Bagaimana Menjelaskan Pelanggaran HAM 1965–66 kepada Anak-anak?

Dhianita Kusuma Pertiwi
8 min readFeb 5, 2023

--

Beberapa hari yang lalu saya sempat membagikan melalui story Instagram sebuah artikel yang cukup menggugah benak dan pikiran saya. Yakni tulisan Cassandra Spratling berjudul “How do you explain slavery to kids?” yang dimuat di rubrik Sejarah dan Budaya situs National Geographic.

Tulisan tersebut sebenarnya tidak memuat kalimat-kalimat yang bersifat jargon–atau istilah saat ini “clickbait”–atau menguraikan gagasan dengan penyampaian narasi yang mengalir. Malah sebenarnya terkesan sangat instruktif dan dingin. Namun, agaknya itu memang pilihan sadar penulis, mengingat tulisan tersebut ditujukan untuk memberikan poin-poin penting dalam proses transfer pengetahuan kepada anak yang akan berguna bagi orang tua, guru, atau orang dewasa secara umum. Semakin mudah dan cepat dicerna, semakin baik.

Murid SD di Yogyakarta tahun 1978 (H.C. Beynon)

Semudah itu juga tulisan tersebut menjawab kegelisahan yang beberapa tahun terakhir saya alami, yakni cara yang tepat untuk menjelaskan tentang pelanggaran HAM berat 1965–66 kepada anak-anak. Kegelisahan itu muncul ketika keponakan-keponakan saya mulai sekolah dan mengetahui bahwa saya menerbitkan Buku Harian Keluarga Kiri yang tidak lain menceritakan kisah tentang kakek buyut mereka. Beberapa dari mereka yang bertanya isi dari buku tersebut, bahkan salah satu di antaranya secara spesifik bertanya apa yang pernah terjadi dan dialami oleh generasi sebelumnya.

Kegelisahan tersebut muncul karena tabrakan antara keinginan dan keperluan untuk mewariskan ingatan dan perjuangan dengan konsekuensi-konsekuensi yang dapat muncul dari penyampaian narasi sejarah yang mengandung unsur kekerasan. Pada satu sisi, saya sempat mengembalikan pada pengalaman saya sendiri ketika dulu masih duduk di kelas dua SD dan sudah mendengarkan cerita pengalaman kakek saya ketika menjalani hidup sebagai tapol Orde Baru di Pulau Buru. Bisa dibilang saya dapat menerima semua cerita itu dengan cukup baik sebagai anak berusia tujuh tahun.

Namun, di sisi lain, saya menyadari perbedaan konteks dalam garis kehidupan saya dan para keponakan saya. Salah satu yang paling mendasar adalah subjek pencerita–saya mendengarkan langsung dari kakek saya tentang kisahnya yang traumatik, sementara para keponakan saya mendapatkannya dari pihak kedua atau bahkan ketiga karena kakek saya sudah meninggal.

Hal tersebut pada beberapa titik memengaruhi pemahaman dan persepsi pendengar. Mungkin akan banyak pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, dan pada gilirannya alih-alih memberikan pencerahan malah menyuguhkan kebingungan baru di tengah gencar dan cepatnya perputaran informasi saat ini.

Tentu secara substansi kita tidak bisa menyamakan atau menempatkan fenomena perbudakan, khususnya yang terjadi di Amerika, dengan pelanggaran HAM 1965–66 di Indonesia pada posisi yang sejajar secara serampangan. Terdapat banyak unsur dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang membedakan keduanya.

Namun, kedua fenomena tersebut melibatkan kekerasan HAM di masa lalu dalam skala masif dan massal, menyisakan banyak kisah yang belum tersuarakan, sisa-sisanya merembes sampai kehidupan saat ini, serta mewariskan luka dan trauma yang tidak kunjung sembuh. Pada titik itulah kemudian saya merasa beberapa petunjuk yang diberikan Cassandra dalam tulisannya dapat dikontekstualisasikan dengan pelanggaran HAM berat 1965–66.

