Dari A.A. Navis ke Toeti Heraty: Menjelajahi Diri-Diri yang Kompleks

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readMar 10, 2024

--

Tahun ini agaknya akan menjadi masa-masa ketika saya akan menjelajahi dan menelusuri belantara Sastra Indonesia lebih dalam. Pada periode waktu yang bersamaan, saya terlibat dalam dua kegiatan yang mengangkat sosok dua tokoh sastrawan Indonesia kenamaan dengan dimensi diri yang kompleks: A.A. Navis dan Toeti Heraty.

Saya membuat tulisan ini dalam perjalanan kembali ke Jakarta setelah berkunjung untuk pertama kalinya ke Sumatera Barat, tepatnya ke Padang, untuk penyelenggaraan peluncuran Peringatan 100 Tahun A.A. Navis oleh Badan Bahasa Kemendikbudristek. Keterlibatan saya dalam kegiatan ini sudah dimulai sejak akhir tahun lalu ketika saya mulai merancang rangkaian program bersama Esha Tegar Putra.

Memperingati ulang tahun ke-100 untuk figur publik dengan penyelenggaraan berbagai ragam kegiatan pada dasarnya bukanlah suatu hal yang baru. Khusus untuk tokoh sastra, sempat diselenggarakan program Mengenang 100 Tahun HB Jassin di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada 2017, kemudian pada 2022 dilakukan perayaan momentum satu abad kelahiran Chairil Anwar dengan penyelenggaraan pameran “Aku Berkisar Antara Mereka” di Salihara Arts Center dan sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta bertemakan “Modernisme Chairil Anwar”.

Meski bisa dibilang sudah menjadi praktik yang cukup lumrah, peringatan 100 Tahun A.A. Navis memiliki keunikannya tersendiri. Pada mulanya, niat berduet dengan Esha Tegar Putra untuk merancang rangkaian program perayaan berangkat dari latar belakang Esha sebagai penulis asal Sumatra Barat yang punya kedekatan kultural dengan A.A. Navis.

Sebelumnya pada 2018 Esha Tegar sempat terlibat dalam pameran Karya Intelektual Minangkabau yang turut memasukkan A.A. Navis sebagai salah satu tokoh yang dirayakan kontribusi intelektualnya. Ia juga sudah membangun relasi yang cukup baik dengan keluarga A.A. Navis. Dengan demikian, Esha Tegar punya dorongan dan alasan kuat untuk terlibat secara langsung dalam peringatan 100 Tahun A.A. Navis.

Di tengah-tengah persiapan kami merancang program, muncul pemberitaan bahwa UNESCO menetapkan 100 tahun A.A. Navis sebagai peringatan internasional. Kami belum memahami betul bagaimana muasal dan cerita di balik penetapan tersebut tetapi melihatnya sebagai momentum yang tidak bisa dilewatkan begitu saja–kegiatan yang kami bayangkan dan rencanakan harus terwujud dan terlaksana. Pembahasan terkait proses pengajuan dan penetapan tersebut akan saya bahas pada tulisan berikutnya. Gayung bersambut, kami akhirnya terlibat dalam kepanitiaan program Peringatan 100 Tahun A.A. Navis dalam Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek.

Pada tahap-tahap awal perancangan program, saya sempat menyampaikan kepada Esha Tegar bahwa saya ingin ada pembagian tugas di antara kami berdua. Saya katakan bahwa saya akan lebih berfokus pada perancangan konsep mata acara dan membutuhkan bantuan perihal pendalaman substansi sosok dan karya. Sekali lagi, Esha memiliki kedekatan kultural dengan A. A. Navis yang tidak saya miliki. Hal tersebut berbeda dengan partisipasi saya sebagai periset dan ko-kurator dalam pameran “Denyut Romansa di tengah Gejolak Revolusi” tentang S. Rukiah yang menjadi bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional tahun lalu.

Relasi saya dengan S. Rukiah terbentuk mulanya pada 2018 ketika saya menjadi salah satu periset Ruang Perempuan dan Tulisan. Proses yang kami lakukan bersepuluh, dengan Giovanni Austriningrum sebagai periset yang memilih S. Rukiah sebagai sosok yang dikaji, mengantarkan saya untuk mengenal lebih dalam karya-karya dan pemikirannya. Oleh karena itu, selama proses persiapan pameran tersebut saya memastikan bahwa saya terlibat sepenuhnya dalam proses pendalaman substansi. (Beberapa tulisan saya tentang proses meriset dan merancang pameran S. Rukiah dapat dibaca di kiriman lain pada blog ini).

Setelah melalui beberapa kali diskusi dan pertemuan dalam tim kepanitiaan, disepakati perlunya mengadakan suatu acara peluncuran yang menjadi penanda dimulainya rangkaian kegiatan peringatan 100 Tahun A. A. Navis. Acara peluncuran itu hendaknya diselenggarakan di Sumatra Barat sebagai tempat A. A. Navis dilahirkan, menempuh pendidikan, berkarya dan bekerja, membangun keluarganya sendiri, sampai akhirnya meninggal dunia. Dengan demikian, mengadakan kegiatan peluncuran di Padang memiliki makna dan dampak kultural yang amat kontekstual, yang tidak dapat diperoleh di tempat atau daerah lain.

