Memahami Bakti dan Agensi Kartini

Dhianita Kusuma Pertiwi
6 min readApr 21, 2024

--

Dalam salah satu artikel yang saya tulis pada 2019, saya sempat menawarkan pembacaan kembali surat-surat Kartini yang terhimpun dalam Habis Gelap Terbitlah Terang di tengah kealpaan kajian atas pemikiran Kartini di tengah semua ritual-ritual yang tiap tahun dilakukan atas nama ‘memperingati Hari Kartini’.

Semenjak itu, saya tidak pernah lagi secara khusus menulis tentang Kartini di samping menyelipkan pembahasan tentangnya dalam beberapa artikel yang berkaitan dengan isu perempuan.

Namun, kali ini agaknya saya tidak bisa menghindar untuk tidak menulis satu artikel utuh tentang Kartini karena tanggal 21 April tepat jatuh pada hari Minggu yang menjadi jadwal rutin saya mempublikasikan artikel mingguan. Ketika mencari bahan pembahasan, saya teringat bahwa sebenarnya sudah ada satu film biografis tentang Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Saya yang bukan penggemar karya-karya biografis melewatkan begitu saja film Kartini selama 7 tahun sampai akhirnya baru saya tonton pada awal pekan sebagai bahan untuk membuat tulisan ini.

Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa dibahas dari film tersebut, seperti misalnya penggunaan bahasa Jawa dalam dialog–dengan mengingat konteks kultural daerah Jawa Tengah dan lingkungan aristokrasi, aspek-aspek artistik seperti riasan yang dipakai para pemeran khususnya pada adegan upacara pernikahan–berkaitan dengan konteks kultural dan latar waktu peristiwa, sampai penggambaran adegan menangis yang menurut saya terlalu eksploitatif dan terlalu dramatis–sekali lagi dengan mempertimbangkan alam pikir dan budaya laku orang Jawa khususnya ketika berhadapan dengan permasalahan dalam hidup.

Namun, pada kesempatan ini secara khusus saya ingin memfokuskan pembahasan pada salah satu dialog yang disampaikan oleh Ngasirah, ibu kandung Kartini pada salah satu momentum kritis dalam kehidupan Kartini, tepatnya ketika ia harus memutuskan antara mewujudkan cita-citanya untuk bersekolah di Belanda atau bertahan di rumah untuk membersamai ayahnya yang jatuh sakit dan kemudian pada gilirannya menikah dengan laki-laki yang dianggap pantas dan patut dalam konteks politik aristokrasi Jawa.

Berikut dialog yang saya maksud:

NGASIRAH: Ilmu apa yang sudah kamu pelajari dari aksara Belanda?
KARTINI: Kebebasan, Ibu.
NGASIRAH: Apa yang tidak ada di dalam aksara Belanda?
KARTINI: Ni tidak tahu.
NGASIRAH: Bakti. Manusia ketika dipangku, hatinya tentram. Karena keseimbangannya terjaga. Sepintar-pintarnya orang Belanda menguasai dunia, mereka tidak akan pernah mengenal pangku.

Adegan pembicaraan ibu dan anak itu diselingi dengan penggambaran masa kecil Kartini ketika ia diajari oleh Ngasirah cara membaca dan menulis ‘Trinil’ (nama panggilan Kartini) dalam aksara Jawa.

Aksara ꦭ atau “la” yang menjadi huruf terakhir dalam kata tersebut harus diberi sandangan pangkon ꦭ꧀ untuk ‘mematikan’ vokal dari aksara tersebut. Dari sanalah Ngasirah mengambil pembahasan tentang ‘pangku’ dan ‘bakti’ yang menurutnya hanya ada dalam kebudayaan Jawa dan direpresentasikan melalui aksara Jawa. Nasihat itu ia sampaikan kepada Kartini agar anak perempuannya mempertimbangkan kembali keinginan untuk meninggalkan rumah dan mengejar ‘cita-citanya sendiri’ ketika ia sebenarnya sudah memiliki tanggung jawab kultural yang harus dipenuhinya.

