IKN yang Ujug-Ujug Dekolonial
Seperti berhadapan dengan kemacetan ketika keluar rumah dan menempuh perjalanan di Jakarta, menemukan pemberitaan tentang perkembangan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) seakan menjadi hal yang tak terhindarkan ketika kita membuka situs berita atau bahkan laman media sosial.
Bagi beberapa orang, penemuan itu adalah hal yang menarik dan ditunggu-tunggu. Sementara bagi yang lain, barangkali utamanya yang berpikir ‘pembangunan IKN tidak ada dampaknya ke kehidupan saya’, berita-berita itu tidak ada bedanya dari puluhan atau bahkan ratusan konten yang berseliweran di semesta dunia maya.
Saya sendiri sebenarnya berada di posisi tengah di antara dua titik ekstrem tersebut. Terkadang saya mencari jalan tikus lain untuk menghindari pemberitaan tentang pembangunan IKN yang pada titik tertentu, karena kemunculannya yang berkali-kali, menjadi seperti gosip tentang perselingkuhan selebritis yang menjadi topik tren tapi tak pernah menarik untuk saya kunjungi.
Tapi tak jarang juga saya melibatkan diri lebih dalam dan mencari tahu lebih lanjut sesederhana karena isu yang diangkat secara spesifik menarik menurut kacamata saya. Salah satunya adalah pernyataan Presiden pada 13/8 lalu dalam kegiatan pengarahan untuk kepala daerah se-Indonesia di Istana IKN. Tentu dapat dipastikan dan diyakini bahwa tujuan diselenggarakannya acara tersebut bukan lain untuk menjaring dukungan lebih lanjut terhadap pembangunan IKN dan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Sebelumnya, para kepala daerah se-Indonesia dilibatkan dalam acara-acara yang sifatnya lebih simbolik. Salah satunya adalah prosesi Kendi Nusantara pada Maret 2022 yang mengharuskan para kepala daerah untuk datang ke titik nol IKN dengan –repot-repot– membawa satu liter air dan dua kilogram tanah dari daerahnya masing-masing untuk dimasukkan ke kendi tersebut.
Dalam penyampaiannya kepada para kepala daerah, Presiden membagikan pengalamannya selama sepuluh tahun bekerja dan bertempat tinggal di dua istana kepresidenan.
“Jadi kalau istana kita yang ada di Jakarta, yang ada di Bogor, itu adalah istana bekas kolonial yang dulunya dihuni. Jadi di Istana Negara, itu dihuni oleh Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Kemudian Istana Merdeka, saya juga kaget, ternyata Istana Negara, Istana Merdeka berbeda, dihuni oleh Jenderal Johann Wilhelm van Landsberg.”
Pernyataan tersebut masih berada pada tataran penyampaian fakta yang agaknya juga tidak diketahui oleh banyak masyarakat Indonesia. Istana Negara dan Istana Merdeka memang dua bangunan berbeda dan terpisah yang dihubungkan dengan sebuah taman.
Istana Negara pada mulanya merupakan kediaman pribadi J. A. van Bramm yang dibangun sejak 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten–yang disebutkan oleh Presiden pada penyampaiannya–sampai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg. Pada 1816, bangunan tersebut diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Semenjak itu, Istana Negara difungsikan sebagai kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda sampai Presiden Republik Indonesia.
Sementara itu, Istana Merdeka yang dulunya bernama Istana Gambir mulai dibangun pada 1873 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal James Loudon dengan fungsi utama sebagai kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menyerahkan proyek pengerjaan gedung tersebut kepada arsitek Drossares sampai selesai dibangun pada enam tahun kemudian pada masa Gubernur Jenderal Johann Wilhelm van Landsberg–yang juga disebut namanya oleh Presiden pada pidatonya di IKN.
Perubahan nama dari Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dilakukan oleh Sukarno sebagai bentuk syukur dan selebrasi atas kemerdekaan Indonesia. Selain Sukarno, sebenarnya hanya Gus Dur yang sempat tinggal di Istana Merdeka dan Joko Widodo juga sempat bertempat tinggal di sana sebelum pindah ke Istana Bogor.
Seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, Istana Bogor memang juga pernah menjadi hunian bagi pejabat kolonial. Tercatat sejak 1870 sampai 1942 Istana Bogor menjadi tempat kediaman resmi 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris. Dibangun dengan dilandasi perspektif eksotis bangsa Eropa dalam melihat lanskap alam tanah jajahannya, penghuni terakhir Istana Buitenzorg adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starken. Ia menyerahkan istana tersebut kepada Jenderal Imamura ketika pemerintahan militer Jepang menduduki Indonesia.
