Diskusi Buku sebagai Ruang Aman

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readNov 26, 2023

--

Sebagai penulis yang sudah memutuskan untuk tidak menerbitkan buku di penerbit mayor, menggelar diskusi buku menjadi salah satu strategi terpenting yang saya lakukan untuk mempromosikan tulisan yang saya buat.

Mempromosikan dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan jumlah buku yang terjual, tetapi juga sejauh mana gagasan yang saya hadirkan dalam buku tersebar di kalangan pembaca. Dengan perspektif tersebut dalam kepala, saya sempat cukup terobsesi dengan angka-angka. Saya sempat beranggapan bahwa ‘kesuksesan’ dari suatu diskusi buku dinilai dari berapa orang yang datang dan berapa buku yang terjual dari diskusi tersebut.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa sudut pandang itu sah-sah saja untuk dimiliki oleh penerbit, tetapi agaknya dangkal untuk dimiliki oleh seorang penulis. Saya mulai mempertanyakan kembali esensi dari pembicaraan yang berlangsung mengenai buku saya, gagasan yang coba saya tawarkan baik secara bentuk maupun wacana, sampai pelajaran yang bisa dibawa dari diskusi tersebut. Perubahan cara pandang tersebut terjadi secara berangsur-angsur khususnya setelah saya melakukan ‘tur’ diskusi ke beberapa kota dan menghadapi lingkungan serta audiens yang beragam.

Rangkaian diskusi Buku Harian Keluarga Kiri

Gagasan melakukan tur diskusi buku sebenarnya sudah muncul sejak terbitnya cetakan kedua Buku Harian Keluarga Kiri pada 2019. Saya sebenarnya tidak pernah menyangka buku yang lahir dari gagasan sederhana–ingin membagikan cerita kakek dan keluarga saya sebagai ‘orang biasa’ yang menjadi korban kekerasan HAM 1965–66–ternyata mendapatkan respons positif dari para pembaca.

Kecemasan dan ketakutan yang muncul dalam benak saya saat pertama kali menerbitkan buku tersebut, yakni ancaman atau diskriminasi terhadap diri saya pribadi maupun keluarga, ternyata sama sekali tidak terjadi. Namun, rencana untuk melakukan tur diskusi di beberapa kota terhalang oleh pandemi yang membatasi pergerakan dan perjalanan. Setelah diskusi di beberapa lokasi di Jakarta, Surabaya, dan Malang, rencana menyambangi Yogyakarta dan kota-kota lain akhirnya batal terlaksana.

Menariknya, setelah pandemi usai dan mobilitas kembali dimungkinkan, saya diundang ke sejumlah festival di beberapa daerah untuk membahas buku tersebut. Beberapa di antaranya seperti misalnya Flores Writers Festival 2022 sampai Festival Sastra Banggai 2023. Tentu saya menyambut baik undangan-undangan tersebut, menjadikannya kesempatan untuk terus menceritakan pengalaman keluarga saya yang terangkum di dalam novel fiksi sejarah itu, sekaligus mendengarkan cerita-cerita lain yang dibagikan oleh para audiens yang hadir dalam diskusi.

Sementara itu, dalam rentang tahun tersebut saya sebenarnya juga sudah menerbitkan karya lain dengan tema dan wacana serupa. Meski dalam format penulisan yang jauh berbeda, ensiklopedia Mengenal Orde Baru (2021) lahir dari gagasan serupa dengan Buku Harian Keluarga Kiri, yakni membagikan narasi tentang pelanggaran HAM serta bentuk-bentuk kejahatan lain yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Target pembaca yang saya sasar juga masih sama, yakni generasi muda yang berjarak secara historis dengan peristiwa 65–66 atau Orde Baru.

Selama dua tahun, tepatnya sepanjang 2021–2023, saya berkolaborasi dengan sejumlah toko buku dan komunitas di beberapa daerah untuk melakukan diskusi secara daring maupun luring. Sebut saja misalnya Teroka (Padang), Buku Lalu Buku (Malang), Dapu Kanji (Aceh), Lingkar Studi Sastra Denpasar (Bali), Kedai Jante (Bandung), Taman Rengganis (Cirebon), Abelii (Garut), sampai Jakarta Walking Tour dan 100% Manusia yang mengemasnya dengan cara unik yakni berkunjung ke beberapa lokasi di Jakarta yang ada kaitannya dengan entri-entri dalam Mengenal Orde Baru.

