepatnya kekhawatiran yang dirasakan beberapa orang saat ini, yakni datangnya satu waktu ketika tinggal tersisa segelintir orang yang membaca buku. Jika dihadapkan dengan fenomena di dunia nyata, premis tersebut bisa dimaknai paling tidak dalam dua cara.

Pertama, masa tersebut adalah waktu ketika buku cetak sudah tidak lagi diproduksi dan sepenuhnya beralih ke terbitan-terbitan nirkertas yang dibaca menggunakan gawai digital. Atau kedua, masa tersebut adalah waktu ketika buku, lebih spesifiknya lagi buku sastra, benar-benar sudah kehilangan peminatnya sehingga tinggal menjadi artefak peninggalan dari peradaban manusia yang ada sebelumnya.

Strategi membungkus fenomena realitas kontemporer dalam lapisan-lapisan fiksi menjadikan cerita Misteri Pembaca Terakhir terasa relevan dan dekat dengan penonton. Hal tersebut semakin diperkuat dengan sisipan-sisipan komedi dalam dialog Cak Lontong yang bersumber dari peristiwa-peristiwa sosial politik dewasa ini, misalnya menyinggung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial, sampai menyebut-nyebut nama Mulyono yang memang sedang viral di media sosial. Pada beberapa bagian turut ditampilkan performans musikal oleh para pemeran.

Catatan saya berikutnya akan menunjukkan lapisan lain yang berkaitan dengan eksplorasi artistik yang dihadirkan di atas panggung. Pertunjukan Misteri Pembaca Terakhir menggunakan layar tambahan yang dipasang di tepi area downstage. Layar itu sifatnya transparan, dan digunakan sebagai media proyeksi efek penguat suasana latar.

Pada beberapa adegan, penggunaan layar tersebut berhasil menguatkan suasana dan membuat penonton terpesona dengan visual yang memanjakan mata. Namun, ada sensasi lain yang muncul dikarenakan adanya layar transparan tersebut, yakni keberjarakan dengan pertunjukan yang ditampilkan.

Keberjarakan tersebut pada gilirannya mengingatkan saya pada Verfremdungseffekt atau efek alienasi yang dicetuskan oleh Bertolt Brecht. Dalam tulisannya “Alienation Effect in Chinese Acting” (1936), Brecht menyimpulkan pertunjukan yang ditontonnya ditampilkan “sedemikian rupa sehingga penonton tidak dapat mengidentifikasi diri mereka dengan karakter dalam drama.

Penerimaan atau penolakan atas tindakan dan ucapan para karakter dimaksudkan untuk terjadi di alam sadar, tidak seperti sebelumnya, di alam bawah sadar penonton.” Brecht beranggapan bahwa penonton semestinya berjarak secara emosional dari karakter yang ditontonnya, memahami dilema yang dialami karakter secara intelektual.

Efek alienasi dicapai dengan teknik-teknik pemeranan yang menunjukkan seakan-akan tidak ada tembok keempat sehingga audiens tidak lagi memiliki ilusi bahwa mereka adalah penonton yang tidak tampak bagi para aktor. Contohnya seperti pemeran mengumumkan kepada para audiens bahwa yang mereka tonton merupakan sebuah pertunjukan drama, atau pemeran merujuk langsung dan berinteraksi dengan para penonton. Selain itu, efek alienasi dalam pertunjukan juga dapat dipicu melalui penampilan lagu dan tarian.

Dengan menunjukkan secara terang sifat fiksi dari medium pertunjukan, para pemeran mengalienasi audiens dari penerimaan pasif dan kenikmatan dalam menonton pertunjukan sebagai ‘hiburan’. Tujuan yang ingin dicapai adalah memaksa penonton memasuki ruang pikir yang kritis dan analitis atas pertunjukan yang mereka lihat.

Di sinilah saya mendapati keberhasilan Misteri Pembaca Terakhir dalam meramu cerita dan menghadirkannya ke hadapan khalayak penonton sebagai pertunjukan yang kontemplatif. Meski demikian, efek alienasi bukanlah sesuatu yang pasti dirasakan dan dialami oleh penonton, sebab reaksi satu orang dengan orang lain bisa sangat berbeda dan bahkan berlawanan satu sama lain.

Kehadiran layar tambahan mungkin mampu memanjakan mata penonton tetapi tidak cukup untuk menyadarkan adanya jarak. Tarian, nyanyian, dan lelucon mungkin dimaknai sebatas sebagai hiburan alih-alih teknik yang mempertegas aspek fiksionalitas dari pertunjukan tersebut. Barangkali efek tersebut bahkan bukan menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh sutradara.

Tetapi paling tidak bagi saya pertunjukan tersebut mengantarkan saya untuk benar-benar memikirkan akankah tiba waktu ketika tersisa pembaca buku terakhir di dunia.

--

--

No responses yet