Malam 30 September di Rumah S. Rukiah
Layar televisi pada pekan terakhir September 2023 kembali dipenuhi dengan penayangan Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI. “Tradisi” tersebut seakan terus dipertahankan meski dalam satu dekade terakhir terus bermunculan narasi-narasi alternatif terkait peristiwa yang menggegerkan tersebut, termasuk pelanggaran HAM massal yang terjadi setelahnya.
Sebut saja misalnya pembuatan film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014), pelaksanaan Persidangan Rakyat 1965–66 di Den Haag pada 2016, sampai pengesahan Keputusan Presiden №17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu, serta penerbitan sejumlah karya penelitian yang menantang narasi negara.
Sementara itu, saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa untuk menghabiskan malam 30 September di kediaman S. Rukiah di Purwakarta. Rumah tersebut menyimpan potongan-potongan memori S. Rukiah sejak ia lahir, tumbuh besar, sampai meninggal dunia. Bukan hanya memori yang manis dan menyejukkan untuk diingat dan diceritakan kembali, tetapi juga yang menyiratkan kejatuhan S. Rukiah di ranah publik maupun di ranah domestik. Kejatuhan yang datangnya seakan tanpa isyarat dan sakitnya tidak mengenal obat.
S. Rukiah lahir satu tahun sebelum momentum penting dalam perjalanan pergerakan nasional di Indonesia, yakni Kongres Pemuda II dan Kongres Perempuan, masing-masing menghasilkan Sumpah Pemuda dan pendirian badan federasi bersama dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) sebagai basis perkumpulan organisasi perempuan pertama di Indonesia.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Gadis Rendah dan Pendidikan Guru, S. Rukiah sempat terlibat dalam revolusi fisik dengan menjadi anggota Palang Merah. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 1947, S. Rukiah menerbitkan karya sastranya yang pertama dalam bentuk puisi. Titik awal tersebut membawa S. Rukiah terjun lebih dalam ke dunia Sastra Indonesia dengan menerbitkan prosa, puisi, dan sastra anak. S. Rukiah juga sempat menjadi editor di sejumlah terbitan berkala, mendirikan surat kabar, mengasuh majalah anak-anak, serta menduduki posisi-posisi penting dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Nama S. Rukiah beredar berdampingan dengan sejumlah nama besar yang sudah terlebih dahulu terjun di kesusastraan Indonesia, yang sebagian besar adalah laki-laki. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa catatan yang bersifat personal, seperti misalnya entri catatan harian Ajip Rosidi dan korespondensinya dengan H. B. Jassin, S. Rukiah menjalin perkawanan yang akrab dalam gelanggang Sastra Indonesia. Ia tidak hanya menghidupi Sastra Indonesia dengan karya-karyanya yang diwarnai semburat merah, baik itu merah perjuangan ataupun merah cinta, tetapi juga dengan persahabatan yang ia bangun dan jaga dengan baik.
Bahkan S. Rukiah turut menyumbangkan pemikiran-pemikiran penting ketika ia aktif di organisasi Lekra. Konsep ‘turun ke bawah’ atau ‘turba’ yang menjadi pedoman proses kreatif para seniman dan penulis Lekra tercatat dalam salah satu arsip Kongres sebagai sumbangan pemikiran S. Rukiah.
Sejarah juga mencatat kehadirannya bersama Sugiarti Siswadi di kongres sastra yang diselenggarakan di Jerman Timur sebagai perwakilan Lekra untuk menyampaikan pidato yang ditulisnya sendiri. Ia tidak hanya meramaikan pergerakan dengan sorak sorai perlawanan, tetapi juga dengan pemikiran yang lahir dari perenungan atas merah yang tercecer di sekitarnya.
Kiprah S. Rukiah di ranah publik tidak menjadikannya sosok yang asing dan berjarak dari orang-orang yang hidup dalam ranah domestiknya. Sejak 1952, ia bersuamikan Sidik Kertapati, salah seorang sosok penting dalam pergerakan tani dan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, serta tokoh politik di level nasional.
Dari pernikahan itu, S. Rukiah melahirkan enam orang anak, terdiri dari dua putri dan empat putra, yang masing-masing namanya tertulis di halaman awal karya-karya sastra anaknya. Kehidupan rumah tangga S. Rukiah dan Sidik Kertapati tampak seperti apa yang saat ini sering disebut dengan relationship goals pada zamannya–bagaimana dua orang tokoh yang memberikan kontribusi bermakna pada pencapaian kemerdekaan dan pencarian identitas Indonesia saling berbagi kasih yang tulus dan melahirkan ke dunia bibit-bibit yang akan meneruskan cita-cita kebangsaan.
Putri kedua S. Rukiah sempat menuturkan bahwa ibunya sama sekali tidak tampak seperti perempuan yang sibuk sendiri dengan hal-hal yang dikerjakannya di luar rumah. Di tengah kesibukan sebagai tokoh nasional di ibu kota, S. Rukiah dikenal sebagai sosok ibu yang selalu hadir untuk anak-anaknya, mulai dari membantu mengerjakan pekerjaan rumah sampai mengantarkan semuanya tidur saat malam tiba. Sayangnya, potongan-potongan memori yang tersimpan di Jalan Halmahera, Jakarta, tidak lagi bisa ditelusuri jejaknya–atau paling tidak membutuhkan upaya yang luar biasa untuk menggalinya–karena rumah tersebut turut terdampak pasca Gerakan 30 September.