Meski fakta-fakta tersebut tidak dipaparkan secara menyeluruh dan lengkap, sampai titik ini kita bisa mengatakan bahwa tidak ada yang bermasalah dalam penyampaian Presiden di hadapan para kepala daerah tersebut. Hal yang menarik terdapat pada pernyataan berikutnya:
“Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi, Belanda. Bekas gubernur jenderal Belanda, dan sudah kita tempati 79 tahun. Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial).”
Saya tidak ingin mengatakan bahwa seorang Presiden tidak boleh memiliki perasaan atau kesan atas kehidupannya dan menyampaikannya kepada publik. Namun, yang perlu menjadi perhatian dalam hal ini adalah konteks tempat dan waktu disampaikannya pernyataan tersebut, yaitu di Istana IKN di tengah dinamika proses pembangunan IKN dan pasang surut wacana pemindahan ibu kota negara ke IKN. Perlu turut diingat juga siapa penyampai dan penerima pesan tersebut, yang dalam hal ini adalah seorang kepala negara, pemegang kekuasaan tertinggi, kepada kepala daerah yang dalam permainan catur barangkali bisa dialegorikan dengan pion-pion raja dan ratu. Pada taraf berikutnya tentu ada publik masyarakat sebagai pihak yang secara tidak langsung menerima pesan tersebut melalui pemberitaan media massa.
Sebelum membahas lebih lanjut kutipan di atas, saya ingin menyampaikan bahwa dalam tulisan ini saya tidak ingin mengulangi apa yang telah diberitakan melalui media massa, khususnya terkait urusan urusan investasi asing yang tidak kunjung masuk, kebutuhan kebutuhan dasar seperti air dan listrik yang belum tersedia, sampai pergantian orang-orang yang mengisi posisi-posisi penting dalam proyek pembangunan IKN seperti misalnya Ketua Otoritas IKN beserta wakilnya. Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini lebih berfokus pada strategi komunikasi publik terkait IKN–satu hal yang agaknya kurang tersentuh dalam pemberitaan yang telah beredar dengan bertubi-tubi.
Sejak pertama kali rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan disampaikan Presiden pada Pidato Kebangsaan tahun 2019 sampai hari ini, sudah banyak sekali pernyataan Presiden yang membahas tentang IKN. Tentu diperlukan pembacaan yang lebih mendalam dan terperinci untuk menelaah elemen-elemen komunikasi publik dari pernyataan-pernyataan yang muncul dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun, paling tidak sampai di sini kita bisa bersepakat bahwa secara umum IKN dikomunikasikan (baca: digadang-gadangkan) sebagai ‘harapan baru bagi Indonesia’. Sebenarnya kita tidak perlu heran dengan narasi-narasi demikian, karena hal tersebut telah menjadi bagian yang hampir tidak terpisahkan dari komunikasi politik. Kita sebagai masyarakat tentunya sudah punya banyak pengalaman–pahit–menghadapi janji-janji kampanye yang mengudara setiap kali menjelang pemilu mulai dari tingkat daerah sampai nasional. Namun, mengingat sifat negara sebagai alat untuk membentuk ‘identitas terbayang’, narasi-narasi demikian memang dibutuhkan. Oleh karena itu, meski tidak bisa sepenuhnya dibenarkan, penggambaran IKN sebagai harapan baru bukanlah hal yang mengherankan.
Komunikasi terkait IKN yang bertujuan untuk meraup dukungan publik masyarakat sebenarnya tidak hanya dilakukan melalui pernyataan Presiden. Pada 8–20 Agustus 2024, Galeri Emiria Soenassa Taman Ismail Marzuki menjadi tempat diselenggarakannya Pameran Bersama Arsip Kepresidenan bertajuk “Mari ke Mari ke Nusantara” yang diselenggarakan Kementerian Sekretariat Negara bersama OIKN dan beberapa instansi/lembaga lain.
Sejak catatan kuratorial yang ditulis Erwin Kusuma dan dipajang sebagai display pertama, pengunjung akan mengetahui bahwa pameran tersebut, sebagai bagian dari kampanye komunikasi pemerintah terkait IKN, mengandung pesan ‘normalisasi’ pemindahan ibu kota negara:
“Ibu kota negara pindah itu hal biasa. Meski tentunya perpindahan itu perlu waktu, perencanaan, niat, dan tekad untuk mewujudkannya.Sejarah panjang bangsa Indonesia telah membuktikannya.”
