Love-Hate Relationship dengan Museum

Dhianita Kusuma Pertiwi
8 min readMay 26, 2024

--

Ketika membicarakan tentang permuseuman di Indonesia, saya mengamati bahwa kita punya perasaan dan relasi yang kompleks dengan museum. Perasaan dan relasi yang kita punya terhadap dan dengan museum seperti layaknya yang dialami dan dimiliki oleh anak perempuan dengan ibunya, sepasang kekasih yang belum lama putus, atau seorang kritikus sastra dengan ekosistem Sastra Indonesia, yaitu love-hate relationship.

Pada satu sisi, kita menyimpan rasa bangga, kagum, cinta terhadap museum dengan segala kemegahan narasi pewarisan sejarah. Sementara pada sisi lain, kita juga enggan, muak, benci dengan museum karena ketidakmampuannya memikat masyarakat umum untuk mengunjunginya. Pertemuan perasaan-perasaan itu biasanya termanifestasikan dalam bentuk ucapan-ucapan penolakan berkedok seperti misalnya, “saya sebenarnya suka belajar sejarah, tapi museum kita jelek!”

Apakah ucapan itu salah? Barangkali akan dianggap sebagai suatu kesalahan oleh tentara pangkat bawahan berjiwa nasionalis tinggi yang ditugasi menjaga museum militer dan hanya mendapatkan upah kecil dari pengabdiannya itu. Sementara itu, bagi saya sendiri ucapan yang demikian itu tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Pada kenyataannya, sebagian besar museum di Indonesia belum mampu membangun pesonanya untuk menjadi pilihan destinasi.

Belum lagi jika kita bicara tentang tren-tren dunia maya seperti “Instagramable” atau “TikTokable” (apakah istilah ini benar-benar ada?) sebagian besar museum di Indonesia dapat dipastikan tidak masuk dalam kategori-kategori tersebut. Kampanye-kampanye pariwisata edukasi seperti #AyoKeMuseum masih belum mampu mengungguli iklan-iklan promosi taman-taman wisata yang menyihir anak-anak atau membuat orang tua takut dianggap ketinggalan zaman.

Pembicaraan tentang museum, kali ini yang bernada cukup positif, mulai muncul ketika pemerintah mengumumkan keberhasilannya melakukan repatriasi artefak-artefak bersejarah yang selama ini berada di luar wilayah NKRI dengan berbagai macam latar belakang cerita akuisisi, mulai dari berpindah tangan dalam relasi perkawanan kolektor seni berjiwa kolonial yang melihat benda-benda itu sebagai koleksi eksotis, sampai diperjualbelikan di lapakan pasar seni dengan harga murah.

Perihal ini menjadi kabar baik bagi para pejuang antikolonial dan dekolonial yang jengah dengan kepongahan negara-negara penjajah dalam penguasaan pengetahuan dan peradaban atas negara-negara terjajah. Dalam konteks global, dekolonialisasi budaya-budaya material memang sedang menjadi wacana dan aksi yang dimafhumkan–meski hal tersebut tidak terlalu muncul dalam pembicaraan tentang repatriasi “benda-benda Nusantara” (karena apa itu dekolonialisasi jika yang penting besok ada uang untuk beli nasi). Bagi mereka yang lebih membumi dan realistis itu, repatriasi membuat mereka senang karena tidak harus pergi jauh-jauh ke luar negeri untuk melihat warisan nenek moyang sendiri.

Meski demikian, tidak sedikit juga warga yang mengkritik repatriasi tersebut. Kritik yang mereka sampaikan menyiratkan keraguan, ketakutan, kesangsian, kebimbangan, dan teman-temannya, akan kemampuan museum di Indonesia untuk merawat benda-benda cagar budaya itu. “Dengan fasilitas, sumber daya, dan kondisi museum Indonesia yang ada sekarang, apa bisa merawat benda-benda mulia bertahtakan cerita sejarah kemegahan kerajaan Nusantara yang tercetak di dalam buku teks yang kemudian diloakkan dan dipakai pembungkus tempe oleh tukang sayur?” tanya mereka.

