Bulan Bung Karno: Kapitalisasi Kekuasaan atas Sejarah Publik

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readJul 2, 2023

--

Sukarno dalam rapat raksasa di Poso pada 21 November 1951. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia

Di tengah semakin gencarnya pemberitaan terkait manuver-manuver yang dilancarkan para tokoh politik seiring waktu bergulir mendekati momentum Pemilu 2024, beberapa hari lalu tersiar kabar terkait perayaan Bulan Bung Karno oleh PDIP. Sekjen PDIP sempat menyatakan bahwa perayaan Bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno tahun ini merupakan yang terbesar kedua setelah tahun 1999.

Kemudian, pada hari pelaksanaannya (24/6), Ganjar Pranowo, yang telah ditetapkan secara resmi sebagai Calon Presiden pada April lalu, didapuk untuk membacakan teks “Dedication of Life” yang ditulis oleh Sukarno. Kesempatan yang sama sebelumnya pernah diberikan kepada Joko Widodo pada 2014, ketika ia juga tengah digadang-gadangkan bakal menjadi calon presiden dari PDIP pada pemilu kala itu.

Sampai sekarang saya belum berhasil menemukan informasi terkait siapa pihak di balik penetapan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno ataupun sejak kapan pastinya perayaan tersebut dilaksanakan. Namun, peringatan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno sudah menjadi agenda tahunan di provinsi Bali, sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Bali №19 Tahun 2019 tentang Bulan Bung Karno.

Pemerintah Provinsi Bali menyatakan bahwa peringatan Bulan Bung Karno bertujuan untuk membangun memori kolektif terhadap pentingnya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya sengaja memberi penekanan pada frasa “memori kolektif” karena konsep tersebutlah yang akan saya bahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Memori kolektif memiliki keterkaitan yang erat dengan sejarah publik. Relasi yang terjalin di antara keduanya adalah bahwa memori kolektif merupakan cara masyarakat mengingat dan memaknai masa lalunya. Sebagai contoh, masyarakat Tionghoa mengingat masa lalu mereka sebagai golongan yang pernah mengalami diskriminasi selama pemerintahan Orde Baru berkuasa.

Pada konteks yang lebih luas, masyarakat Indonesia mengingat masa lalu mereka sebagai bangsa yang terjajah dan melewati masa-masa perjuangan untuk memperoleh kemerdekaannya. Di dalam perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan itulah terdapat narasi tentang Pancasila dan Bung Karno, sehingga kedua hal tersebut dapat dibaca sebagai sejarah publik.

Sukarno sedang menyampaikan ceramah tentang Pancasila di Gedung Sriwedari, Surakarta, pada Juni 1955. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Dari beberapa sumber yang saya baca, bulan Juni dianggap tepat untuk ditetapkan sebagai Bulan Bung Karno karena merangkum dua momentum bersejarah, yakni kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan kelahiran Sukarno pada 6 Juni. Keduanya, Pancasila dan Sukarno, merupakan bagian dari memori kolektif yang dimiliki masyarakat Indonesia–paling tidak hal tersebutlah yang coba dibentuk melalui pendidikan Sejarah atau Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah.

Bahwa terlepas dari kenyataan bahwa Pancasila dihasilkan dari persidangan yang diikuti para petinggi kelas atas dan tidak melibatkan masyarakat, semua orang yang tercatat sebagai Warga Negara Indonesia diikat oleh kewajiban untuk mengakui Pancasila sebagai asas dasar negara. Hal tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari dikonstruksikannya negara dengan segala aturan tentang batas-batas wilayah dan tata kelola administrasi yang berpengaruh pada pembentukan identitas.

Pada saat yang sama, Sukarno juga mengonstruksikan dirinya sendiri sebagai seseorang yang mengabdikan diri dan hidupnya untuk Indonesia, sebagaimana tercantum dengan jelas dalam teks “Dedication of Life”, yakni: “hanya kebahagiaanku adalah mengabdi kepada Tuhan, kepada tanah air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku.”

Pernyataan tersebut merupakan penanda yang jelas bahwa Sukarno memosisikan dirinya sendiri sebagai bagian yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bukan partai yang dibentuknya atau yang diikutinya, tetapi Indonesia. Hal tersebut juga yang kemudian melahirkan gagasan tentang “bapak bangsa” dan lain sebagainya, yang kemudian diperpanjang umurnya melalui komunikasi politik serta pengajaran di sekolah.

Namun, pembaca yang memiliki pengetahuan terkait peta politik di Indonesia agaknya bisa dengan cukup cepat memahami mengapa Pemerintah Provinsi Bali sampai “repot-repot” mengatur Bulan Bung Karno dengan sebuah aturan hukum. Juga mengapa perayaan Bulan Bung Karno di Jakarta diselipi dengan agenda konsolidasi akbar PDIP.

Semua pada akhirnya berujung pada kepentingan partai alih-alih masyarakat Indonesia secara umum, terlepas seberapa besar upaya pemerintah daerah–atau pusat sekalipun–untuk mengatakan peringatan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno berkaitan dengan memori kolektif bangsa dan tanah air. Hal ini pada gilirannya membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan memori yang kita miliki bersama sebagai “manusia Indonesia”.

Sukarno berbincang dengan murid Sekolah Rakyat saat kunjungan kerja ke Bone, Sulawesi Selatan pada 9 Oktober 1953. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia

Pada artikel sebelumnya saya sempat membahas tentang Hari Lahir Pancasila yang seringkali rancu dengan Hari Kesaktian Pancasila. Sekali lagi, Pancasila yang digadang-gadangkan sebagai asas negara Indonesia dirayakan dengan beragam ritual. Bukan yang lahir dari masyarakat, melainkan sarat oleh kepentingan penguasa dengan agenda politiknya masing-masing.

Satu kubu berupaya menguatkan gagasan tentang Pancasila sebagai landasan negara yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa, sementara kubu lain hadir dengan wacana Pancasila versus komunisme guna menjustifikasi operasi pemberantasan segala hal yang dicap sebagai kiri. Muasal yang datangnya dari dua kepentingan berbeda tersebut pada gilirannya mempengaruhi pesan dan narasi yang diangkat dalam amanat upacara, semakin menggarisbawahi kapitalisasi kekuasaan atas sejarah publik, atau hal yang kemudian disebut-sebut sebagai memori kolektif.

Jika memang Pancasila dan Bung Karno merupakan suatu memori kolektif yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sudah sepatutnya peringatan Bulan Bung Karno dilaksanakan sebagai agenda nasional yang inisiasi dan pelaksanaannya tidak bersandar pada kebutuhan partai politik tertentu atau batasan wilayah tertentu. Ia semestinya menjadi momentum yang dirayakan bersama dan membawa nama masyarakat Indonesia.

Lalu apa yang tersisa untuk kita? Apa yang masih bisa dikatakan sebagai memori kolektif yang memang benar-benar dimiliki bersama oleh kita yang dituntut sebagai warga negara atau sebagai bagian dari bangsa Indonesia?

--

--

Responses (1)