Membaca: Ketertarikan vs Kesempatan

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readMay 19, 2024

--

Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, saya mengamati bahwa pembicaraan tentang Hari Buku Nasional tahun ini bisa dibilang lebih ramai. Beberapa akun media sosial yang saya ikuti membuat berbagai kiriman bertemakan Hari Buku Nasional yang disesuaikan dengan gaya masing-masing. Lalu masih ditambah lagi dengan peringatan oleh Kemendikbudristek dan Perpustakaan Nasional, dua instansi pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi utama berkenaan dengan kelindan antara dunia perbukuan dan pendidikan.

Kemudian, hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan Hari Buku Nasional, tetapi menjadi pemantik saya untuk menulis artikel ini adalah keberadaan rak buku di Stasiun MRT Lebak Bulus yang sekarang menjadi rute keseharian saya dalam beraktivitas sehari-hari. Tepat di sebelah rak buku–yang isinya tidak terlalu penuh dan padat itu–berdiri roll banner yang mencantumkan informasi tentang pemanfaatan buku-buku tersebut dan tata cara menambah koleksi. Buku-buku itu diharapkan akan dipinjam oleh para penumpang MRT, menjadi kawan yang senantiasa dengan setia menemani sepanjang perjalanan.

Entah kapan tepatnya rak buku tersebut ditempatkan di sana, tetapi saya mulai menyadari keberadaannya sekitar empat pekan yang lalu. Kemudian selama dua pekan saya tidak menjumpainya karena melakukan perjalanan ke luar kota, sampai akhirnya saya kembali melihatnya pada 17 Mei lalu, bertepatan dengan tanggal peringatan Hari Buku Nasional.

Dalam rentang waktu tersebut, saya tidak melihat banyak perubahan pada isi rak buku itu. Tatanannya masih sangat rapi dengan susunan berundak, ada ruang kosong yang tersisa di sisi kanan masing-masing baris, dan tidak ada kerumunan orang layaknya kios-kios makanan atau swalayan yang ada di area komersial stasiun tersebut. Pada saat yang sama, saya juga belum menemukan banyak penumpang MRT yang membaca buku di dalam gerbong. Sesekali tampak satu dua, tapi tidak tampak kegiatan itu menjadi pilihan bagi banyak orang.

Pemandangan seperti itu sebenarnya bukan hal yang baru. Inisiatif serupa, yaitu menempatkan buku-buku di salah satu stasiun dengan harapan untuk dibaca oleh penumpang kendaraan umum selama perjalanan, sebenarnya sudah dilakukan beberapa tahun lalu.

Sebelumnya, saat rutinitas keseharian saya masih melintasi rute KRL Depok-Jakarta, saya juga mendapati keberadaan rak-rak buku–yang setengah isi setengah kosong dan sepi pengunjung–di beberapa stasiun. Pertemuan dengan penumpang kereta yang membaca buku di dalam gerbong juga bisa dihitung jari, apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah penumpang KRL yang mencapai lebih dari 940 ribu orang per hari pada hari kerja (data Februari 2024) dan rata-rata penumpang MRT per hari yang berjumlah 101 ribu lebih orang.

Keberadaan rak-rak buku di stasiun-stasiun pemberhentian KRL dan MRT punya kaitan erat dengan salah satu wacana terkait perbukuan yang sampai hari ini masih terus mendapatkan perhatian. Apa lagi kalau bukan minat baca dan ketertarikan terhadap buku, yang biasanya berlanjut ke pembahasan tentang kemampuan literasi masyarakat Indonesia. Kebanyakan pembicaraan tentang minat baca disangkutpautkan dengan kebiasaan. Bahwa minat baca yang dimiliki seseorang hanya akan ada jika membaca sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak kecil. Merefleksikan pengalaman pribadi, anggapan tersebut ada benarnya.

Dibesarkan oleh orangtua yang berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi membuat saya terbiasa dengan buku-buku dan bahan bacaan lain seperti majalah yang bertumpuk di rumah. Bahkan saya mendapatkan kebebasan untuk memilih dan membaca buku apa pun sesuai dengan minat dan ketertarikan saya. Barangkali semua itu bisa disebut keberuntungan, atau bisa saja sebuah kebetulan.