Sekali lagi, kemunculan pesan normalisasi kepindahan ibu kota negara juga bukanlah hal yang mengherankan, terutama jika dihubungkan dengan keseluruhan orkestrasi wacana IKN sebagai ibu kota negara baru. Tahun 2024 telah ditentukan–dan dikomunikasikan kepada masyarakat–oleh pemerintah sebagai target IKN selesai dibangun dan mulai ditempati.
Namun, target tersebut tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan segera tercapai. Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan publik terhadap proyek tersebut, sehingga pemerintah perlu menghadirkan pesan-pesan yang sekiranya dapat meredam keraguan di kalangan masyarakat. Menggunakan pameran sebagai medium penyampaian pesan yang diselenggarakan di ruang publik dengan tingkat kunjungan cukup tinggi seperti TIM bisa dinilai sebagai sebuah inisiatif yang cukup strategis, meski tingkat ketercapaian tujuannya masih perlu ditinjau lebih lanjut.
Semua hal yang tidak mengherankan dalam konteks strategi komunikasi publik tersebut seketika berbelok dengan penyampaian Presiden yang saya kutip di atas. Dalam salah satu pernyataan terbaru tentang IKN tersebut Presiden menarik pendengarnya ke masa lalu serta memanfaatkan sejarah dan memori kolektif tentang penjajahan–narasi yang belum pernah muncul sebelumnya. Sekilas, narasi baru dalam komunikasi terkait IKN tersebut terkesan positif–bukankah gagasan dekolonialisasi yang menjadi landasan pemikiran perjuangan kemerdekaan memang sudah semestinya terus kita lanjutkan sebagai bangsa bekas jajahan? Bukankah dekolonialisasi juga pernah menjadi ‘alasan’ Soekarno menginisiasi berbagai proyek skala besar tak lama setelah kemerdekaan?
Kedua pertanyaan di atas sebenarnya juga tecermin dari beberapa komentar netizen terhadap kiriman-kiriman liputan berita terkait pernyataan Presiden tersebut. Beberapa orang–entah mereka adalah satu dari sekian pendengung yang memang bekerja untuk pemerintah atau akun betulan–menempatkan Presiden Joko Widodo, atau paling tidak proyek pembangunan IKN, atau pernyataan terkait IKN, pada posisi sejajar dengan Sukarno dengan semua proyek yang dilakukan pemerintah pada masa pascakemerdekaan.
Pada saat itulah saya seketika tercenung, menyadari betapa rentannya narasi sejarah Indonesia untuk dikooptasi pihak-pihak di tampuk kekuasaan guna mendukung visi dan program (baca: ambisi) yang manfaatnya terhadap masyarakat masih sangat perlu dipertanyakan. Saya juga tercenung dengan ‘pengalihfungsian’ gagasan dekolonialisasi dari yang semestinya lekat dengan perlawanan atau resistansi terhadap kekuatan dominan beralih menjadi justifikasi terhadap tindakan-tindakan penguasa.
Dalam hal ini, sekali lagi saya merasa kita perlu menengok sejenak ke belakang dan melihat semua ini dalam gambaran yang lebih besar. Proyek-proyek besar yang diinisiasi Sukarno tak lama setelah pembentukan Republik Indonesia merupakan bagian dari Politik Mercusuar, yakni kebijakan politik pada 1960-an yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar dari New Emerging Forces (NEFO) atau negara-negara di dunia yang baru merdeka.
Untuk menjadi poros utama bagi NEFO, Indonesia membutuhkan berbagai landmark yang menyimbolkan keunggulannya di antara negara-negara yang baru melepaskan diri dari penjajahan. Berangkat dari gagasan antikolonial tersebut, Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan GANEFO atau Games of the New Emerging Forces sebagai tandingan Olimpiade dan Asian Games. Dibangunlah sejumlah infrastruktur pendukung penyelenggaraan GANEFO dan landmark kota seperti Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, pusat perbelanjaan Sarinah, sampai Masjid Istiqlal.
Proyek besar-besaran itu bukannya tidak bermasalah, karena diyakini berdampak negatif pada kondisi ekonomi nasional dan pada gilirannya menyebabkan salah satu inflasi terburuk dalam sejarah Indonesia, terutama dengan ambisi ‘berdikari’ yang digelorakan oleh Sukarno. Meski demikian, hal tersebutlah yang menjadikan Proyek Mercusuar tidak bisa disamakan begitu saja dengan proyek IKN yang jelas-jelas sangat bergantung pada kucuran investor asing.
