Mario di tengah Belenggu Media Sosial

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readFeb 26, 2023

--

Kasus kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo mengundang beragam respons dari masyarakat, sebagian besar didominasi oleh kecaman. Kecaman itu diarahkan kepada Mario, kepada Agnes (kekasih Mario), kepada Rafael (ayah Mario), kepada institusi tempat Rafael bekerja, sampai yang jauh lebih besar lagi seperti sistem pendidikan, kebijakan pelaporan pajak, dan media sosial. Masyarakat Indonesia sedang menemukan musuh bersama, dan kita tidak ingin melewatkan kesempatan untuk ikut bicara.

Secara khusus saya tertarik dengan tanggapan-tanggapan yang mengarah pada pemosisian media sosial sebagai musuh bersama. Orang-orang berlomba-lomba untuk membuat argumen yang meyakinkan untuk menjadikan media sosial sebagai kambing hitam yang mendorong Mario–yang notabene masih seorang mahasiswa untuk melakukan tindak kekerasan sekeji itu.

Semuanya terdengar masuk akal, mudah untuk diterima, tidak ada yang perlu disangkal. Kita tidak membutuhkan angka definitif atau sumber referensi kredibel atau seorang pakar untuk mendukung argumen yang berkeliaran di sekitar.

Tudingan dan kecaman tidak disertai dengan penjabaran premis-premis yang menunjukkan korelasi langsung antara media sosial dengan tindakan agresif penggunanya. Tapi dengan cepat dan mudah kita menganggapnya sebagai hal yang benar. Hal tersebut terjadi karena kita semua pada dasarnya logika kita tidak mampu memahami tindakan Mario, dan menyalahkan media sosial atas hal yang tidak bisa kita terima memberikan ilusi ketenangan di tengah situasi yang kacau.

Fenomena seperti ini bukanlah hal yang baru. Pada artikel sebelumnya saya sempat membahas sedikit tentang kepanikan massal yang melanda publik setelah peristiwa penembakan massal yang berbarengan dengan meningkatnya popularitas video game first-person shooter. Dengan cepat opini publik mengarah pada menjadikan video game sebagai pemicu tindakan agresif di kalangan generasi muda. Bahkan jika kita melihat lebih jauh ke belakang, kita akan mendapati lebih banyak fenomena serupa.

Di Swedia, grup musik ABBA sempat dituding membawa pengaruh buruk bagi pendengar muda karena lagu-lagunya yang disiarkan melalui televisi dan radio mempromosikan gaya hidup hedonis. Kemudian tentunya kita tidak bisa melewatkan kepanikan global terkait kepercayaan satanisme yang digadang-gadangkan disebarkan oleh band-band metal melalui lagu dan penampilannya yang tersebar luas karena internet.

Oleh karena itu, sejarah peradaban manusia modern sesungguhnya memang dipenuhi dengan upaya kita “menaklukkan” media, sesuatu yang juga dibuat sendiri oleh manusia. Fenomena seperti ini diberi nama Sindrom Frankenstein oleh Neil Postman, yakni ketika kita menyadari–seringkali terkaget–bahwa suatu teknologi yang dirancang manusia dengan tujuan dan maksud tertentu ternyata memiliki gagasannya sendiri. Yang dimaksud dengan “gagasan” dalam hal ini dapat kita pahami maksudnya dengan melihat lebih dalam cara media sosial bekerja.

Media sosial bersifat independen dari manusia ataupun pemerintah. Sulit sekali bagi kita untuk mengendalikannya. Kita sudah mendapati berbagai upaya yang dilakukan pemerintah berbagai negara untuk mengendalikan dan menaklukkan media sosial, tetapi tidak ada yang benar-benar berhasil. Di sinilah kita akan menyadari bahwa otonomi manusia atas media sosial tidak lebih dari sekadar mitos, karena yang terjadi adalah sebaliknya–tindakan kita dikendalikan struktur dan sistem yang dibentuk oleh media sosial.

Salah satu sistem yang dibentuk oleh media sosial adalah cara interaksi antarpengguna. Kehidupan di luar ruang virtual dibatasi oleh norma yang menuntut kita untuk berbicara atau bertindak pada batasan-batasan tertentu. Sementara media sosial menjanjikan kebebasan yang memungkinkan penggunanya bertindak melebihi ambang tanpa konsekuensi yang terlalu berat. Seseorang yang tampak tidak banyak bicara ketika berada di depan orang bisa saja merupakan seorang pengguna media sosial yang menjadi provokator trolling atau cyberbullying.

Pada titik ini mungkin kecaman yang diarahkan ke media sosial sebagai faktor yang mendorong perilaku agresif Mario ada benarnya. Ia tidak lain adalah pengguna media sosial yang terjebak dalam struktur yang dibentuk media sosial, teralienasi dari realitas dunia di luar ruang virtual. Mario tidak menyadari semua itu, terbuai dengan kebebasan dan otonomi yang dijanjikan oleh media sosial dan internet. Namun, terdapat satu hal lain yang menurut saya luput dari perhatian masyarakat adalah ambivalensi dari media sosial yang ditunjukkan melalui keputusan Agnes untuk merekam aksi kekerasan Mario dan menyebarkannya melalui akun media sosial.

Saya teringat dengan pernyataan Conan O’Brien, seorang pembawa acara talk show Amerika saat merespons Revolusi Mesir 2011: “pemerintah Mesir menutup Twitter selama kerusuhan di Mesir. Namun, satu-satunya cara untuk memulangkan para demonstran adalah dengan membuka kembali Twitter”. Masyarakat melihat tindakan Agnes yang membagikan rekaman aksi kekerasan Mario melalui media sosial dengan cara yang serupa. Bahwa media sosial membuat Agnes –yang notabene masih seorang pelajar– mengalami desensitisasi atas kekerasan. Sekali lagi, sumber segala permasalahan bertumpu pada media sosial.

Satu hal yang kemudian perlu kita tanyakan adalah: apakah jika kita berhasil menaklukkan media sosial kemudian kekerasan akan serta merta berakhir? Apakah kemanusiaan dalam definisi yang paling Platonis seketika menjadi ideologi dominan? Perang Dunia I terjadi dua dekade sebelum ada mesin pertama yang disebut dengan komputer. Sembilan jenis pelanggaran HAM terjadi di Indonesia pada periode 1965–66, tiga puluh tahun sebelum internet mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia.

Tapi berdiri di hadapan cermin dan berefleksi adalah pekerjaan yang melelahkan. Mengingat-ingat apakah kita pernah menghina atau mengolok-olok orang lain di hanya menghabiskan waktu. Paling mudah memang mengarahkan tudingan pada sesuatu yang ada di luar diri kita untuk memberikan ilusi bahwa tangan kita bersih dari peristiwa yang sulit diterima oleh akal.

--

--

No responses yet