Namun, saya menyadari bahwa hal-hal tersebut sedikit banyak membentuk ketertarikan saya terhadap buku dan aktivitas membaca; bahkan mungkin juga keputusan saya di kemudian hari untuk mengambil jurusan Sastra di bangku kuliah.

Saya sempat meyakini anggapan yang menempatkan kebiasaan usia dini dengan minat baca dalam hubungan korelasional tersebut sampai akhirnya saya masuk di dunia kerja dan bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang dan pengalaman masa kecil yang berbeda.

Saya bertemu dengan orang-orang yang mengaku baru menemukan ketertarikan untuk membaca dan kenikmatan dalam membaca ketika sudah menginjak usia remaja atau dewasa. Saya berbincang dengan orang-orang yang mengaku tidak mendapatkan kesempatan untuk mengakses bahan bacaan saat masih anak-anak sehingga membaca tidak menjadi kebiasaan yang terbentuk.

Tepatkah untuk mengatakan mereka terlambat? Jika iya, siapa yang menetapkan membaca sebagai sebuah perlombaan yang pemenangnya adalah orang yang memulai duluan?

Pada saat yang sama saya juga mendengarkan keluhan dari beberapa orang yang merasa dulu sempat memiliki minat dan hobi membaca sekarang kehilangan waktu untuk melakukannya karena kesibukan pekerjaan. Minat tersebut sebenarnya masih tersimpan dalam benak tetapi waktu yang mereka miliki tidak memungkinkan untuk duduk diam dan mulai membaca buku, apalagi untuk menuntaskannya.

Bagi beberapa orang, membaca mungkin menjadi bagian yang tidak terpisahkan atau bahkan mendukung pekerjaan. Namun, bagi banyak pekerja yang lain, membaca terasa seperti sebuah kegiatan yang menuntut waktu dan energi khusus di samping semua tugas dari tempat kerja yang sudah memakan banyak waktu dan energi tersendiri.

Lalu ketika melakukan perjalanan menggunakan kendaraan umum sekali pun banyak orang yang tidak mendapatkan kesempatan untuk membaca karena harus membalas pembicaraan di grup WhatsApp kantor atau menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Bahkan tidak jarang saya melihat sendiri penumpang KRL atau MRT yang membuka laptop ketika sedang menunggu kereta di stasiun atau sedang berada di dalam gerbong.

Keharusan-keharusan yang membelenggu para pekerja pengguna transportasi umum tersebut membatasi langkah mereka untuk berjalan ke arah rak buku di sudut stasiun dan memilih buku yang akan menjadi teman perjalanan mereka.

Bagi orang-orang yang menganggap membaca sebagai aktivitas yang begitu sakral dalam perjalanan hidup manusia sebagai makhluk berakal, mereka bisa saja dituding sudah ceroboh merelakan begitu saja rutinitas pekerjaan menggerus aktivitas intelektual. Fenomena sepinya pengunjung yang mendatangi rak-rak buku di stasiun pun barangkali akan dibaca sebagai sebuah bukti ketertinggalan peradaban yang disebabkan oleh kemalasan untuk membaca.

Namun, tepatkah untuk menyalahkan mereka begitu saja di tengah semua tuntutan yang ada?

Semua hal tersebut membuat saya memikirkan kembali anggapan-anggapan terkait rendahnya minat baca dan kemampuan literasi yang selama ini berkembang. Jika sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk menumbuhkan minat baca, tetapi ada sistem lebih besar yang membatasi atau bahkan menghilangkannya sama sekali, apakah menyediakan buku di stasiun merupakan sebuah solusi? Inisiatif tersebut barangkali mampu mendekatkan ratusan ribu penumpang KRL dan MRT setiap harinya dengan buku, tetapi belum mengatasi isu yang lebih besar dan rumit yang berkaitan dengan sistem ekonomi bekerja dewasa ini.

Saya pun pada titik ini sebenarnya belum bisa menemukan jawaban terbaik ketika ada rekan yang mengeluhkan tentang keterbatasan yang ia miliki untuk memelihara minatnya untuk membaca. Juga belum bisa menawarkan pendekatan yang lebih tepat sasaran daripada yang selama ini sudah dilakukan. Meski demikian, inilah saatnya menempatkan isu-isu terkait dunia perbukuan dan aktivitas membaca dalam kaitannya dengan permasalahan sosial yang lain karena Kesempatan seringkali memang menuntut harga yang tidak murah.

--

--