Saya juga masih ingin menyimpan pembahasan tentang materi yang disampaikan para narasumber pada acara peluncuran yang diselenggarakan Sabtu (9/3) lalu untuk tulisan berikutnya. Namun, saya harus mengatakan bahwa penyampaian mereka yang membawa saya mulai menemukan dimensi-dimensi menarik dari sosok A.A. Navis yang perlu ditelusuri lebih mendalam. Dalam kata lain, saya mulai bergeser dari posisi awal ‘hanya ingin merancang program’ menjadi ‘ingin mengenal si pencemooh kelas ulung’.

Secara khusus, saya tertarik dengan salah satu dari lima poin yang, berdasarkan penjelasan Ibu Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), menjadi alasan ditetapkannya 100 tahun A. A. Navis sebagai peringatan internasional, yakni bahwa karya-karya A.A. Navis dapat dibaca dan dinikmati oleh pembaca lintas negara dan lintas bangsa karena mengangkat nilai-nilai yang bersifat universal. Hal tersebut dibuktikan salah satunya melalui cerpen “Kemarau” yang ditulis pada 1960-an yang sudah membahas tentang dampak sosial dari perubahan iklim.

Peran sebagai penulis karya sastra sekaligus kritikus sastra yang ditekankan oleh Sudarmoko dalam paparannya menurut saya juga patut digarisbawahi dan diangkat ke permukaan. Tidak banyak pengkarya yang mau atau tertarik untuk menjadi pengkritik–atau sebaliknya–dikarenakan berbagai alasan. Namun, A.A. Navis menjalani dua peran itu sekaligus, tanpa keraguan dan dengan konsistensi yang patut dipertimbangkan.

Penetapan UNESCO di tengah persiapan awal perancangan program peringatan 100 Tahun A.A. Navis setidaknya kami baca sebagai satu kebetulan monumental yang semakin menguatkan motif kami untuk merayakannya. Tanpa disangka-sangka rupanya masih ada satu kebetulan lain yang tidak berkaitan langsung dengan A.A. Navis tetapi mendorong saya untuk menjelajah lebih dalam ke alam Sastra Indonesia. Hanya tiga hari sebelum saya terbang ke Padang, saya diundang ke Galeri Cemara untuk menemui keluarga Toeti Heraty yang tengah merencanakan pameran tentang ibu mereka untuk memperingati tiga tahun wafatnya penulis sekaligus filsuf tersebut.

Mengingat sosok Toeti Heraty sebagai perempuan penulis, saya tentu tidak punya alasan untuk menolak ajakan agar saya terlibat dalam pameran tersebut sebagai ko-kurator–kembali berduet dengan Bagus Purwoadi yang sebelumnya saya sudah bekerja bersamanya di pameran S. Rukiah. Dibandingkan dengan A.A. Navis, saya harus katakan bahwa saya jauh lebih familiar dengan karya-karya dan gagasan Toeti Heraty. Meski demikian, penelusuran awal terhadap lini masa kehidupan dan karya Toeti Heraty membaca saya pada pemahaman tentang sosoknya yang kompleks.

Serupa dengan A.A. Navis, Toeti Heraty sepanjang hidupnya juga tidak ragu untuk memainkan ragam peran yang tidak diambil oleh kebanyakan orang, terutama perempuan. Meski kapital sosial dan budaya yang diwarisi Toeti dari orangtuanya tidak bisa dikesampingkan begitu saja sebagai faktor penting yang menentukan perjalanan kehidupannya, menurut saya pembacaan lebih mendalam terkait kompleksitas pemikiran yang lahir dari pertemuan berbagai peran tetap perlu dilakukan. Sekali lagi, partisipasi saya dalam pameran ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk menelusuri liku-liku sosok dan pemikirannya yang multidimensi dan kompleks.

Sejauh mana kedua tokoh tersebut berkelindan dalam belantara Sastra Indonesia: satu mengembangkan gagasan-gagasannya yang universal dengan bertahan di Sumatra, satu lagi menembus batas-batas ruang dengan berkuliah di tanah Eropa dan membangun jejaring di ibu kota, tentu masih membutuhkan penelusuran dan pembacaan lebih lanjut. Namun, paling tidak kedua penulis tersebut karyanya sempat dimuat dalam salah satu publikasi penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yakni majalah Horison, pada periode tahun 1980-an.

Dari A.A. Navis ke Toeti Heraty, dari cerpenis dan pencemooh ke penyair dan filsuf, tahun ini akan membawa saya ke menelusuri diri-diri yang kompleks dalam Sastra Indonesia.

--

--

Responses (1)