Menjelaskan tragedi 1965–66 sesuai usia anak
Cassandra merujuk sejumlah literatur yang ditulis oleh pakar pendidikan dan psikologi anak, dan berkesimpulan bahwa kita bahkan sebaiknya mulai mendiskusikan tentang perbudakan dengan anak sejak usia lima tahun atau saat mereka bersekolah di taman kanak-kanak.

Satu hal yang perlu untuk ditekankan adalah menyampaikan kepada mereka bahwa perbudakan terjadi “di masa lalu yang lampau”–mempertimbangkan anak di usia tersebut belum memiliki kemampuan untuk membedakan dan memahami secara tepat dan pasti apa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu dengan apa yang terjadi kemarin. Selain itu, hal tersebut penting untuk dinyatakan guna memastikan anak-anak tidak merasa ketakutan karena beranggapan peristiwa tersebut dapat dialami saat ini oleh dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya.

Sementara itu, untuk anak-anak yang berusia lebih dewasa, kita bisa mendiskusikan tentang perbudakan secara lebih mendalam dan mendetail. Dan untuk keseluruhan rentangan usia anak-anak, penting bagi orang dewasa untuk membahas suatu peristiwa yang menyakitkan di masa lalu dan pada saat yang sama meyakinkan anak-anak tentang kehidupan masa depan yang lebih baik.

Penjabaran tersebut menarik perhatian saya, sekali lagi berkaitan dengan pengalaman saya mendengarkan cerita dari kakek saya ketika baru berusia tujuh tahun. Saya sebenarnya sempat beranggapan saya terlalu muda pada saat itu untuk mendengarkan semua cerita kakek saya, dan itulah yang menyebabkan saya cukup “obsesif” dengan hal-hal yang berkaitan dengan tragedi 1965–66. Namun, berdasarkan penjelasan tersebut, pengalaman saya agaaknya tidak sepenuhnya salah. Pada usia tujuh tahun saya sudah mendapatkan penjelasan yang cukup terperinci mengenai kehidupan kakek saya sebagai tapol dan situasi yang terjadi pada saat itu.

Meskipun begitu, satu hal yang saya pertanyakan dalam hal ini berkaitan dengan narasi “di masa lalu yang lampau”. Mungkin menyatakan hal seperti itu cukup tepat dalam konteks perbudakan yang terjadi paling tidak sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 di Amerika Serikat. Namun, tragedi 1965–66 bahkan belum mencapai seratus tahun, dan untuk mengatakannya terjadi “di masa lalu yang lampau” agaknya mengaburkan realitas kesejarahan dari peristiwa tersebut. Perihal ini mungkin perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

Perhatikan penggunaan bahasa
Poin yang kedua ini menurut saya berlaku untuk semua audiens dari segala kalangan umur. Cassandra menekankan pentingnya menghindari penggunaan bahasa yang mendehumanisasi atau menguatkan superioritas salah satu golongan atas golongan yang lain (dalam konteks perbudakan adalah golongan ras).

Dua contoh dari penjelasan ini adalah alih-alih mengatakan “budak” lebih baik menggunakan istilah “orang yang diperbudak”, untuk membantu anak-anak memahami bahwa orang-orang tersebut merupakan manusia yang memiliki nilai lebih dari yang dikonstruksi–atau direduksi–oleh perbudakan; dan alih-alih “majikan budak” lebih baik gunakan istilah “orang yang memperbudak” karena tidak mengimplikasikan superioritas atas orang-orang yang diperbudak.

Penjelasan ini didukung oleh pernyataan Rebekah Gienapp: “menggunakan bahasa yang tepat membantu anak memahami bahwa perbudakan merupakan sebuah sistem”. Anak-anak harus memahami bahwa perbudakan merupakan sistem opresi, bukan sesuatu yang alami terjadi.

