Kritikus vs Gatekeeper

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readMar 24, 2024

--

Seperti hari-hari biasanya, Selasa (19/3) lalu saya menyempatkan waktu untuk membaca satu-dua artikel di beberapa situs yang masuk dalam daftar bacaan saya. Pada saat itulah saya menemukan artikel yang menarik di laman The Verge, situs berita teknologi yang dikelola oleh Vox News, berjudul “Indie, rocked” yang ditulis Cath Virginia. Artikel tersebut membahas perjalanan Pitchfork, majalah musik daring yang pada mula perkembangannya berfokus pada pembahasan tentang musik alternatif dan indie.

Berbeda dengan majalah-majalah musik lain seperti Rolling Stone, Vibe, atau Spin, tulisan-tulisan dalam Pitchfork cenderung unik dan lebih ‘jujur’, bahkan tidak jarang mengandung kritik-kritik yang tajam. Meski demikian, tidak sedikit grup band atau musisi yang namanya terangkat berkat ulasan dalam Pitchfork seperti misalnya Arcade Fire, yang album pertamanya Funeral laris manis setelah mendapatkan revieu positif dalam majalah tersebut.

Sebagaimana dicatat Cath, popularitas Pitchfork menurun seiring berjalannya waktu, khususnya dengan perkembangan platform-platform music streaming dewasa ini. Kehadiran platform-platform tersebut telah mengubah cara publik menikmati musik. Jika sebelumnya kritik, revieu, atau ulasan di majalah mempengaruhi pilihan pendengar atas band atau musisi apa yang akan dibeli kaset atau CD-nya, sekarang kemudahan untuk mendengarkan musik secara streaming membuat publik tidak lagi–terlalu–membutuhkan ulasan di majalah. Pergeseran serupa juga terdapat pada perilaku musisi atau seniman musik yang saat ini lebih ‘dituntut’ membuat konten-konten menarik di media sosial untuk menunjang kariernya alih-alih sepenuhnya berfokus pada membuat karya yang berkualitas.

Sebagai konsekuensinya, Pitchfork akhirnya sekarang publikasinya berada di bawah GQ, majalah fesyen pria internasional yang berbasis di kota New York. Pilihan tersebut mungkin terdengar aneh bagi para pembacanya atau orang-orang yang ‘masih’ percaya musik sebagai seni. Meski demikian, ada justifikasi yang bisa dibilang ‘berterima’, terutama jika mempertimbangkan keberlanjutan publikasi tersebut, yakni pertimbangan pasar audiens, dimana audiens daring GQ sebanyak 71% adalah laki-laki dan audiens Pitchfork sejumlah 80% adalah laki-laki.

Saya tidak akan membahas lebih dalam terkait bagaimana semestinya musik didengarkan atau dinikmati karena perihal tersebut tidak menjadi kepakaran saya. Sejauh ini saya ‘hanya’ seorang penikmat musik dan harus mengakui bahwa saya merupakan pengguna setia platform-platform music streaming yang dianggap sejumlah pengamat musik sebagai disrupsi tersebut. Namun, ada satu kalimat dalam artikel Cath yang menarik perhatian saya: “Now that artists could bypass music publications and speak directly to their fans, anything that got between them–music magazines, record labels, Scooter Braun–was seen as a gatekeeper and, therefore, the enemy.

Ketika membaca tulisan tersebut, seketika saya teringat penuturan Nirwan Dewanto pada kegiatan diskusi peluncuran kalamsastra.id bertajuk “Kalam Kembali” yang diselenggarakan di Komunitas Salihara pada 24 Februari lalu. Salah satu hal yang menjadi pembahasan Nirwan dengan Zen Hae selaku moderator dalam diskusi tersebut adalah tulisan-tulisan yang diterima redaksi Kalam–yang kini tersedia (baca: bertransformasi) dalam format daring–yang sebagian besar berupa karya sastra, terutama puisi, dan sedikit yang berupa kritik sastra.

Sebenarnya pembicaraan tentang sepinya kritik sastra–dan juga kritik seni–bukanlah hal yang baru, dan Nirwan Dewanto bukan orang pertama yang mengeluhkannya. Fenomena tersebut juga sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Paling tidak majalah Commentary pada 1984 telah mengangkat isu tersebut pada 1984 melalui tulisan Robert Alter, “The Decline and Fall of Literary Criticism” yang membahas fenomena kejatuhan kritik sastra setelah sebelumnya menjadi ‘aktivitas intelektual yang signifikan secara kultural’ di Amerika Serikat dan Inggris; meskipun tulisan tersebut lebih berfokus pada kebangkitan teori sastra yang berkonsekuensi pada melemahnya pembacaan kritis.

