Memaknai, Merawat, Mewariskan
“Maknani artinya apa sih?” celetuk seorang kawan yang akan meninggalkan tempat pertemuan kami dengan memesan taksi daring dan sedang memasukkan alamat penjemputan di aplikasi ponselnya.
“Maknani itu ya memaknai,” jawab seorang kawan lain yang duduk tepat di sebelah saya.
Saya menoleh ke arah plakat putih dengan tulisan merah yang terpasang di langit-langit joglo. Maknani, tentu saja, ucap saya dalam hati. Saya baru sadar bahwa nama tempat itu tidak terdiri dari dua kata: Mak Nani, yang berarti ‘Bu Nani’–pola yang kerap digunakan untuk jenama usaha tempat makan terutama di Jawa–melainkan satu verba. Lalu kepala saya mulai sibuk sendiri, seakan menemukan keterkaitan antara nama tempat tersebut dengan kegiatan yang baru saja saya ikuti seharian di sana bersama kawan-kawan yang kini duduk melingkar di bawah terang bulan purnama.
Barangkali keterkaitan itu tidak lebih dari sekadar kebetulan, bahwa kami dikumpulkan di tempat bernama Maknani dan tanpa sengaja kegiatan yang kami ikuti melibatkan proses memaknai kembali. Namun, bisa jadi juga semua ini memang sudah direncanakan, bahwa kegiatan yang melibatkan proses memaknai kembali ini sengaja diatur untuk diselenggarakan di sebuah tempat yang diberi nama Maknani. Entahlah.
Kami semua, sekitar 30 orang yang datang dari berbagai daerah, mulai dari Yogyakarta sendiri, Jakarta, Surabaya, sampai Timor Leste, berkumpul untuk mengikuti Lokakarya Memori Transformatif yang berlangsung dua hari pada 20–21 Juli lalu. Malam itu adalah hari pertama kegiatan lokakarya Memori Transformatif yang masih akan berlangsung sampai keesokan harinya. Kami dikumpulkan di Warung Maknani setelah pada siang harinya berkunjung ke Gedung Jefferson, salah satu cagar budaya di Yogyakarta yang menyimpan sejarah tak kalah kelam dengan Benteng Vredeburg–yang dielu-elukan sebagai objek pariwisata Yogyakarta–dalam kaitannya dengan operasi pemberantasan komunis oleh rezim Orde Baru.
Gedung Jefferson yang digunakan sebagai tempat pemeriksaan tapol di daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada mulanya adalah sebuah perpustakaan yang dibangun saat Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia pada masa perang kemerdekaan. Perpustakaan tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat dengan nama Jefferson Library. Berdasarkan keterangan dari majalah Simponi edisi Januari 1968, perpustakaan tersebut sempat menjadi “perpustakaan andalannya para mahasiswa swasta karena mereka tidak seberuntung mahasiswa UGM yang sudah memiliki fasilitas perpustakaan.” Pada 1964, Perpustakaan Jefferson diambil alih oleh Front Nasional Yogyakarta karena dianggap sebagai kedok Amerika Serikat untuk melemahkan kekuatan kiri di Indonesia dalam konteks Perang Dingin. Selain itu, tempat tersebut juga disinyalir menjadi lokasi pemutaran film-film kontrarevolusioner dan markas para pendukung Manifesto Kebudayaan (Pesat, Agustus 1964).
Setahun kemudian, rupanya Gedung Jefferson menjadi saksi kejatuhan kiri dan pelanggaran HAM massal di Indonesia dengan pemanfaatannya sebagai gedung interogasi bagi tahanan politik Orde Baru di kawasan Yogyakarta. Pada hari pertama lokakarya, kami dipertemukan dengan salah seorang mantan tapol perempuan yang pernah dibawa ke gedung tersebut pada suatu malam dari Benteng Vredeburg untuk diinterogasi sebelum akhirnya dikirim ke Kamp Plantungan, Kendal.
Pekatnya malam –dan barangkali juga distorsi ingatan– menghadirkan sejumlah rumpang dalam cerita yang ia tuturkan. Ia tidak bisa menjelaskan dengan pasti berapa orang yang pada malam itu dibawa dengan truk terbuka ke gedung tersebut, berapa dan siapa saja tahanan yang diperiksa pada malam itu, siapa orang-orang yang menjalankan tugas sebagai interogator, dan detail-detail lain. Namun, detail-detail teknis dan numerik memang bukan menjadi keunggulan dari sejarah lisan sehingga rumpang tersebut mesti diterima sebagai bagian dari pewarisan memori yang bertumpu pada tuturan.
