Kebaya Punya Siapa?
Untuk kesekian kalinya, publik masyarakat Indonesia diramaikan dengan pemberitaan terkait upaya pengakuan produk budaya oleh negara tetangga. Kita tentunya masih ingat perdebatan terkait reog, silat, batik, sampai tenun, yang membuat masyarakat kita seakan tiba-tiba ‘melek budaya’ atau peduli dengan budaya.
Kasus yang terbaru, sekarang muncul perdebatan tentang kebaya yang akan dinominasikan oleh Singapura sebagai warisan budaya UNESCO. Meskipun sampai hari ini UNESCO belum menerima secara resmi proposal dari pemerintah Singapura, hal tersebut sudah ramai diperbincangkan. Dan seperti kasus-kasus sebelumnya yang kebanyakan melibatkan pertentangan dengan Malaysia, masyarakat Indonesia merasa tidak terima dengan inisiatif Singapura karena beranggapan kebaya merupakan produk budaya asli Indonesia.
Satu hal menarik terkait kasus kebaya ini adalah strategi yang dipilih Singapura dalam mengajukan proposalnya kepada UNESCO, yakni melalui upaya multinasional dengan melibatkan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Strategi ini baru pertama kali dilakukan oleh Singapura menyusul keberhasilan mereka mendapatkan pengakuan UNESCO untuk hawker culture–sebuah praktik kuliner yang mengedepankan interaksi komunitas lintas budaya–pada 2020. Selain itu, di samping kebaya, pada bulan Maret lalu pemerintah Singapura juga telah mengumumkan daftar pendek 10 produk budaya yang mereka ajukan sebagai warisan budaya UNESCO.
Kembali ke perdebatan yang terjadi untuk kesekian kalinya di Indonesia, banyak hal menarik yang dapat dikaji lebih lanjut. Dari fenomena tersebut paling tidak kita bisa melihat pemahaman masyarakat umum tentang budaya, serta tarik menarik antara budaya dengan nasionalisme, dan budaya dengan relasi lintas negara dalam lingkup regional ASEAN.
Persoalan yang pertama, budaya dan nasionalisme, dapat terbaca dengan cukup jelas dari komentar masyarakat dalam menanggapi pemberitaan inisiatif negara lain dalam mengajukan suatu produk budaya yang familiar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari sebagai warisan budaya dunia. Saya pribadi adalah seseorang yang mempercayai ‘nasionalisme sebagai -isme’, suatu gagasan yang hadir karena adanya upaya-upaya pembentukan dan penguatan, bukan satu hal yang natural.
Yang saya maksud dengan ‘natural’ adalah bagaimana kita lahir dengan insting bertahan hidup, yang ditunjukkan oleh bayi baru lahir dengan cara menangis untuk meminta kebutuhan dasarnya dipenuhi (bayi menangis ketika lapar atau haus) atau ketika merasa dirinya terganggu atau terancam. Tetapi bayi tidak lahir dengan gagasan dalam kepalanya bahwa ia sebagai warga negara Indonesia perlu menjaga kedaulatan tempat kelahirannya. Nasionalisme dibentuk melalui berbagai cara dan media, termasuk institusi pendidikan yang kemudian akan menjadi bagian dari babak kehidupan bayi tersebut.
Respons penolakan masyarakat Indonesia terhadap pengajuan negara lain seringkali mengimplikasikan argumen-argumen yang mengarah pada nasionalisme etnis, dimana mereka sebagai bagian dari warga negara dan bangsa Indonesia merasa memiliki hak penuh atas produk-produk budaya yang mereka ketahui atau praktikkan. Kuatnya konstruksi nasionalisme menempatkan penolakan atas proposal negara lain sebagai respons yang dianggap tepat dan sudah semestinya dilakukan guna menjaga kedaulatan bangsa dan negara dengan segala produk dan praktik budayanya. Tidak ada ruang bagi shared culture, karena kepemilikan tunggal menjadi narasi yang utama.
Pada beberapa tingkatan dan kasus, nasionalisme bisa mengarah pada cara pandang ekstrem dalam melihat perbedaan dan keragaman. Bahkan sejarah peradaban manusia juga sudah mencatat bagaimana nasionalisme dijadikan justifikasi atas ucapan kebencian dan pelanggaran HAM.
Bergerak ke skala yang lebih besar, yakni relasi Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Singapura. Tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa pengajuan produk budaya oleh negara-negara tersebut tidak sepenuhnya salah karena adanya pertalian kultur yang sering disebut dengan “serumpun”. Hal tersebut merujuk pada suku Melayu yang anggotanya mendiami beberapa kawasan di Asia Tenggara modern, terutama lima negara yang menjadi pembicaraan dalam kasus pengajuan kebaya sebagai warisan budaya dunia UNESCO.