Sejak pertama kali diinisiasi, pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya untuk menarik investasi asing untuk mendukung pembangunan IKN. Bahkan pada beberapa kesempatan Presiden turun tangan secara langsung dalam proses negosiasi dan pertemuan dengan pihak-pihak investor tersebut. Ketidakberhasilan mencapai target kesiapan pada tahun ini juga disinyalir disebabkan oleh kegagalan menarik investor asing, sementara bergantung pada APBN dan kerjasama dengan investor dalam negeri tidak akan cukup untuk menyelesaikan keseluruhan proyek.
Adapun kesan bahwa pembangunan IKN dilandasi oleh semangat dekolonialisme pun dengan mudah dipatahkan dengan apa yang disebut oleh Tempo dengan ‘Nawadosa’ sebagai bentuk sindiran terhadap Nawacita yang dikampanyekan oleh Presiden Jokowi saat pemilu. Seperti sempat saya sebutkan sebelumnya, dekolonialisme berkenaan erat dengan resistansi terhadap kekuasaan dominan, yang berarti juga perlawanan terhadap okupasi, tindak-tindak kekerasan dan pelanggaran HAM, serta perilaku-perilaku kecurangan.
Sementara itu, Joko Widodo sejak awal menekankan bahwa pemerintahannya tidak akan memprioritaskan penuntasan kasus pelanggaran HAM karena dapat menghambat pembangunan. Narasi sejarah tentang okupasi militer Republik Indonesia di Timor Leste, Aceh, hingga Papua sampai hari ini masih dikonstruksikan sebagai aksi heroik yang patut dilakukan atas nama NKRI.
Pembangunan berbagai infrastruktur fisik terus digenjot dengan mengesampingkan konflik agraria dengan masyarakat. Pelemahan otoritas dan independensi KPK juga merupakan penodaan terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi–satu hal yang sudah sepatutnya diperjuangkan mengingat sejarah kelam maraknya KKN selama rezim Orde Baru berkuasa. Di samping itu, tentunya kita tidak akan bisa lupa omnibus law UU Cipta Kerja yang berat sebelah menguntungkan para penanam modal. Semua hal tersebut tentunya jauh dari semangat perlawanan dekolonial.
Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya cukup mengingatkan dengan yang pernah terjadi pada rezim Orde Baru, terutama ketika pemerintah, diawali dengan keinginan Tien Suharto, membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Melalui yayasan-yayasan yang dikelola Tien Suharto, pemerintah pusat meminta sumbangan kepada konglomerat dan pejabat daerah untuk pembangunan TMII yang dinarasikan sebagai program pemajuan pendidikan.
Tien mengatakan bahwa pembangunan proyek ‘miniatur kebudayaan Indonesia’ tersebut menelan biaya Rp10,5 milyar. Ongkos tersebut semestinya dibebankan kepada pihak-pihak swasta dan pengusaha, tetapi pada kenyataannya pemerintah daerah tingkat provinsi ikut menanggung 16% dari total pembiayaan. Situs wisata edukasi tersebut pada gilirannya turut mendefinisikan (baca: mendikte) pengertian dan pemaknaan tentang budaya Indonesia yang cupet dan simplistik.
Oleh karena itulah kita tidak bisa begitu saja menyejajarkan, apalagi menyamakan, proyek IKN dengan Proyek Mercusuar. Narasi dekolonialisasi yang muncul secara ujug-ujug dalam komunikasi IKN tidak sepenuhnya sejalan dengan konsep ‘de-linking’ yang diteorisasikan oleh Walter Mignolo, yaitu proses pemisahan emansipatoris yang menentang dan melawan Erosentrisme. Alih-alih, narasi tersebut dimunculkan sebagai justifikasi atas keberlanjutan kolonialisme melalui opresi terhadap masyarakat Indonesia dalam bentuk-bentuk baru yang dilakukan ‘saudara penjajah’ dan bukan penjajah asing.
Saya cukup yakin bahwa paling tidak sampai akhir tahun ini kita masih akan mendengar sejumlah penyampaian dan pesan-pesan berkenaan dengan IKN, yang beberapa di antaranya barangkali lebih mengherankan dan menjebak. Di sinilah kita perlu semakin hati-hati, terlepas dari apakah proyek–ambisius–tersebut kita anggap tidak berdampak langsung pada kehidupan praktis sehari-hari, karena identitas dan memori kolektif kita menjadi pertaruhannya.