DKJ Fest 2023: Yang Kahar dan Sukar

Dhianita Kusuma Pertiwi
6 min readJun 25, 2023

--

Dalam sepekan terakhir inilah saya mengalami perasaan lucu-aneh yang sebenarnya cukup memalukan untuk saya akui, apalagi dalam bentuk tulisan yang nantinya akan menyebar di ruang maya tanpa bisa saya kendalikan. Namun, pengakuan ini paling tidak menurut hemat saya masih tidak lebih memuakkan dari pernyataan mencla-mencle calon legislatif yang semakin ke sini semakin sering dijumpai di berbagai media informasi dan pemberitaan.

Perasaan yang saya alami sebenarnya adalah rasa bangga. Saya bangga ketika saya mengetahui arti dari tiga kata ‘ajaib’ yang digunakan untuk tema dan judul DKJ FEST 2023, yaitu “kelindan”, “meretas”, dan “kahar”, tanpa harus membuka situs Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui peramban di ponsel saya. Pengalaman yang saya alami itu memang bisa dibilang ‘receh’, tetapi kalau mau mencari tahu, berapa orang di lingkungan terdekat kita yang mengetahui arti ketiga kata tersebut? Sementara saya sendiri punya kisah masing-masing sampai akhirnya ketiga kata tersebut masuk dalam ingatan perbendaharaan di kepala saya.

Dimulai dari sebagai istilah yang sering digunakan dalam tulisan-tulisan para dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, lalu pertama kali saya temukan di artikel yang termasuk dalam rubrik teknologi, sampai pertama kali saya ketahui artinya saat saya masih di pekerjaan sebelumnya dan harus membuat draf surat kontrak (situasi kahar adalah padanan force majeure yang biasanya tercantum sebagai salah satu pasal dalam surat perjanjian/ kontrak). Tanpa kesempatan-kesempatan tersebut, sampai hari ini mungkin saya tidak akan pernah mengetahui arti dari ketiga kata itu, yang berarti saya tidak akan memahami perihal yang dibahas dalam kegiatan yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tersebut.

Pada salah satu kiriman media sosial di akun resmi DKJ, dicantumkan deskripsi singkat tentang kegiatan DKJ Fest 2023, yang pada beberapa titik mampu menjelaskan tentang arti ketiga kata tersebut.

Seperti ujar peribahasa, “lalu penjahit lalu kelindan”, yang bermakna apabila ikhtiar awal berhasil, maka kerja berikutnya pun akan berjaya. Ada sinergi, ada sinambung, dalam makna itu. Sebagai nomina, ‘kelindan’ berarti benang yang baru dipintal, juga benang yang sudah dimasukkan ke dalam lubang jarum untuk menjahit. Sebagai verba, ‘berkelindan’ berarti erat menjadi satu. Gabungan dari dua makna itulah yang menjadi semangat dan sikap DKJ melihat persoalan, tantangan, kehidupan kesenian di Jakarta akhir-akhir ini. Tata kelola ruang-ruang seni di Jakarta sedang mengalami gejolak. Pandemi dan krisis pasca-pandemi membongkar banyak hal dalam ekosistem seni kita. Kedua hal itu mewarnai masa kerja DKJ periode 2020–2023. Di tengah situasi yang bersifat kahar, kami mengupayakan agar ekosistem seni semakin tangguh, dan publik seni selalu terjaga kepentingannya. DKJ Fest 2023 adalah sebuah pembacaan situasi ekosistem seni di Jakarta, pernyataan sikap terhadap situasi kahar di beberapa ruang seni di Jakarta, dan pernyataan artistik atas situasi kesenian dulu, kini, dan nanti.

Penjelasan tersebut menyiratkan pesan yang positif, sarat optimisme, tapi pada saat yang sama, klise dan banal. Khususnya dalam konteks masyarakat Jakarta yang akhir-akhir ini dicekoki dengan narasi-narasi Jakarta Kota Kolaborasi, keluar dari mulut Gubernur dan mewujud menjadi instalasi-instalasi yang ditanam di taman-taman terbuka hijau atau ruang publik lain–tidak terlalu memberikan keuntungan dan kegunaan tata kota di sebuah kota yang sudah ramai dan ruwet.

Anggaplah tidak ada upaya untuk mengamplifikasi pesan-pesan yang diwacanakan oleh pemerintah daerah, saya masih menyimpan pertanyaan di dalam benak yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih praktikal. Apakah benar kolaborasi menjadi metode atau pendekatan yang tepat untuk mencari solusi atas segala kedaruratan yang katanya tengah melanda ekosistem seni? Sejauh mana sebenarnya kolaborasi itu perlu dijalin? Jawaban dari pertanyaan tersebut agaknya yang coba ditawarkan melalui Pameran Arsip bertajuk Pekan, Pesta Festival: Bermula dari Cikini Raya 73 yang dikuratori oleh Esha Tegar Putra.

Pameran tersebut menghadirkan arsip dan koleksi organik dari program unggulan yang dipersembahkan enam komite dalam tubuh DKJ yang diselenggarakan sepanjang tahun 1972–1976. Secara khusus, Pekan Seni 1972 menjadi sorotan, mengingat perannya yang cukup penting, yakni sebagai “serentetan manifestasi seni untuk diuji mutu kadar-komunikasinya dengan khalayak,” sebagaimana tercantum dalam Catatan Kuratorial. Sederhananya, pada tahun-tahun awal berdirinya DKJ, komite-komite yang menyusunnya saling menjalin kelindan yang mampu menghasilkan karya kolaboratif, yang dihadirkan kepada publik untuk dinilai dan diuji oleh masyarakat.

