Hari Ayah Sedunia dan Elitisme “Parenting”
Memang tidak biasanya saya membuat tulisan yang membahas tentang keluarga (selain keluarga saya sendiri sebagai penyintas ’65) apalagi hal-hal yang terkait pengasuhan anak oleh orang tua.
Alasannya sederhana, saya belum punya pengalaman menjadi orang tua dan tidak memiliki kepakaran di bidang tersebut. Namun, awal pekan ini saya terlibat dalam persiapan suatu acara yang diadakan untuk memperingati Hari Ayah Sedunia yang jatuh pada pekan ketiga bulan Juni. Kegiatan tersebut bisa dibilang sebenarnya punya tujuan yang baik, meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak.
(Dengan mengatakan baik, pada kesempatan ini saya juga ingin menekankan bahwa melalui tulisan ini saya tidak memiliki intensi untuk mendiskreditkan keluarga dengan susunan anggota yang berbeda dari tatanan ayah laki-laki dan ibu perempuan dengan anak-anaknya.)
Sampai hari ini kita tahu masih cukup kuatnya persepsi yang menempatkan pekerjaan di ruang domestik sepenuhnya merupakan tanggung jawab perempuan atau istri atau ibu dengan segala pembenaran yang diambil sumbernya dari aturan-aturan dalam ajaran agama atau tatanan adat istiadat yang diagungkan.
Bahkan jika mereka harus menjalankan pekerjaan di ranah publik, seluruh tanggung jawab rumah tangga masih juga dilimpahkan sepenuhnya kepada mereka, termasuk yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Sementara sebagai “tulang punggung keluarga”, laki-laki, suami, ayah, cukup menjalankan tugas untuk memastikan pendapatan material tetap terjamin.
Kegiatan yang diadakan untuk memperingati Hari Ayah Sedunia tersebut berupaya untuk menggugat anggapan dan pemikiran yang menempatkan ayah di lingkaran luar dari tanggung jawab pengasuhan anak.
Terlepas dari niat dan upaya baik tersebut, saya tergelitik dengan penggunaan istilah yang digunakan dalam kegiatan tersebut, juga perdebatan singkat saya dengan penyelenggara acara. Mereka memilih untuk menggunakan istilah “parenting”, dan saya sempat menyarankan agar menggunakan istilah “pengasuhan”. Masukan tersebut saya lontarkan dengan pertimbangan audiens yang akan menjadi peserta dari kegiatan tersebut yang tidak lain adalah publik masyarakat Indonesia dengan beragam latar belakang ekonomi dan status pendidikan.
Penggunaan istilah tersebut mungkin bagi beberapa orang–termasuk para pembaca tulisan ini–bukan hal yang perlu diperdebatkan, terlalu teknis, atau tidak substansial. Namun, dari mana datangnya anggapan tersebut? Tidakkah pada beberapa titik dibentuk oleh kesempatan yang tidak bersifat fitrah melekat pada diri setiap manusia sejak ia dilahirkan ke dunia?
Sebut saja misalnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang memungkinkan pembelajaran bahasa asing, kesempatan untuk mengakses bahan-bahan bacaan atau konten-konten di internet yang menggunakan bahasa asing, kesempatan untuk sekedar belajar dan memahami bahwa parenting telah mengandung perubahan makna dari akar katanya parent atau “orang tua”.
Oleh karena itu, penggunaan istilah tersebut sesungguhnya bisa dibaca sebagai sumber dari ironi. Ironi dari kenyataan bahwa pengetahuan tentang pola pengasuhan anak sesungguhnya perlu disebarkan seluas mungkin agar menjadi pengetahuan publik, sementara informasinya hanya bisa dikonsumsi oleh kelas tertentu, kelas yang mendapatkan kesempatan karena istilah yang digunakan. Oleh karena itu, pemilihan kata dan istilah dalam hal ini berkaitan erat dengan politik distribusi pengetahuan.
Dengan menggunakan sudut pandang dan cara berpikir yang sempit (baca: egois) mereka yang sepanjang hidupnya mendapatkan kesempatan sering menganggap orang-orang yang kurang atau bahkan tidak sama sekali mendapatkan kesempatan sebagai yang tidak berpengetahuan–melupakan kenyataan bahwa mereka juga punya andil dalam ketimpangan atau kesenjangan tersebut.
Keterbukaan informasi dan penyebaran pengetahuan pada nyatanya tidak berkutat dan tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur, seperti misalnya pembangunan jaringan internet, tetapi juga berkenaan dengan kesadaran tentang batas-batas tidak kasat mata dan kemauan untuk menghancurkan batas-batas tersebut. Tanpa adanya kesadaran dan kemauan itu, yang terjadi selanjutnya bukan lagi sekadar ketimpangan pengetahuan, tetapi juga relasi kuasa yang tidak berimbang antara kelas yang berkesempatan dengan yang tidak.
Michel Foucault telah mengargumentasikannya dengan formulasi “pengetahuan/ kekuasaan”, dengan penekanan bahwa kekuasaan tidak terbatas pada kendali yang dimiliki pemerintah atau aparat hukum atas rakyat, tetapi tersebar secara organik di masyarakat. Salah satu contoh yang digunakan Foucault untuk menjelaskan hal ini adalah penggunaan istilah “gila” oleh praktisi di bidang psikologi dan psikiater yang memiliki kuasa untuk melakukan pemeriksaan dan menentukan diagnosis kepada pasien.
Diagnosis yang menyatakan seseorang sebagai “gila”–yang tidak jarang berujung pada perawatan di rumah sakit, pembuangan dan eksklusi sosial, atau bahkan penyiksaan fisik–terlahir dari kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang–berkesempatan untuk–berpengetahuan. Sementara kadang kala perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang berpredikat “gila” secara fundamental tidak membawa kerugian pada dirinya sendiri atau orang lain.
Perlu dicatat juga bahwa Foucault mengalami sendiri hidup di bawah relasi kuasa yang tidak berimbang, yakni dengan mendapatkan diagnosis sebagai “gila” dan harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa karena orientasi seksualnya.
Relasi serupa agaknya berlaku dalam fenomena yang saya bicarakan dalam tulisan ini. Bahkan lebih parahnya, kelompok yang berkesempatan tidak hanya menentukan seperti apa keluarga yang baik dan tidak, tetapi juga mengendalikan distribusi pengetahuan agar tetap berada di gelembung yang didiaminya dengan menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang tidak dipahami oleh kelompok yang tidak berkesempatan. Oleh karena itu, mengesampingkan begitu saja penggunaan bahasa dan istilah atau menganggapnya sebagai hal yang tidak perlu dikritisi sesungguhnya juga memiliki implikasi kurang baik dalam dinamika politik penyebaran pengetahuan.
Dengan semua kealpaan atas pengalaman empiris dan pengetahuan mendalam terkait pengasuhan anak, saya merasa ada tembok yang perlu dibongkar terlebih dahulu, sebelum menyatakan diri sebagai sosok yang merevolusi peran ayah atau laki-laki dewasa dalam keluarga. Selamat Hari Ayah Sedunia bagi yang berkenan merayakannya.