Kami pun sebenarnya juga tidak mendapatkan izin untuk masuk ke dalam gedung yang kini menjadi kantor perusahaan penyedia internet tersebut. Yang bisa kami lakukan hanya sedikit berkeliling di luar gedung, menatap bangunannya yang menjulang, sembari menyimak penuturan ibu tersebut tentang pengalamannya berinteraksi dengan tempat itu. Matahari sedang tepat di atas kepala tetapi saya tidak bisa menolak sensasi dalam benak yang membuat saya bergidik ketika membayangkan situasi yang pernah terjadi di tempat itu. Saya membayangkan truk penuh manusia menembus kesepian dan kegelapan Jalan Diponegoro, bentakan arogan para interogator yang bersahutan dengan teriakan memilukan para tapol, bau anyir darah memenuhi ruangan yang sebelumnya sempat menjadi sumber pengetahuan. Proses pewarisan ingatan yang berlangsung di Gedung Jefferson kala itu mengaktifkan unsur-unsur indrawi saya, dan barangkali rekan-rekan peserta lokakarya yang lain.
Cerita salah seorang simbah eks-tapol yang menghabiskan 14 tahun hidupnya di kamp Orde Baru tersebut sebenarnya bukan satu hal yang baru saya dengar. Paling tidak sejak kelas 2 SD saya sudah akrab (baca: diakrabkan) dengan narasi-narasi tentang korban kekerasan HAM massal 1965–66 dengan lahir sebagai cucu eks-tapol. Namun, penuturan seorang rekan peserta lokakarya yang menceritakan upayanya memperkenalkan sejarah kelam pemberantasan komunis di daerah Yogyakarta kepada generasi muda melalui tur ke situs-situs bersejarah memantik ‘letupan’ dalam kepala saya. Terutama ketika ia melemparkan pertanyaan yang kurang lebih berbunyi seperti ini: “setelah generasi muda yang berjarak dari peristiwa genosida 65 itu mengetahui apa yang pernah terjadi, bagaimana menumbuhkan empati mereka terhadap korban?” (penekanan saya tambahkan)
Pada saat itu saya tidak ikut urun pendapat untuk menjawab pertanyaan itu. Saya memilih untuk diam dan sibuk dengan kepala saya sendiri, memaknai kembali babak-babak pewarisan ingatan yang selama ini melibatkan saya, baik sebagai apa yang disebut dengan ‘generasi ketiga –yang dalam hal ini berarti saya berhadapan dengan memori-memori personal– maupun sebagai bagian dari masyarakat –yang hidup di tengah kontestasi memori kolektif– dalam sistem yang sampai hari ini belum terlalu berpihak pada korban.
Ketika kakek masih hidup, saya mendapatkan cerita darinya tentang pengalaman menjadi tapol sejak dari Penjara Lowokwaru sampai ke Kamp Pulau Buru ketika berkunjung ke rumahnya–saksi bisu penangkapannya. Pada kesempatan-kesempatan lain, terutama sepeninggal kakek, saya mendapatkan cerita dari ibu tentang pengalamannya besuk ketika ayahnya masih di Penjara Lowokwaru dan bui cilik, juga kenangannya di-’abang’-kan oleh teman-teman masa kecilnya. Cerita itu saya dengar sebagai selipan obrolan kami di rumah, tempat yang berbeda dari rumah kakek saya, yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pengalaman kakek sebagai tapol.
Pada kesempatan lain juga, saya sempat berkunjung ke Penjara Lowokwaru untuk kebutuhan riset penulisan novel Buku Harian Keluarga Kiri. Namun, saya tidak bisa menggali terlalu banyak informasi terkait sejarahnya sebagai tempat penahanan tapol Orde Baru karena tercegat oleh tetek bengek perizinan.