Dalam konteks pelanggaran HAM berat 1965–66, hal ini perlu menjadi perhatian lebih, mengingat pemerintah Orde Baru menggunakan politik bahasa sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya. Salah satu contohnya adalah alih-alih “G30S/PKI” lebih baik menggunakan “G30S” atau “Gerakan 30 September” untuk menghindari penuduhan terhadap satu golongan tertentu.

Bahas tentang relasi golongan–bukan hanya tragedi 1965–66
Dalam artikel asli, bagian ini menyarankan agar orang dewasa membahas tentang isu ras, bukan hanya terbatas pada perbudakan saja. Hal tersebut perlu dilakukan karena anak-anak menyadari perbedaan ras sejak dini, sehingga orang dewasa semestinya tidak menghindari pembicaraan tentang ras.

Dengan begitu, diskusi tentang perbudakan tidak akan menjadi awalan untuk membicarakan tentang ras kulit hitam. Kembali mengutip Gienapp, penting bagi orang dewasa untuk membicarakan tentang ras kulit hitam dengan tidak terpaku pada narasi sejarah yang traumatis agar anak-anak tidak mengasosiasikan sejarah kulit hitam dengan hal-hal yang menyedihkan dan traumatis.

Perihal ini akan membutuhkan kontekstualisasi yang lebih mendalam (baca: rumit) jika kita ingin menerapkannya untuk konteks pelanggaran HAM 1965–66. Peristiwa-perisiwa yang terjadi pada 1965–66 meskipun sangat kental dengan isu politik, kurang berkaitan dengan isu ras. Jika identitas ras dapat diidentifikasi secara kasat mata melalui karakteristik fisik, hal yang sama tidak berlaku untuk identitas politik. Kita tidak bisa mengetahui afiliasi politik seseorang, partai apa yang diikutinya, kelompok apa yang menjadi rumah ideologinya seperti layaknya mengetahui ras seseorang (salah satunya) dari warna kulit.

Sementara itu, menarik pembahasan ke konteks yang lebih luas berarti membicarakan tentang percaturan ideologi dan politik yang berlangsung di Indonesia pada saat itu. Dan hal tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dibicarakan, apalagi jika membahasnya dengan anak-anak. Oleh karena itu, perihal ini masih membutuhkan pertimbangan lebih lanjut.

Tekankan sejarah (korban dan penyintas) sebelum tragedi 1965–66
Cassandra pada poin ini menekankan pentingnya memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa perbudakan telah merenggut banyak hal dari orang-orang yang diperbudak. Orang dewasa dapat menceritakan tentang sejarah Kerajaan Mali di Afrika Barat yang berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-16 serta memiliki sistem pemerintahan yang kompleks dan ratusan ribu rakyat. Hal tersebut akan menghindari penceritaan yang mengarah pada dehumanisasi.

Kontekstualisasi poin ini untuk edukasi terkait pelanggaran HAM 1965–66 dapat kita tarik pada pembahasan tentang korban dan penyintas yang terus menerus mengalami diskriminasi dan dehumanisasi. Sampai hari ini kita masih sering mendengar narasi-narasi yang mendemonisasi orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan paham dan kelompok komunisme atau Gerakan 30 September, serta menjustifikasi pelanggaran HAM dengan embel-embel pembelaan atas Pancasila.

Untuk itu, penting untuk menekankan subjektivitas dari korban dan penyintas pelanggaran HAM 1965–66 saat mendiskusikan peristiwa tersebut dengan anak-anak. Dalam konteks keluarga saya, berarti diperlukan penjelasan yang terang mengenai latar belakang kakek saya sebagai pegawai kotapraja Malang, sosoknya sebagai seorang ayah bagi ketiga anaknya, juga sebagai seorang kakek. Dengan begitu, generasi yang lebih muda akan mengenal dan memahami sosok buyutnya secara lebih lengkap, bukan hanya sekadar “eks-tapol”.