Sekali lagi, sejarawan atau arkeolog kelas kakap yang mencintai belalai Ganesha akan kesal mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, bagi sebagian orang lain, tidak ada cara yang lebih tepat untuk mengekspresikan campuran rasa cinta dan benci mereka terkait museum dan segala isinya.

Gejolak-gejolak pertemuan dua rasa itu akhirnya direspons juga oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya di seluruh Indonesia dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya pada 2022. Sementara pengumuman publiknya baru saja dilakukan pekan lalu di Museum Vredeburg menggunakan istilah lain yaitu Indonesian Heritage Agency disingkat IHA.

Sebelumnya, tepatnya sepanjang akhir tahun 2023, dalam pemberitaan-pemberitaan berbahasa Inggris tentang kebakaran di Museum Nasional, media dalam maupun luar negeri menggunakan nama terjemahan Indonesian National Museum. Padahal Louvre, Rijksmuseum, Museo del Prado bisa dengan jumawanya tetap mempertahankan nama dalam bahasa Prancis, Belanda, dan Italia. Memang dekolonisasi belum secanggih sepiring nasi.

Pembentukan BLU itu disahkan secara hukum melalui Peraturan Mendikbudristek №28 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum dan Cagar Budaya. Sebagaimana diisyaratkan oleh judulnya, aturan tersebut hanya berisikan definisi dan instruksi nomenklatur-nomenklatur jabatan pengelola museum dan cagar budaya. Tidak ada gagasan, konsep, falsafah, benci dan cinta dalam aturan dengan 10 lembar halaman dan 1 lampiran tersebut.

Barulah saat peluncuran IHA kita mendengar itu disampaikan oleh Dirjen Kebudayaan menggunakan istilah-istilah yang elok. Jika diturut adalah sebagai berikut. Ada gagasan besar “reimajinasi” yang diturunkan menjadi tiga strategi, yaitu reprogramming, redesigning, reinvigorating. “Opo kuwi?” tanya penjaja bakpia mini kaya rasa yang menawarkan dagangannya kepada pejalan kaki Car Free Night sepanjang pelataran luar Museum Vredeburg.

Saya tidak ingin menerjemahkan ketiga istilah tersebut karena sepertinya tidak ada intensi untuk itu. Saya ingin menjelaskannya juga sesuai dengan apa yang disampaikan Dirjen Kebudayaan pada malam peluncuran IHA, kira-kira seperti ini.

  1. Reprogramming adalah tentang memprogram koleksi dan kuratorial, mengubah narasi besar dari setiap museum dan warisan budaya untuk memastikan bahwa kisah-kisah yang kita ceritakan tidak hanya berakar dalam sejarah, tetapi juga relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini. Ini menciptakan sebuah narasi yang berkelanjutan dan dinamis, menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
  2. Redesigning mengambil bentuk perancangan ulang bangunan dan ruang untuk memperkaya pengalaman pengunjung. Ini tidak hanya sebatas estetika, tetapi juga bagaimana kita memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan sambil menjaga dan menghargai koleksi yang tak ternilai harganya. Kami akan memastikan bahwa desain baru memenuhi standar human design yang mengangkat dan menghormati setiap artefak, dan pada saat yang sama memaksimalkan engagement pengunjung.
  3. Reinvigorating membawa kehidupan baru ke dalam kapasitas lembaga. Kami berkomitmen untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi individu yang terlibat dalam mengelola lembaga-lembaga ini, menjamin keberlanjutan dari setiap inisiatif yang kita lakukan.

Ternyata move on dari perasaan benci tapi cinta tidak sesederhana membakar foto-foto dan barang-barang gono gini sambil menyesap ciu yang pedih di tenggorokan, pedih di lambung, pedih di hati. Kita perlu telaah satu per satu tiga hal tersebut di atas, barangkali lebih seru jika dimulai dari yang paling terakhir.

