Dari Pembacaan ke Penciptaan
Seperti yang telah saya janjikan pada tulisan sebelumnya, pada pekan ini saya akan membahas tentang bagaimana pameran S. Rukiah yang baru saja dibuka kemarin (14/10) menjadi ruang bertemunya sastra dan seni.
Pertemuan semacam ini tentu bukan yang pertama dan satu-satunya, tapi sekali lagi ini adalah kali pertama bagi saya untuk melihat secara lebih dekat bagaimana keduanya saling bersentuhan, bertemu, dan berkarya bersama.
“Berkarya bersama” menjadi kata kunci dalam proses persiapan dan penyajian pameran “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di tengah Gejolak Revolusi”. Pada praktik-praktik alih wahana yang dilakukan sebelumnya, unsur sastra yang diwakili oleh teks yang direspons seringkali melebur dalam karya seni yang dihasilkan, ia menjadi landasan atau referensi penciptaan karya yang kemudian tak lagi tampak secara kasat mata begitu karya tersebut dipresentasikan. Mungkin hanya sesekali disebut dalam catatan kuratorial, pernyataan seniman, atau patah dua patah kata sambutan, tetapi tidak dapat dinikmati lagi.
Pada proses awal persiapan, setelah saya diajak sebagai Jurnal Karbon selalu kolaborator projek ini, saya cukup bersikeras agar pameran ini nantinya juga menghadirkan hasil riset berdampingan dengan karya seniman. Paling tidak ada dua hal yang menjadi alasan dari permintaan tersebut.
Alasan yang pertama berkenaan langsung dengan sejarah dan perjalanan S. Rukiah sebagai seorang penulis yang sempat terlupakan. Setelah melahirkan 12 karya sastra anak, satu novel, satu kumpulan prosa dan puisi, serta menerbitkan sejumlah puisi, cerpen, dan esai di berbagai terbitan berkala, serta menjadi pendiri, editor, dan pengasuh di sejumlah redaksi surat kabar, kiprah S. Rukiah dipadamkan oleh pemerintah Orde Baru. Kita tidak lagi menemukan karyanya dibaca di sekolah, dibahas oleh kritikus sastra, atau diakses oleh publik luas.
Berpuluh tahun kemudian, karya-karya tersebut dihadirkan kembali kepada khalayak yang berjarak dengan S. Rukiah. Saya membayangkan para pengunjung pameran yang tidak mengenal sama sekali tentang S. Rukiah kemudian mendapati ragam karya seni yang sudah merupakan hasil pembacaan seniman atas karya S. Rukiah.
Mungkin saja, dan bisa saja, kita tidak perlu memiliki cukup pengetahuan tentang S. Rukiah untuk menikmati dan memahami karya seni yang didaptasi dari karya penulis tersebut. Namun, paling tidak menurut saya, mengapa tidak menjadikan pameran ini sebagai momentum untuk memperkenalkan kembali S. Rukiah?
Akhir-akhir ini, telah dilakukan sejumlah inisiatif untuk mengkaji dan memperkenalkan kembali sosok serta karya S. Rukiah. Namun, harus diakui bentuknya kebanyakan masih terbatas pada tulisan yang hanya dinikmati kalangan pembaca atau peneliti, atau diskusi yang baru melibatkan lingkaran-lingkaran tertentu.
Kemudian muncul juga kerja-kerja kesenian untuk merespons karya-karya S. Rukiah, seperti salah satunya yang dilakukan Mirat Kolektif. Namun, untuk memperkenalkan kembali sosok dan kiprah yang dibisukan selama lebih dari tiga dekade membutuhkan upaya yang lebih merangkul, baik dari segi proses pengkaryaan maupun dari segi presentasinya.
Selanjutnya, alasan yang kedua berkaitan dengan cara proses dan hasil riset diakui dan dinilai oleh publik luas. Seperti sempat saya singgung pada awal tulisan, seringkali perjalanan dan luaran penelitian hanya menjadi landasan yang kemudian tidak dihadirkan sebagai satu entitas tersendiri ketika suatu karya adaptasi dipresentasikan. Padahal, riset sebenarnya juga melibatkan kerja-kerja kreatif dalam proses pencarian, pemilahan, dan pengolahan data serta informasi.
Serupa halnya dengan seniman yang terkadang menghadapi kebuntuan dalam berkarya dan harus memutar otak untuk menemukan jalan agar tercipta karya yang sesuai dengan konsep dan keinginannya, periset dalam perjalanannya juga sering mengalami kebuntuan dalam pencarian data dan harus mengupayakan cara agar ditemukan informasi yang perlu diperolehnya.
Hal tersebut agaknya belum dipahami oleh masyarakat luas, menjadikan riset masih sering dianggap sebagai kerja-kerja di latar belakang yang hasilnya hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang sehari-hari berjibaku dengan arsip, pustaka, dan teks-teks ‘serius’. Dalam hal ini, pameran “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di tengah Gejolak Revolusi” selain menjadi kesempatan yang baik untuk memperkenalkan kembali sosok dan karya S. Rukiah, juga merupakan ruang yang tepat untuk menempatkan riset dalam posisi yang setara dengan proses kreatif berkesenian. Periset maupun seniman bekerja sebagai penghasil karya dengan luaran yang dinikmati publik luas dalam bentuk yang lebih terbuka dan menghimpun.