Saya mengakui film Kartini mampu menghadirkan dialog tersebut dengan sangat baik sehingga makna yang tersirat dari ucapan Ngasirah terasa sangat menyentuh khususnya bagi saya pribadi yang notabene dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah kebudayaan Jawa dan masih cukup familiar dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan peran gender dalam kebudayaan Jawa. Saya seakan bisa turut merasakan kegundahan dan kegamangan yang dirasakan Kartini setelah mendengarkan nasihat tersebut dari ibunya.

Kemudian, setelah diceritakan bahwa Kartini akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Bupati Rembang, film ditutup dengan adegan Kartini imajiner berada di tanah lapang dimana sebuah kincir angin berdiri di tengah-tengahnya sambil memegang secarik kertas dan sebuah pena, air mukanya penuh kepiluan dan ia menatap ke kejauhan–menjadi simbolisasi dari negeri Belanda yang hanya bisa ia kunjungi di alam cita-cita dan angan-angan.

Meski simbolisasi itu sebenarnya sudah cukup menggambarkan cita-cita Kartini yang pupus, penonton masih akan disuguhi dengan supers text yang menerangkan kondisi yang dialami tokoh tersebut. Elemen tersebut juga dimunculkan pada bagian awal film untuk menjelaskan konteks relasi kekeluargaan di lingkungan aristokrasi Jawa, khususnya di Jepara pada abad ke-19. Penggunaan elemen tersebut mengindikasikan upaya yang cukup keras dari pembuat film untuk menekankan aspek faktualitas dari cerita, atau dalam kata lain meyakinkan penonton bahwa film yang dilihatnya merupakan sebuah karya biografis.

Pada dasarnya, genre biopik memang merupakan ruang liminal antara fiksi dan aktualitas, dan dalam hal ini upaya tersebut menurut saya cukup menjebak. Meskipun informatif, kemunculan teks tambahan yang bertujuan untuk menekankan aktualitas cerita tersebut justru memberikan efek disruptif yang mengganggu kenikmatan menonton dan mengikuti cerita yang disuguhkan.

Adegan pungkasan yang demikian itu sebenarnya cukup mengejutkan saya karena pada awalnya saya membayangkan film tersebut akan diakhiri dengan penggambaran cerita Kartini yang meninggal beberapa bulan setelah melahirkan. Harus diakui bahwa pembayangan yang ada dalam kepala saya tersebut tidak bisa dipisahkan dari kisah-kisah biografis Kartini yang selama ini lumrah diajarkan atau disebarkan melalui berbagai kanal, termasuk institusi pendidikan formal, yakni kematiannya yang tragis sebagai seorang ibu muda yang baru saja melahirkan anak pertamanya.

Kartini, meski tampak berupaya mengisahkan ambisi personal dan ekspektasi kultural pada taraf yang berimbang, film tersebut mengeksklusi satu babak kehidupan dari tokoh utama yang selama ini menjadikannya dikenal sebagai seorang tragic heroine.

Pada titik inilah kemudian saya teringat dengan kajian Dennis Bingham dalam bukunya Whose Lives Are They Anyway? (2010) yang membedakan kisah biografi laki-laki dan perempuan dalam film-film biopik. Menurut Bingham, “film-film tentang laki-laki berkisar pada selebrasi sampai penceritaan baik buruknya seseorang sampai bersifat investigatif sampai pascamodern sampai parodi. Sementara itu, biopik tentang perempuan dibebani dengan mitos-mitos penderitaan, viktimisasi, dan kegagalan yang dilanggengkan oleh suatu budaya dimana karya-karya filmnya menampilkan ketakutan akut perempuan di ranah publik. Biopik perempuan akan bersifat memberdayakan hanya ketika perspektif feminis diterapkan secara sadar.”

Dalam kaitannya dengan pendapat Bingham tersebut, seleksi dan eksklusi atas peristiwa-peristiwa kehidupan Kartini seakan mengesankan bahwa film biopik tersebut berupaya menggugat hegemoni penggambaran sosok Kartini sebagai tragic heroine. Hal demikian ini barangkali dari perspektif feminis merupakan satu hal yang patut diapresiasi.