Rangkaian diskusi Mengenal Orde Baru

Pada saat itulah saya cara pandang saya terhadap diskusi buku–dan standar keberhasilannya–berangsur mulai berubah. Pada beberapa kesempatan, saya berhadapan dengan audiens yang bisa dibilang cukup banyak untuk sebuah diskusi buku dengan topik yang tidak populer. Sementara di sejumlah kesempatan lain, diskusi hanya dihadiri belasan orang saja.

Namun, di ruang-ruang kecil itulah terjadi diskusi yang sebenarnya– perbincangan tentang pengalaman-pengalaman yang sifatnya personal atau berkaitan erat dengan aspek spasial. Tidak jarang di antara para peserta tersebut yang sebelumnya tidak pernah menceritakan pengalaman atau pengetahuan tersebut karena dibayang-bayangi kecemasan atau ketakutan yang serupa dengan yang sempat saya rasakan ketika pertama kali menerbitkan Buku Harian Keluarga Kiri. Ada kepuasan tersendiri yang muncul dalam benak saya ketika mendengar cerita mereka, menyadari bahwa diskusi tersebut telah menjadi ruang aman bagi orang-orang yang hadir.

Kesadaran itu semakin menguat dengan diskusi buku terbaru saya, Rumah Dukkha (2023), khususnya yang berlangsung di POST. Toko buku tersebut juga sempat menjadi tempat diskusi Buku Harian Keluarga Kiri pada 2020, tetapi dalam format kegiatan yang berbeda. Sebelumnya, POST membuka ruang untuk peserta diskusi dalam jumlah yang cukup banyak, dengan menyesuaikan ruang yang tersedia. Belakangan terakhir, khususnya pascapandemi, POST membatasi jumlah peserta hanya 12 orang dan mengedepankan partisipasi masing-masing peserta dalam diskusi yang berlangsung.

Mengangkat tema dan gagasan yang serupa dengan Buku Harian Keluarga Kiri, kumpulan cerpen Rumah Dukkha merangkum 20 cerita orang-orang “biasa” yang terlibat dan terdampak pelanggaran HAM 1965–66. Secara tegas dan jelas saya lebih mengedepankan narasi tentang trauma yang mereka alami alih-alih menceritakan ulang bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pemerintah kala itu sebagai bagian dari upaya memberantas komunisme. Yang menarik kemudian adalah bagaimana setiap peserta yang mengikuti diskusi kala itu ternyata sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan peristiwa itu.

Hal tersebut pada satu sisi semakin menguatkan tawaran gagasan saya tentang betapa besar dan luasnya dampak yang ditimbulkan oleh genosida 1965–66 bahkan setelah lebih dari setengah abad peristiwa tersebut berlalu.

Di sisi lain, diskusi tersebut juga menegaskan diperlukannya ruang aman untuk membagikan cerita-cerita yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam kepala dan benak masing-masing, kisah-kisah yang sulit untuk diceritakan di ruang-ruang lain bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Saya terkesan dan terharu dengan suasana diskusi yang cenderung tenang tetapi penuh dengan kehangatan dan kepercayaan yang terbangun di antara satu sama lain.

Pada titik inilah saya semakin yakin dengan apa yang sebenarnya ingin saya lakukan saat melakukan diskusi buku, khususnya untuk karya-karya yang membahas tentang pengalaman dan pengetahuan kita sebagai orang biasa terkait peristiwa besar dalam sejarah perjalanan Indonesia tersebut.

Terbentuknya ruang aman di mana semua orang mendapatkan kesempatan untuk bercerita dan menciptakan narasi jauh lebih bermakna daripada diskusi yang mendatangkan puluhan orang tapi pada akhirnya tidak mampu memberi kesempatan untuk berbagi. Angka-angka yang sebelumnya menghantui saya setiap kali akan menyelenggarakan diskusi sudah berganti dengan cerita-cerita yang menginspirasi saya untuk terus berkarya.

--

--