Peningkatan profesionalisme dan kompetensi individu pengelola museum dan cagar budaya merupakan upaya meredakan kegusaran khalayak berhadapan dengan pemandu museum yang terlalu fokus untuk menjaga koleksi museum dan cerita yang tersimpan di dalamnya dan tidak ingin repot-repot menjaga perasaan pengunjung dengan mendampingi mereka berkeliling dan menjelaskan mengapa ada satu benda tertentu di satu lemari, kotak kaca, atau laci tertentu.

Hal itu juga akan mengusir keraguan, ketakutan, kesangsian, kebimbangan, dan teman-temannya, yang dirasakan banyak orang terkait repatriasi atau pun perkara-perkara lain yang tidak hanya tentang sepiring nasi.

Poin kedua berkaitan erat dengan keluhan-keluhan seputar tidak menggugah, tidak Instagrammable-nya museum di Indonesia sehingga hampir tidak ada alasan untuk mengunjunginya kecuali ada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi seperti mengerjakan tugas mata pelajaran Sejarah yang membuat terkantuk-kantuk dalam kelas. Saya sendiri sebenarnya sudah mendapati geliat perubahan yang didorong strategi redesigning ini ketika berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda pada pertengahan tahun lalu.

Panel ilustrasi tokoh-tokoh pencetus Sumpah Pemuda di Museum Sumpah Pemuda (koleksi dokumentasi pribadi)

Teknologi elektronik dan digital yang menyala-nyala mencoba berbaur dengan cerita kepahlawanan tokoh-tokoh di masa lalu. Panel-panel bercat warna terang mencoba menarik perhatian pengunjung Generasi Z yang dibilang lebih tertarik dengan visual daripada teks. Upaya yang menurut saya pantas diapresiasi, tetapi masih membutuhkan pertimbangan-pertimbangan artistik yang lebih mendalam agar pertemuan elemen-elemen yang terikat dengan waktu tersebut bisa terjadi dengan lebih mesra dan tidak menambah alasan untuk menumbuhkan bibit-bibit baru rasa benci tapi cinta terhadap museum.

Poin pertama masuk ke perkara yang lebih mendalam dari keberadaan suatu museum, yang melibatkan apa-apa yang bisa disebut dengan ideologi, kepentingan, kekuasaan. “Memprogram koleksi dan kuratorial” dan “mengubah narasi besar museum” bukan cuma sekadar memilih cap cip cup kembang kuncup barang-barang yang dianggap bagus untuk dipajang, tetapi melibatkan pertimbangan mengapa barang-barang itu harus ada untuk dipajang, dan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi jawaban dari mengapa itu berkaitan dengan ideologi, kepentingan, dan kekuasaan.

Untuk mudahnya, kita bisa gunakan Museum Vredeburg yang dengan segala pertimbangannya menjadi lokasi peluncuran IHA. Saya sebelumnya juga sudah mengunjungi museum tersebut, sekitar tahun 2018 atau 2019, yang berarti pada saat itu belum ada yang namanya IHA. Penelusuran saya mengikuti alur diorama di dalam museum tersebut terasa lebih menakutkan dari masuk ke rumah hantu, lebih memabukkan dari naik wahana halilintar, lebih membuat saya ingin menangis daripada nonton film drama.

Monumen dalam bentuk diorama memang menjadi artefak unggulan Museum Vredeburg. Museum tersebut memiliki empat ruangan diorama yang berusaha merangkum dan merepresentasikan peristiwa-peristiwa “yang dianggap” bersejarah dalam kurun waktu Perang Diponegoro sampai penjajahan Jepang (Diorama 1), masa-masa menuju Proklamasi Kemerdekaan sampai Agresi Militer Belanda (Diorama 2), lahirnya Perjanjian Renville sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (Diorama 3), hingga periode terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai pemerintahan Orde Baru (Diorama 4); atau dalam perhitungan matematika taktisnya mencakup lebih dari satu abad. Sebuah upaya yang cukup ambisius.