Selain itu, upaya gugatan tersebut juga tampak dari penggambaran dialog yang berlangsung antara Kartini dengan kedua orangtua dan kakak laki-lakinya menjelang pernikahannya dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Ketika ditanya oleh ayahnya apakah ia bersedia untuk menikahi laki-laki tersebut, Kartini menyatakan kesediaannya tetapi dengan empat syarat, antara lain (1) Kartini tidak akan mencuci kaki Raden Mas Djojo Adhiningrat di pelaminan, (2) Kartini tidak mau dibebani dengan pranata sopan santun yang rumit dan ingin diperlakukan seperti orang biasa, (3) Kartini mengharuskan calon suaminya membantunya mendirikan sekolah untuk perempuan dan orang miskin, dan (4) Kartini ingin Yu Ngasirah (ibu kandung Kartini yang tidak menjadi istri utama karena tidak berasal dari keluarga bangsawan) tidak lagi di tinggal rumah belakang dan semua putra putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (ayah Kartini) memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Ajeng’ alih-alih ‘Yu’.

Sepanjang perjalanan saya sebagai pelajar, sejujurnya saya tidak pernah mendengar bahwa Kartini sempat mengutarakan hal-hal tersebut kepada orangtuanya sebagai persyaratan pernikahannya dengan Bupati Rembang. Selama ini, narasi yang berkembang dan diajarkan adalah bahwa Kartini menjadi korban dari sistem yang berlaku dalam lingkungan aristokrasi Jawa yang menempatkan perempuan berada di posisi selalu nrimo, termasuk menikah dengan laki-laki yang tidak dicintai atau diinginkan demi kepentingan politik.

Persyaratan yang ditentukan Kartini untuk calon suaminya yang kemudian disetujui oleh Adipati Ario menandakan bahwa ia berhasil menemukan agensinya di tengah sistem yang membelenggu kebanyakan perempuan, termasuk ibu kandung dan istri utama ayahnya sendiri.

Pada titik inilah menurut saya bakti dan agensi Kartini bertemu, menjadikannya seorang tokoh yang kuat dalam film tersebut sekaligus sosok yang berbeda dari konstruksi narasi tentang Kartini yang selama ini dibentuk. Pada satu sisi, Kartini membuktikan baktinya sebagai seorang perempuan Jawa dengan mengurungkan keinginannya berkuliah di Belanda dan menikah dengan laki-laki yang dipilihkan untuknya.

Sementara pada sisi lain, ia memiliki bargaining power untuk menentukan peran dan posisinya dalam relasi rumah tangga yang akan ia jalani dengan laki-laki yang dipilihkan untuknya. Meski hal seperti ini baru disadari jika kita membaca film tersebut dengan perspektif feminisme secara sadar, paling tidak biopik Kartini berupaya menawarkan penggambaran kisah perempuan yang tidak semata-mata berfokus pada viktimisasi yang disebabkan oleh bakti.

Meski demikian, upaya tersebut pun rupanya tidak dipertahankan sampai akhir film. Seperti yang saya sampaikan tadi, eksklusi kisah kehidupan Kartini yang meninggal setelah melahirkan anak pertamanya sekilas tampak menggugat konstruksi sosoknya sebagai tragic heroine, tetapi sebenarnya mengindikasikan kecenderungan untuk kembali pada penggambaran perempuan sebagai korban.

Jika memang kreator film memiliki ruang yang sedemikian luas untuk mengeksplorasi cerita, termasuk bagian akhir, sebenarnya ada pilihan untuk menutup film tersebut dengan adegan yang menunjukkan bahwa suaminya benar-benar mengabulkan permintaan Kartini untuk mendirikan sekolah bagi perempuan dan orang-orang miskin. Penggambaran yang demikian itu akan semakin membebaskan Kartini dari ‘belenggu’ bakti yang sudah coba dilawannya dengan menetapkan syarat-syarat tertentu bagi calon suaminya. Namun, pilihan tersebut tidak diambil dan film Kartini berakhir dengan penggambaran cita-cita perempuan yang pupus.

Semua ini membuat saya mempertanyakan sejauh mana kemauan dan keseriusan kita dalam mengupayakan narasi bandingan tentang sosok perempuan ketika budaya populer sudah menawarkan ruang yang lebih luas untuk mengeksplorasinya. Paling tidak dari kasus film Kartini, ruang tersebut masih coba dijajaki tetapi belum dijelajahi.

Jika Kartini pada akhirnya tidak berhasil pergi ke Belanda, kita pun belum berhasil sepenuhnya menjadikan ia perempuan yang merdeka dalam ruang antara bakti dan agensi.

--

--