Sementara itu, potongan-potongan ingatan tentang S. Rukiah masih terekam dengan cukup baik di rumah kelahirannya, meski tidak bisa dibilang melimpah. Hanya tersisa empat foto tua yang tergantung di dinding, dua di antaranya menampilkan rupa S. Rukiah berdampingan dengan Sidik Kertapati dan wajahnya yang telah dimakan perjalanan usia. Sementara dua foto lain merekam rupa kedua orang tuanya serta kakak kandungnya, Siti Tarsiyah.
Selain itu, perabot-perabot seperti lemari, meja, dan kursi yang sempat menjadi saksi kehidupan S. Rukiah juga beberapa masih digunakan sampai hari ini. Hanya saja benda-benda pribadi milik S. Rukiah, khususnya yang berkaitan erat dengan karier kepenulisannya, seperti mesin ketik, kacamata baca, serta buku-buku tidak terdeteksi lagi keberadaannya. Bahkan ruangan yang sempat menjadi kamar pribadinya pun sudah dialihfungsikan dan tidak lagi bisa diakses.
Keping-keping ingatan yang tersisa pun dikumpulkan dari penuturan para tetangga di perkampungan sekitar Jalan Kamboja, yang kebanyakan masih berhubungan darah. Relasi persaudaraan dan kekeluargaan masih terjaga dengan sangat baik sampai generasi keempat dari ibu kandung S. Rukiah meski sudah terpencar di sejumlah daerah. Mereka semua mengingat S. Rukiah sebagai sosok yang lemah lembut, tak pernah sekali pun keluar dari mulutnya kata-kata yang kasar atau pun yang diucapkan dengan nada keras dan tinggi. Rumah yang diwariskan dari orang tua S. Rukiah tersebut pun menjadi tempat berkumpul keluarga besar saat lebaran, menawarkan kehangatan bagi semua yang bertandang.
Menjelang dan memasuki 1965, S. Rukiah masih beraktivitas seperti sedianya, bahkan juga menerbitkan buku anak yang bersumber dari cerita rakyat. Namun, S. Rukiah dan keenam anaknya menyadari bahwa Sidik Kertapati sudah pergi dari rumah lebih lama dari biasanya ia pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan.
Menyusul pecahnya Gerakan 30 September, S. Rukiah memboyong anak-anaknya dari Jakarta kembali ke kampung halaman Surakarta, tetapi kehidupan sudah tidak lagi sama persis seperti yang dulu. S. Rukiah sempat menjalani tahanan di kantor CPM Purwakarta yang kini juga sudah rata dengan tanah, meninggalkan anak-anaknya di bawah bimbingan Siti Tarsiyah yang membuka klinik persalinan tersohor di daerah tersebut.
Kiprahnya selama delapan belas tahun berkecimpung di dunia sastra dan pergerakan pun seketika terhenti. Tiga karyanya, Kejatuhan dan Hati, Tandus, dan Kisah Perjalanan Si Apin dinyatakan terlarang sebagai materi pembelajaran di sekolah oleh Departemen P & K, disusul pemecatannya dari Balai Pustaka, serta ancaman yang diterimanya jika ia masih menulis dan menerbitkan karya.
Sejak saat itu, nama S. Rukiah tidak lagi beredar di sejumlah terbitan berkala dan kehilangan pamornya sebagai bagian dari pergerakan, mengingat kelompok-kelompok yang diikuti S. Rukiah termasuk dalam organisasi terlarang menurut versi pemerintah antikomunis. Bukan perkara mudah bagi seseorang yang telah menghabiskan masa mudanya dengan melahirkan begitu banyak karya untuk kemudian memampatkan isi kepalanya. Saya membayangkan siksaannya mungkin melebihi 2–3 tahun yang dihabiskan S. Rukiah dalam penjara…
Anggota keluarga S. Rukiah juga mengaku terdapat perubahan pada relasi sosial mereka menyusul kepulangan Mumus (nama panggilan S. Rukiah, berarti “ibu”). Jika sebelumnya S. Rukiah dikenal sering berinteraksi akrab dengan saudara dan sanak turunannya yang tersebar di sekitar kampung, setelah kejadian itu S. Rukiah hampir sama sekali tidak pernah keluar rumah.
Aktivitasnya di luar rumah terbatas pada beberapa acara keluarga dan untuk pergi bekerja di klinik persalinan yang dimiliki dan dikelola oleh kakaknya. Di sana ia membantu kakaknya sebagai asisten bidan kira-kira sampai dekade 1980-an. Dengan cara itulah S. Rukiah menyambung hidupnya sendiri dan anak-anaknya dengan suami yang jauh dari kampung halaman. Hal tersebut dilakoni S. Rukiah sampai ia meninggal dengan tenang pada 1996.
Menghabiskan malam 30 September di rumah seseorang yang disudutkan karena peristiwa 30 September terasa seperti mengumpulkan kembali hal-hal yang tidak berhasil dibisukan oleh kekuasaan. Rembulan penuh yang benderang di atas kepala mungkin merahnya tidak lagi sepekat lima puluh delapan tahun yang lalu, tapi semburatnya kusimpan di balik bantal sebagai pengantar tidurku.