Sementara dalam konteks Sastra Indonesia, pada satu sisi sejumlah pihak merindukan sosok-sosok seperti H.B. Jassin atau A. Teeuw yang memfokuskan karier kepenulisannya sebagai kritikus sastra. Sementara pada sisi lain, tidak sedikit pula yang mengkritik praktik-praktik yang dilakukan para kritikus tersebut karena menyebabkan lahirnya ‘tonggak-tonggak’ atau terbangunnya ‘menara gading’ dalam Sastra Indonesia yang mengesampingkan banyak penulis atau karya.

Sampai dalam diskusi tersebut Nirwan mengatakan “nanti kalau mengkritik dibilang gatekeeper”. Saya yang turut hadir dalam kesempatan itu sebagai salah satu kontributor undangan edisi pertama kalamsastra.id yang mengirimkan naskah kritik terhadap novel Triskaidekaman, Cara Terampuh Membunuh Nyamuk, tidak kuasa menahan tawa. Ditambah pada tahun ini saya juga berencana menerbitkan kumpulan artikel kritik sastra yang drafnya sudah selesai dan sedang menunggu proses penyuntingan.

Walaupun sudah terjadi cukup lama, mungkin fenomena yang dihadapi sastra bisa dibilang tidak seekstrem yang melanda dunia musik. Paling tidak saat ini belum ada platform digital yang menjadikan karya sastra ‘hanya sebagai konten’ layaknya musik dijadikan sekadar latar suara video pada konten-konten TikTok. Meski dewasa ini cukup ramai juga apa yang disebut dengan ‘penyair Instagram’ yang akun media sosialnya berisi konten satu dua larik tentang romantisme senja dan kopi (baik pada titik ini saya mungkin terdengar seperti gatekeeper), menurut saya sifat inheren dari karya tulis paling tidak menjadikannya sedikit lebih sulit untuk diperlakukan layaknya musik di era streaming saat ini.

Meski demikian, tetap saja banyak pertanyaan yang menghantui benak saya setelah mendengar perkataan Nirwan dan kemudian membaca tulisan Cath, terutama perihal keberterimaan peran kritikus di tengah semua fenomena era digital dewasa ini.

Salah satu pertanyaan yang bisa dibilang paling mengganggu adalah sejauh mana atau seberapa besar sebenarnya posisi tawar kritik sastra saat ini di hadapan fenomena-fenomena yang muncul di era teknologi digital, termasuk tuduhan sebagai gatekeeper?

Konsep gatekeeping yang akhir-akhir ini menjadi viral karena media sosial sebenarnya sudah dicetuskan pada 1943 oleh Kurt Lewin, seorang psikolog dan pionir psikologi sosial dari Jerman. Bermula sebagai teori yang digunakan untuk menganalisis persepsi personal dan bagaimana seseorang berupaya memahami dunianya melalui pemahaman tentang memori, hasrat, dan tujuan, gatekeeping dalam perjalanannya merambah ke ilmu komunikasi salah satunya untuk mengkaji fenomena persebaran informasi.

Pada satu sisi, gatekeeping menjaga kita tetap ‘waras’ di era informasi seperti saat ini. Editor media massa bekerja di balik meja menentukan informasi mana yang akan diberitakan dan mana yang tidak sehingga ada taraf relevansi yang terjaga. Namun, di sisi lain, gatekeeping telah dianggap sebagai musuh dan iblis dalam konteks interaksi media sosial. Seorang konten kreator atau selebritis yang tidak mencantumkan merek riasan yang ia pakai di dalam kontennya akan dianggap membatasi informasi yang semestinya berhak diketahui para pengikutnya atau publik secara umum atau membangun eksklusivitas.

Dalam hal ini, penulisan kritik agaknya berdiri di titik ‘antara’ kedua poros tersebut. Kritikus tidak akan mengulas semua karya dan melakukan seleksi karya-karya mana saja yang akan dibahasnya. Harus dikatakan tidak masuk akal untuk mengharapkan apalagi meminta seorang kritikus untuk melakukan pembacaan dan kajian terhadap semua karya sastra yang terbit dalam satu tahun misalnya, apalagi saat ini ditambah dengan perkembangan platform-platform digital yang tidak menuntut penulis untuk berkompromi dengan masa tunggu proses percetakan dan penerbitan karya. Dengan adanya seleksi, eksklusi menjadi konsekuensi logis. Oleh karena itu, dapat dikatakan semua dan setiap kritikus sastra adalah seorang gatekeeper dalam arti melakukan pemilahan atas informasi yang disampaikannya, yakni pembacaan atas karya-karya yang dipilihnya saja.