Minirama di Diorama 4 dengan legenda “Lokasi : Alun-alun Utara Yogyakarta Waktu : 20 Oktober 1965 Adegan : Kolonel Widodo sedang menyampaikan amanatnya dalam rapat kebulatan tekad mengutuk PKI di Alun-alun Utara Yogyakarta.”

Namun, yang paling membekas dalam benak saya adalah monumen-monumen yang mengisi ruang Diorama 2, 3, dan 4, yang memberikan penekanan cukup tegas pada heroisme Suharto dalam perjalanan sejarah Indonesia pra-NKRI dan pasca-NKRI, termasuk dalam perwujudan cita-cita mulia nan patriotik menggempur komunisme dari tanah air Indonesia yang Pancasilais. Pada legenda-legenda yang menyertai panorama-panorama tersebut, masih bertengger dengan manisnya istilah-istilah yang sudah sepatutnya ditinggalkan, salah satunya seperti “G30S/PKI”.

Minirama di Diorama 4 dengan legenda “Lokasi : Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada Bulaksumur Yogyakarta Waktu : 19 Desember 1974 Adegan : Presiden Soeharto bertukar pendapat dengan pengurus senat serta guru besar UGM pada saat dies natalis UGM XXV

Lalu bagaimana sekarang? Sejauh ini, paling tidak pada kunjungan saya sepekan lalu ke Museum Vredeburg untuk acara peluncuran IHA, belum tampak banyak perubahan. Di situlah saya mulai bertanya-tanya.

Bagaimana museum tersebut kemudian dianggap representatif atau paling tidak pantas untuk menjadi lokasi peluncuran suatu program yang salah satu tujuannya adalah untuk mengubah narasi besar museum?

Bagaimana kemudian strategi reprogramming itu akan dilakukan, dengan catatan kita harus berhadapan dengan budaya material atas suatu narasi yang sudah bercokol berpuluh-puluh tahun dan sampai hari ini masih ada agen-agen pewarisnya?

Sementara itu, terselip dalam konsep besar reimajinasi itu adalah meningkatkan fungsi museum sebagai destinasi wisata edukasi bagi pelajar. Jika strategi reprogramming itu tidak segera dijalankan, sementara pelajar sudah diarahkan untuk mengunjungi museum-museum tersebut, bukankah kita hanya akan meneruskan pewarisan narasi sejarah tunggal yang dulu sudah dilakukan melalui berbagai media oleh pemerintah Orde Baru?

Berkaca pada dekolonialisasi museum-museum di negara penjajah, hal tersebut membutuhkan waktu dan upaya yang tidak sedikit. Ruang untuk mengkritik museum dan wacana yang diusungnya harus dipersiapkan dan dibuka lebar-lebar terlebih dahulu dan melibatkan publik luas, bukan hanya para pemegang jabatan yang hak, kewajiban, dan segala gerak-geriknya diatur dalam aturan tata negara.

Latar belakang ideologi dan kepentingan orang-orang yang berada di balik meja kuratorial pun sangat menentukan sejauh mana kritik yang sudah disampaikan kemudian mewujud dalam pemilihan benda-benda yang dipamerkan di museum. Museum-museum besar seperti British National Museum

Untuk membangun museum yang kritis, yang tidak hanya Instagrammable, diperlukan kritik museum, bahkan pada titik tertentu penelanjangan sejarah masa lalu yang selama ini sudah dipelajari, dianut, diakui kebenarannya, dibenci dan dicintai, dimakan sebagai lauk dengan sepiring nasi.

Sejauh mana kita siap dengan itu? Sejauh mana program ini akan menghapus benci dalam love-hate relationship kita dengan museum?

--

--