Setiap episode pewarisan sejarah yang saya alami tersebut, dalam kaitannya dengan keberadaan budaya material yang berkaitan dengan memori akan kekerasan, memiliki pengaruhnya masing-masing dalam taraf yang berbeda-beda. Ketika kakek menceritakan pengalamannya di rumah yang menjadi tempat penangkapan, muncul pembayangan dalam kepala saya tentang bagaimana peristiwa itu terjadi–kronologi, suasana, ekspresi wajah, suara-suara. Pembayangan yang melibatkan hampir semua indra dan pada gilirannya mengusik perasaan saya.
Sementara cerita ibu yang dituturkan di rumahnya tentu juga mengganggu pikiran dan perasaan saya, membayangkan berada di posisinya sebagai anak yang harus menghadapi diskriminasi dan perundungan atas sesuatu yang tidak dilakukannya, ditambah semua itu harus dihadapi tanpa kehadiran ayahnya. Namun, momentum tersebut kurang melibatkan atau mengaktivasi elemen-elemen indrawi yang menjadikan transfer memori tersebut ‘utuh’. (Saya memberikan tanda kutip karena pada dasarnya tidak ada penceritaan ulang yang bisa dikatakan utuh, sejarah lisan bergerak di antara orisinalitas dan distorsi).
Kemudian kegagalan upaya saya untuk menggali situs ingatan di Penjara Lowokwaru seakan menjadikan tempat itu–paling tidak bagi saya–sebuah tempat yang kehilangan identitasnya, layaknya seseorang yang berupaya melepaskan diri dari pengalaman masa lalunya.
Pada taraf memori kolektif, Indonesia adalah negara dengan sejarah pelanggaran HAM massal yang tidak memiliki budaya material bernarasi korban. Alih-alih, monumen yang ada di Indonesia, di antaranya seperti Monumen Pancasila Sakti di Lubang Budaya dan Monumen Trisula di Blitar Selatan, dibangun berdasarkan narasi penguasa. Masih ditambah museum-museum yang dikelola militer di sejumlah daerah yang menekankan heroisme ABRI dalam memberantas komunis. Bahkan juga ada kasus seperti Benteng Vredeburg yang narasi dioramanya telah ‘diputihkan’–menekankan sejarah Revolusi Kemerdekaan, mengglorifikasi sosok heroik Suharto, dan tidak mencantumkan sama sekali sejarah tempat itu sebagai penjara tapol Orde Baru.
Di sisi lain, situs-situs yang menyimpan memori kolektif korban seperti misalnya penjara, kamp penahanan, sampai tempat-tempat yang dialihfungsikan menjadi tahanan dan tempat interogasi, kondisinya antara sudah rata dengan tanah, beralihfungsi atau mempertahankan fungsinya tanpa keterangan yang menandai bahwa di lokasi tersebut pernah menjadi situs pelanggaran HAM. Seperti contoh Penjara Lowokwaru yang saya ceritakan tadi, tidak ada satu pun penanda yang menerangkan bahwa tempat tersebut pernah dijadikan penjara untuk tahanan politik, bersamaan dengan para narapidana.
Belum lagi jika berbicara tentang kuburan massal yang tercatat mencapai 349 lokasi yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia (temuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965–1966/ YPKP 65) yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya oleh masyarakat atau hanya ditandai dengan penanda-penanda sederhana seperti rangkaian bunga yang diletakkan oleh anggota keluarga korban.
Salah satu langkah besar yang patut diapresiasi dalam upaya identifikasi dan memorialisasi kuburan massal terjadi pada awal 2020 dengan pemasangan nisan di situs kuburan massal Plumbon, Semarang. Akan tetapi–tanpa sama sekali ada niat mengecilkan upaya yang telah dilakukan–monumen tersebut tentu masih kalah megahnya dari artefak-artefak budaya material yang dicangkokkan oleh negara. Memorial tersebut juga–paling tidak sampai hari ini–belum menjadi situs sejarah yang diketahui atau dikunjungi oleh publik, sekali lagi dalam perbandingannya dengan Monumen Pancasila Sakti.
Sementara itu, negara-negara lain dengan sejarah pelanggaran HAM massal seperti Jerman, Rwanda, dan Kamboja telah mengupayakan pewarisan sejarah melalui pemanfaatan ruang publik sebagai situs memori bernarasi korban. Di Berlin telah didirikan museum Topography of Terror yang dibangun di lokasi markas Gestapo untuk menunjukkan sejarah kekerasan yang dilakukan pemerintah Nazi kepada para tapol. Ruang bawah tanah markas Gestapo yang sempat digunakan sebagai tempat penyiksaan dan eksekusi para tahanan diekskavasi dan kemudian dijadikan museum dan situs memorial korban.