Namun, bagaimana dengan ‘eksklusivitas’ dalam pengertian membentuk kelompok-kelompok elite atau mentasbihkan individu-individu tertentu sebagai tonggak? Menurut saya, hal tersebut tidak (lagi) menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh mereka yang menulis kritik, karena pada kenyataannya kultur internet telah meruntuhkan atau paling tidak menurunkan validasi tatanan-tatanan seperti itu. Barangkali di masa-masa sebelumnya, atas nama ‘sejarah’ dan identitas, penentuan siapa-siapa yang dianggap pantas untuk mewakili zaman tertentu merupakan hal yang diperlukan.

Toh dalam perkembangannya narasi-narasi tandingan terhadap nama-nama besar dan tonggak-tonggak menara gading tersebut juga terus bergulir. Ambil contoh misalnya S. Rukiah yang kini turut dimasukkan dalam perbincangan tentang Sastrawan Angkatan ’45 setelah sebelumnya tersisih dari sejarah sebagai dampak dari politik anti-komunis yang digencarkan rezim Orde Baru. Atau dalam kasus sejarah film, kemegahan nama Usmar Ismail sebagai Bapak Film Nasional juga terus dikomentari dengan argumen-argumen yang mengangkat nama sutradara-sutradara lain yang film-filmnya juga menjadikan nasionalisme sebagai tema cerita, terlepas dari kesesuaiannya dengan narasi sejarah Revolusi yang diproduksi penguasa.

Pertanyaan yang mengikuti berikutnya adalah lalu untuk apa sebenarnya ada kritik sastra sekarang ini? Dalam konteks industri musik, Cath sudah mengakui bahwa kritik atas satu album atau single baru sekarang tidak lagi bisa menentukan atau mengarahkan pasar. Hal serupa agaknya juga berlaku dalam ranah sastra. Namun, seberapa jauh sebenarnya kita bisa mengatakan “industri sastra” seperti “industri musik”? Apakah dalam sejarah peradaban manusia sastra pernah benar-benar menjadi suatu jaringan aktivitas ekonomi yang masif? Saya meragukan itu.

Di sisi lain, saya kurang paham seperti apa hal ini bekerja di dunia musik, tetapi kritik sastra atau paling tidak pembacaan oleh orang lain memberikan dampak terhadap penulis karya itu sendiri. Paling tidak bagi saya, satu kritik besar yang saya dapatkan untuk novel (fiksi sejarah) pertama Buku Harian Keluarga Kiri adalah keseragaman pada tonality tiga karakter bersudut pandang pertama yang saya hadirkan dalam karya tersebut. Keseragaman itu tidak logis mengingat ketiganya memiliki latar usia, gender, dan pengalaman pribadi yang berbeda-beda. Dalam kata lain, Dhianita sebagai penulis masih terlalu kentara dalam karya tersebut.

Kritik tersebut menjadi satu pegangan yang saya ingat terus dalam membuat karya-karya selanjutnya, termasuk kumpulan cerpen Rumah Dukkha yang menghadirkan subjek pencerita lebih beragam lagi. Apakah saya kemudian berhasil mengatasi kekurangan tersebut? Sekali lagi pembaca dan kritikus yang menjadi penilai terbaik. Oleh karena itu, untuk mengatakan bahwa kritik sastra atau sesederhana respons pembaca sama sekali tidak berguna dan tidak relevan saat ini menurut saya adalah pendapat yang terlalu pesimis–untuk tidak mengatakannya ‘apokaliptik’.

Mungkin saya harus mengatakan bahwa H.B. Jassin bisa dibilang beruntung karena ia hidup dan berkarier pada masa-masa ketika istilah gatekeeper masih digunakan secara terbatas, belum viral seperti saat ini, dan yang terpenting belum menjadi label tertentu yang bisa membuat seseorang menjadi musuh bersama. Namun, bahkan sebelum istilah itu digunakan sedemikian rupa saat ini, bukankah kritikus memang sudah harus siap menjadi musuh banyak orang? Jadi apakah kita masih perlu menahan diri untuk menulis dan berpendapat karena takut dituding sebagai gatekeeper?

--

--