Tata ruang pameran pun kemudian dirancang sedemikian rupa agar dapat mengakomodasi kedua soal tersebut. Bertempat di RUBANAH Underground Hub, kami membagi ruangan tersebut menjadi dua ‘sayap’, sayap kiri untuk presentasi hasil riset sementara sayap kanan untuk presentasi karya seni.
Bentuk ruangan RUBANAH yang lapang tanpa sekat sebenarnya juga menjadi salah satu faktor yang memudahkan perancangan tata letak pameran ini. Dengan tata letak seperti itu, pengunjung dapat mengalami kedua jenis karya yang dihadirkan dan merasakan suasana penghidupan S. Rukiah dalam sekali waktu tanpa harus berpindah ruangan atau berganti nuansa.
Karya riset yang dihadirkan dalam pameran ini dan ditempatkan di sayap kiri meliputi lini masa kehidupan dan kekaryaan S. Rukiah yang disandingkan dengan lini masa sejarah Republik Indonesia. Dihadirkannya kedua latar waktu tersebut berkaitan dengan salah satu tujuan riset dan pameran tersebut yakni menempatkan kembali S. Rukiah dalam historiografi sejarah dan kesusastraan Indonesia. Kemudian dihadirkan pula lima edisi Kejatuhan dan Hati yakni terbitan Pustaka Jaya (1950), Balai Pustaka (1950), terjemahan dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn berjudul “The Shattered Heart” (1980) dan The Fall and the Heart (2010), serta terbitan ulang oleh Ultimus (2017).
Pencarian arsip-arsip karya S. Rukiah di beberapa kota pada akhirnya juga membawa kami berhasil menemukan 12 buku sastra anak yang pernah ditulis S. Rukiah sepanjang hidupnya. Kami menghadirkan kembali semua karya tersebut dengan mencetaknya ulang dan menghadirkannya di sudut baca, bersebelahan dengan lembaran cetakan ulang karya-karya lepas S. Rukiah yang tersebar di sejumlah surat kabar dan terbitan berkala pada periode 1940–1960-an. Satu karya riset lagi berupa rekaman pembacaan surat-surat korespondensi antara S. Rukiah dan H. B. Jassin serta John McGlynn dan Annabel T. Gallop.
Namun, belum semua karya bisa dihadirkan karena keterbatasan-keterbatasan teknis. Selain itu, kami juga belum menampilkan pemberitaan atau ulasan karya yang ditulis orang lain tentang S. Rukiah. Namun, paling tidak pada langkah pertama ini kita mulai bisa kembali memetakan posisi S. Rukiah dalam narasi sejarah Indonesia dan sebaran karyanya ketika ia masih aktif menulis.
Bersebelahan dengan rekaman korespondensi S. Rukiah, terpasang di tembok karya Azisa Noor dalam bentuk peta Purwakarta pada periode tahun yang menjadi latar waktu dan tempat dalam Kejatuhan dan Hati. Perjalanan Susi, tokoh utama, diwakili melalui alur benang merah, dan pada masing-masing lokasi disematkan komik singkat sebagai visualisasi adegan dari novel yang direspons oleh seniman.
Memasuki sayap kanan, pengunjung akan mendapati instalasi interaktif rurukids yang menjadikan narasi relasi keluarga dalam Kejatuhan dan Hati sebagai inspirasi karya mereka. Kemudian dilanjutkan performans oleh Eyi Lesar yang menghadirkan kembali fragmen-fragmen kejatuhan yang dialami Susi, tokoh utama dalam Kejatuhan dan Hati, serta penulisnya sendiri. Berhadapan dengan area pertunjukan Eyi adalah karya instalasi emmalou yang mengolah jawaban-jawaban partisipan terkait ‘tanya merah’ yang menjadi kalimat penutup Kejatuhan dan Hati. Sebagai penutup, pengunjung dibawa melewati selasar labirin memori Susi yang dihadirkan Gurat Sahabat melalui karya ilustrasi dan instalasinya.
Keragaman latar belakang para seniman memungkinkan cara pembacaan yang tidak tunggal dan penciptaan karya seni yang bermacam pula. Di sisi lain, hadirnya keragaman karya tersebut dapat membangun jembatan antara dunia sastra dan seni, menghidupi karya-karya S. Rukiah dengan berbagai pendekatan artistik yang sebenarnya berlaku di sastra maupun seni.
Sebagai pameran pertama dimana saya terlibat langsung dalam proses persiapannya, projek ini melampaui batas-batas tradisi yang biasanya saya kerjakan sebagai periset, sekaligus (sesekali) penikmat pameran seni. Lalu sebagai hasilnya, pada malam pembukaan saya melihat peleburan kekerabatan dan perkawanan yang bisa menjadi bekal selanjutnya untuk memperkenalkan kembali sosok-sosok lain yang terpinggirkan dari narasi sejarah besar tempat kita dibesarkan selama ini.
Tambahan: Pameran masih akan dibuka di RUBANAH Underground Hub sampai 5 November 2023.