Selain itu, juga ada Nazi Forced Labor Documentation Center yang ditetapkan sebagai monumen bersejarah Jerman sejak 1995. Lokasi yang memiliki luas 3,3 hektar tersebut merupakan salah satu dari 3.000 barak pekerja paksa era Nazi yang terdapat di Berlin dengan situs-situs yang sampai hari ini dipertahankan bentuk aslinya, sekali lagi untuk merawat ingatan tentang pelanggaran HAM massal yang pernah dilakukan pemerintah Nazi.
Kemudian dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO kita akan menemukan Kigali Genocide Memorial yang berlokasi di Rwanda. Museum tersebut merupakan salah satu dari enam pusat di Rwanda yang dibangun sebagai situs memorialisasi Genosida Rwanda yang berlangsung pada 1994. Situs ini menyimpan tulang belulang dari 250.000 korban genosida serta turut menampilkan alat-alat dan senjata yang digunakan dalam peristiwa genosida yang diperkirakan menewaskan 800.000 jiwa dan melibatkan pemerkosaan atas 250.000–50.000 perempuan hanya dalam jangka waktu empat bulan, yakni sejak April sampai Juli 1994.
Sementara contoh yang lebih dekat dengan Indonesia adalah Tuol Sleng Genocide Museum di Phnom Penh. Museum tersebut didirikan di atas bangunan sekolah menengah Tuol Svay Prey yang selama rezim Khmer Merah digunakan sebagai penjara. Dalam kurun waktu 1976 sampai 1979, diperkirakan sekitar 20.000 orang ditahan di Tuol Sleng, dan mereka tercatat mengalami penyiksaan berat sampai beberapa di antaranya meninggal dunia. Selain alat-alat penyiksaan, museum tersebut juga menampilkan foto-foto para tahanan yang sempat diambil ketika mereka pertama kali ditahan dan disimpan oleh pemerintah Khmer Merah. Di samping pembangunan museum ini, Pengadilan Negeri Kamboja pada 2010 juga menjatuhkan hukuman kepada kepala penjara Kang Kek Iew atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran atas Konvensi Geneva 1949.
***
Sampai di sini saya ingin kembali ke letupan-letupan dalam kepala saya dan berupaya menjawab pertanyaan yang diutarakan salah satu peserta diskusi lokakarya saat kami berkumpul dan berdiskusi di Maknani yang saya kutip sebelumnya. Saya semakin menyadari pentingnya pemanfaatan budaya material sebagai medium untuk terus memaknai, merawat, dan mewariskan memori tentang Genosida 1965–66, terutama memori–orang-orang yang bisa dikategorisasikan sebagai–korban.
Objek-objek yang dikonservasi dan dirawat tersebutlah yang akan senantiasa menjadi pengingat kita, sampai pada waktu ketika mereka yang disebut sebagai Generasi Z mulai memasuki karier profesionalnya, termasuk sebagai pengambil keputusan dan kebijakan, sampai pada waktu ketika mereka yang disebut sebagai ‘generasi pertama’ sudah tidak lagi membersamai kita.
Pada kesempatan kali ini agaknya saya juga ingin menantang kembali celetukan-celetukan yang kurang lebih mengatakan bahwa ‘narasi korban pelanggaran HAM 65–66 sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai narasi kecil karena dewasa ini sudah banyak diutarakan, didengar, dan dibahas.’ Kenyataan bahwa Indonesia belum memiliki satu pun museum, monumen, atau memorial yang dibangun berdasarkan narasi korban, sementara ada begitu banyak situs-situs yang mengglorifikasi militerisme dan tindak kekerasan, celetukan tersebut tidak bisa dibenarkan.
Saya belum tahu apakah keterkaitan antara Maknani dengan aktivitas maknani selama Lokakarya Memori Transformatif merupakan suatu ketidaksengajaan atau bagian dari rencana. Namun, yang jelas, memaknai, merawat, dan mewariskan narasi korban kekerasan massal sudah sepatutnya dilakukan untuk memahami maknanipun urip saat ini dan di masa depan, bagi individu atau pun bagi masyarakat kolektif.