Tidak seperti nasionalisme sempit, cara pandang ini memberikan ruang bagi gagasan shared culture dengan tidak menjadikan produk dan praktik budaya tertentu sebagai sesuatu yang menempel pada ruang yang dikonstruksikan sebagai ‘negara’. Budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih cair, tidak dipersempit dan dibatasi dengan konsep-konsep teritorial. Tetapi secara sadar saya memang menyebutkan tentang ASEAN dengan mengingat peran dan identitasnya sebagai organisasi yang tentu saja terbentuk berlandaskan kepentingan politik. Keanggotaan ASEAN ditentukan oleh identitas teritorial yang beku dan kaku, bukan oleh identitas budaya dengan segala dinamika interaksi, akulturasi, dan asimilasinya.
Oleh karena itu, (setidaknya menurut pembacaan saya) bukan hal yang mengherankan jika kemudian sekretariat ASEAN tidak cukup aktif dalam upaya mengonsolidasikan negara-negara “serumpun” ketika terjadi perdebatan terkait kepemilikan budaya. Adapun forum-forum pertemuan yang diadakan seringkali hanya menyasar hal-hal yang berada di permukaan yang membuahkan kertas-kertas perjanjian, tetapi tidak menyentuh pada kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang budaya sebagai entitas yang cair.
Mari kita kembali ke perdebatan tentang pengajuan kebaya sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. Inisiatif Singapura untuk mengajukan proposal bidding dalam jaringan multinasional dapat dibaca sebagai upaya untuk memberikan sinyal kepada dunia tentang shared culture. Lalu akan muncul pertanyaan yang menurut saya tidak terhindarkan: mengapa Indonesia tidak masuk dalam jaringan tersebut? Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Singapura terkait hal tersebut, tetapi dalam kaitannya dengan proses pengajuan proposal, beberapa kelompok masyarakat Indonesia sudah melalukan sejumlah upaya di bawah narasi Kebaya Goes to UNESCO.
Di pemberitaan, jika kita mencari informasi tentang Kebaya Goes to UNESCO, kita akan mendapati situs Kebaya Goes to UNESCO dan liputan kegiatan yang dilakukan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Kedutaan Jendreral Republik Indonesia (KJRI) di Amerika. Dua hal dengan narasi dyang serupa, yakni memperkenalkan kepada publik lebih luas tentang kebaya sebagai salah satu pakaian tradisi Indonesia dan menjaring dukungan untuk pengajuan kebaya sebagai warisan budaya dunia UNESCO.
Satu hal yang menurut saya patut disayangkan adalah bagaimana kegiatan kampanye tersebut lebih berfokus pada penggunaan kebaya oleh perempuan dengan kreasi fesyen, dan kurang informatif dalam hal penggalian sejarah, serta perjalanannya sebagai salah satu produk budaya yang bersifat lintas batas negara. Hal tersebut mungkin dapat menguatkan posisi kebaya di konteks narasi kontemporer, tetapi pada saat yang sama mengecilkan perannya sebagai produk budaya yang sedang didorong untuk menjadi warisan budaya tak benda.
Satu hal lain yang kemudian perlu digarisbawahi dalam kasus ini adalah pemahaman kita terhadap fungsi utama dari pengakuan UNESCO atas suatu produk atau praktik budaya. Agaknya masyarakat umum menganggap pengakuan UNESCO berkenaan dengan hak cipta dan paten, menentukan siapa pemilik asli, dan menggarisbawahi originalitas, sehingga harus bersifat tunggal dan tetap. Anggapan tersebut sempat direspons oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, pada satu wawancara dengan menekankan bahwa pengakuan UNESCO terhadap satu karya budaya untuk masuk ke dalam Representative List of Intagible Cultural Heritage bukan berarti penetapan hak eksklusif kepada suatu negara.
Alih-alih, pengajuan tersebut merupakan wujud kontribusi satu kebudayaan terhadap kebudayaan dunia, sehingga sebenarnya sudah sepatutnya pengajuan suatu produk atau praktik budaya dilakukan dalam relasi multi-nasional. Hal ini akan membuat kita kembali ke sifat kebudayaan itu sendiri sebagai entitas yang cair dan meluber. Rembesannya melintasi batas-batas negara dan -isme-isme yang kaku; dihayati sebagai laku dan identitas yang terus bergerak dan berdinamika.