Berikan penggambaran yang utuh
Merujuk Beverly Daniel Tatum, seorang psikolog dengan kepakaran di isu ras dan pendidikan, Cassandra menekankan pentingnya menghadirkan cerita yang utuh terkait perbudakan. Pada satu sisi, anak-anak perlu mengetahui sejarah perlawanan yang dilakukan masyarakat kulit hitam untuk melawan perbudakan, sehingga mereka tidak dianggap semata sebagai korban yang pasif. Di sisi lain, perlu juga menceritakan tentang tokoh-tokoh kulit putih yang membantu perjuangan menghentikan praktik perbudakan, sehingga anak-anak juga tidak menganggap semua orang kulit putih jahat.

Menghadirkan penggambaran yang utuh merupakan hal yang penting dalam konteks pelanggaran HAM 1965–66 tetapi tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan saya harus mengakui bahwa saya seringkali tidak bisa menghindari kecenderungan untuk bias, menarasikan hampir segala hal yang berkaitan dengan Orde Baru sebagai hal yang buruk. Selain itu, pelanggaran HAM 1965–66 memiliki kompleksitasnya tersendiri berkenaan dengan “siapa pelaku” dan “siapa korban”.

Namun, pada titik ini saya mungkin akan menyarankan agar kita pada satu sisi dapat menceritakan bagaimana para tahanan politik atau eksil Orde Baru berjuang untuk bertahan hidup di tengah semua tekanan, dan pada sisi lain menghadirkan narasi tentang para anggota tentara yang juga tidak luput dari perlakuan tidak adil dari negara. Melalui penggambaran yang datang dari dua sisi, kita dapat mengurangi kecenderungan heroisme atau demonisasi yang berlebihan.

Hubungkan masa lalu dengan masa kini
Kedua fenomena yang kita bicarakan dalam tulisan ini dapat dikatakan belum berhenti meninggalkan jejak sampai hari ini. Dalam konteks perbudakan, meskipun sistem tersebut tidak lagi berlaku secara hukum, diskriminasi terhadap kulit hitam masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika Serikat.

Begitu pun di Indonesia. Meskipun pemerintah Orde Baru telah runtuh, kita masih mendapati sejumlah fenomena pelanggaran HAM yang dibaca oleh sejumlah pihak merupakan imbas dari yang pernah terjadi di masa lalu.

Menghubungkan perbudakan dengan situasi kehidupan masyarakat kulit hitam saat ini akan membantu anak-anak mengkontekstualisasikan fenomena yang terjadi di sekitar mereka sekarang. Hal serupa juga penting untuk kita lakukan dalam memberikan edukasi kepada anak-anak tentang pelanggaran HAM berat 1965–66, agar mereka dapat memahami situasi yang terjadi saat ini di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara vakum, tetapi pada beberapa titik merupakan imbas dari peristiwa besar di masa lalu.

Sebagai simpulan, saya membaca upaya Cassandra untuk meyakinkan orang tua, guru, serta orang dewasa lain, untuk memulai pembicaraan tentang perbudakan dengan anak-anak sedini mungkin. Meskipun ia tidak secara literal menyebutkan alasannya, saya beranggapan hal tersebut perlu dilakukan untuk membentuk cara pandang yang lebih bijak dalam membaca sejarah ataupun melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi saat ini di sekitar mereka.

Bagi saya pribadi, memberikan pemahaman sebaik mungkin tentang pelanggaran HAM 1965–66 kepada anak-anak, khususnya keluarga saya sendiri, merupakan tanggung jawab moral yang wajib saya penuhi. Tentunya saya tidak bisa menuntut orang lain untuk melakukan hal serupa, tetapi dalam hal ini kita tidak bicara tentang anak siapa dan keturunan siapa.

Kita bicara tentang generasi yang akan melanjutkan langkah negara ini, dan kita tidak bisa hanya menuntut mereka menjadi orang-orang yang lebih baik dari pendahulunya tanpa benar-benar melakukan apapun.

--

--