Hal tersebut sebenarnya mengimplikasikan ekosistem seni yang hidup berkat kelindan dan pembacaan. Sependek pengetahuan dan sesempit kacamata saya, unsur pembacaan itulah yang sekarang kurang menghidupi ekosistem seni, dalam hal ini meliputi juga sastra. Oleh karena itu, bergantung pada kelindan saja menurut saya kurang cukup untuk mengatasi kekaharan yang terjadi saat ini. Di antara kelindan, kita masih membutuhkan ruang-ruang yang mendorong lahirnya–sebut saja–pertikaian atau pertarungan gagasan agar ekosistem seni mampu menawarkan sesuatu kepada publik masyarakat.

Saya tidak tahu apakah sepinya pembacaan tersebut termasuk sebagai situasi kahar yang ingin direspons melalui DKJ Fest 2023. Bisa jadi masuk dalam payung besar ‘krisis pasca-pandemi’, walaupun fenomena sepinya pembacaan, polemik yang substansial (bukan sekadar saling menyerang urusan personal di status media sosial) sebenarnya sudah melanda jauh sebelum pandemi terjadi dan mengubah banyak hal dalam ekosistem seni, termasuk kondisi penghidupan para pekerja seni.

Pada titik inilah menurut saya kelindan atau kolaborasi saja agaknya bukan pendekatan yang mampu serta merta mengatasi segala krisis atau situasi kahar yang terjadi di ekosistem seni. Kolaborasi yang mengarah pada keseragaman pendapat dan pada gilirannya menutup ruang-ruang pembacaan mungkin akan membuat ekosistem seni menjadi ruang yang ‘nyaman’, tetapi tidak berkembang dari segi wacana.

Ia akan menjadi ruang bermain dimana semua orang menjadi kawan baik yang saling memuji, tidak ada yang mengharapkan dan menyampaikan kritik atas kerja-kerja artistik, mulai dari proses kreatif, sistem tata kelola, sampai pendistribusian hasil karya. Apakah itu yang dimaksudkan dengan “ketangguhan” dari ekosistem seni (sebagaimana menjadi salah satu harapan yang dijabarkan dalam penjelasan tema acara)? Tangguh dalam artian semuanya saling bergandengan tangan dan tidak ada keinginan untuk saling serang pendapat dan argumen? Jika bukan, seperti apa tangguh yang dimaksudkan?

Saya merasa kita masih membutuhkan cara pandang dan sikap antisipatif terhadap kelindan atau kolaborasi. Kebersamaan yang berlebih menyimpan risiko (semakin) membisukan suara-suara kritis yang sejatinya dibutuhkan untuk menghidupkan ekosistem seni–jika kita masih merasa perlu untuk terus berbunyi.

Lebih lanjut, pilihan untuk merespons segala situasi kahar yang ada saat ini dengan pernyataan artistik juga dapat dibaca lebih lanjut. Pada satu sisi, strategi tersebut memungkinkan lahirnya ruang-ruang eksplorasi baru, sebagaimana ditunjukkan melalui sejumlah performans yang mengisi rangkaian DKJ Fest 2023. Ditampilkan karya tari oleh beberapa penari dari sejumlah kampus institut seni di Indonesia, dihadirkan pula Pameran Silang Visual: Delsy Sjamsumar dalam Film dan Seni Rupa berbarengan dengan Pameran Arsip, serta turut diputar juga film-film lawas Indonesia dalam format layar tancap.

Setiap karya dan performans tersebut menghadirkan dan menguatkan tema yang diusung oleh DKJ Fest 2023, baik dalam konteks kelindan maupun situasi kahar. Penampilan sejumlah penari dari berbagai wilayah di Indonesia mewakili semangat berkarya bersama–meskipun masih saja terjebak pada lingkaran akademik, pameran Delsy mewakili pertemuan antara seni rupa dan film serta merespons kerumpangan dan lubang-lubang pada narasi sejarah seni rupa dan perfilman Indonesia, sementara pemutaran film lawas membawa penonton masa kini mengenal dan menyelami dunia masa lalu yang dihadirkan melalui mata kamera.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana pernyataan artistik tersebut meretas kahar yang berkaitan dengan tata kelola ekosistem seni? Mengapa tidak ada, atau paling tidak kurang sekali, upaya untuk menghadirkan sikap yang lebih gamblang–tidak lagi berkutat pada yang bersifat simbolik dan menuntut publik untuk meniti anak tangga pemaknaan? Sebut saja misalnya seperti mengadakan seminar tentang manajemen dan tata kelola seni atau forum diskusi yang melahirkan rencana aksi nyata untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

Situasi yang kahar belum tentu suatu kondisi yang sukar, dan begitu pun sebaliknya. Namun, keduanya menuntut pendekatan yang strategis dalam membaca, memaknai, menemukan akarnya, dan mencari penyelesaiannya. Catatan kecil ini tidak menjanjikan semua hal tersebut, tetapi barangkali bisa menyadarkan bahwa untuk mengatasi atau meretas yang kahar, perlu untuk tidak lagi menghadirkan sesuatu yang sukar dipahami.

--

--

No responses yet