Membaca Poster sebagai Karya Seni

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readNov 12, 2023

--

Baru saja tuntas dengan pameran tentang S. Rukiah bertajuk “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di tengah Gejolak Revolusi”, saya kembali mendapatkan kepercayaan untuk menguratori pameran yang ada kaitannya dengan arsip dan sejarah. Kali ini, bertepatan dengan ulang tahun Unit Pelaksana Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) yang ke-55, turut diselenggarakan pameran koleksi poster yang dikelola Komisi Arsip Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Saya sengaja memilih tajuk “Rupa Rupa Lima Lima” untuk mewakili gagasan bagaimana kita bisa membaca sejarah 55 tahun TIM dan DKJ melalui karya-karya seni rupa.

Catatan Kuratorial Pameran “Rupa Rupa Lima Lima”

Saat membicarakan seni rupa, barangkali yang terlintas dalam kepala kita adalah sketsa, ilustrasi, atau lukisan–karya-karya yang memiliki valuasi artistik sehingga menjadikannya sebagai suatu karya seni. Sementara itu, poster berada di luar definisi tersebut. Poster tidak lain hanya merupakan pelengkap dari pelaksanaan suatu kegiatan, produk komunikasi publik yang memiliki fungsi-fungsi teknis alih-alih dianggap sebagai karya seni.

Namun, anggapan demikian terpatahkan dengan koleksi poster kegiatan yang diselenggarakan DKJ di TIM, khususnya pada tahun-tahun 1960-an sampai 1980-an.

Sebagaimana dinyatakan oleh Pramana Padmodarmaya, Direktur Pelaksana PKJ TIM pada kata pengantar pameran poster 25 tahun TIM tahun 1993, poster kegiatan yang diproduksi pada masa-masa awal berdirinya DKJ melibatkan pakar perupa dan pelukis dalam pembuatannya. Nama-nama yang disebutkan antara lain Danarto, Sriwidodo, Yuswar, Sugeng, Abdul Mutalib, Zaini, Oesman Effendi, D. A. Peransi, dan John Lumanauw–sejumlah di antaranya merupakan para seniman besar yang tercatat dalam sejarah kesenian Indonesia.

Hal tersebut dikonfirmasi ulang oleh Aidil Usman–yang sempat bercerita kepada saya secara singkat beberapa jam sebelum pameran dibuka–bahwa dulu di TIM ada studio tersendiri untuk pembuatan poster kegiatan, layaknya studio lukis. Adapun Komite Seni Rupa dan para seniman yang tergabung dalam DKJ turut bertanggung jawab serta mengawasi pembuatan poster kegiatan DKJ yang dikerjakan secara manual.

Poster-poster yang dibuat secara manual tersebut pada satu sisi memiliki fungsi sebagai media publikasi, atau dalam kata lain produk massal. Namun, di sisi lain, ia juga memiliki valuasi artistik. Satu poster dengan yang lain untuk satu kegiatan yang sama bisa berbeda, layaknya lukisan. Hal tersebut tampak dari arsip poster kegiatan tahun 1969 yang masih tersimpan versi aslinya sampai hari ini, yakni Tjeramah oleh Rustam Effendi tentang Kenang2an Masa Pra-Pudjangga Baru yang dilaksanakan pada 14 Agustus 1969.

Poster kegiatan Tjeramah oleh Rustam Effendi tentang Kenang2an Masa Pra-Pudjangga Baru. Koleksi Dewan Kesenian Jakarta

Perkembangan teknologi cetak sedikit banyak mempengaruhi pembuatan poster kegiatan DKJ pada tahun-tahun berikutnya. Memasuki periode 1970-an dan 1980-an, mulai berkembang teknik sablon yang memungkinkan pembuatan poster dalam jumlah banyak dalam waktu yang lebih singkat.

Namun, teknik tersebut juga masih menyimpan beberapa tantangan, misalnya seperti cat yang meluber atau merembes pada media yang digunakan. Salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah pembuatan poster kegiatan DKJ adalah berkembangnya letter set yang membantu penulisan teks di poster.

Terkait letter set, salah seorang seniman mantan pembuat poster yang dilibatkan dalam pameran ini sebagai pelukis mural, LZ Tunggul Panjaitan, sempat berceletuk, “jangan bayangkan letter set yang ada waktu itu seperti font yang ada di komputer sekarang. Pilihan (jenis huruf) yang ada sedikit sekali.” Hal tersebut kembali menegaskan nilai poster sebagai karya seni yang pembuatannya menuntut kemampuan untuk melukis.

Selain Tunggul, pameran ini juga melibatkan Tanjung yang dulu juga sempat berprofesi sebagai pembuat (baca: pelukis) poster film bioskop. Pada hari pembukaan pameran (10/11), keduanya unjuk gigi menggambar ulang empat koleksi poster di atas panel besar. Dengan demikian, pengunjung dapat melihat kembali proses kreatif pembuatan poster di masa lalu.

Tunggul dan Tanjung melukis ulang poster kegiatan Dewan Kesenian Jakarta

Memasuki pertengahan 1990-an, kita akan mendapati kecenderungan visual yang sama sekali berbeda dari dekade-dekade sebelumnya. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital yang disertai dengan hadirnya aplikasi-aplikasi perangkat lunak pengolahan gambar. Namun, sebagaimana saya tulis dalam catatan kuratorial, spesifikasi di ranah akademik dan profesi yang membedakan antara seni dengan desain juga mempengaruhi kerja-kerja seni, termasuk pembuatan poster. Saat ini kita tidak lagi mengenal “seniman poster” karena pembuatan poster kegiatan selalu menjadi tanggung jawab dari orang yang ditunjuk sebagai desainer.

Terkait hal ini, saya–yang dalam beberapa bulan terakhir berinteraksi secara cukup intens dengan seniman rupa–beberapa kali mendengar slentingan-slentingan yang cukup menarik. Karena adanya perbedaan antara dua bidang dan profesi tersebut, ditambah dengan pergeseran pada cara membaca dan memaknai poster, seniman tidak akan menggarap pembuatan poster karena dianggap “turun derajat”. Meski tak jarang juga seniman melakukan hal tersebut dikarenakan tugas ataupun tuntutan ekonomi.

Saya tidak bisa–dan rasanya juga tidak berhak–untuk berkomentar lebih lanjut tentang hal tersebut karena tidak menjalani sendiri profesi sebagai seniman ataupun desainer. Namun, implikasi yang timbul dari pergeseran teknik pembuatan poster merupakan satu fenomena yang menarik untuk dibaca lebih lanjut.

Dengan nilai artistik yang dimilikinya, dan keterlibatan seniman dalam pembuatannya, saya melontarkan pertanyaan lain yang berkaitan juga dengan sejarah seni rupa Indonesia. Dengan mengingat juga peran DKJ dan TIM sebagai rumah bagi seniman dari seluruh Indonesia, apakah poster kegiatan DKJ, khususnya yang dibuat pada masa 1960–1980-an dapat dijadikan salah satu indikator untuk membaca perjalanan sejarah seni rupa Indonesia?

Iya atau tidak jawabannya, menurut saya kita masih tetap memerlukan pembacaan lebih lanjut terkait koleksi poster kegiatan DKJ sebagai jembatan untuk merefleksikan aktivitas kebudayaan kita hari ini dan ke depannya. Ketika memilah dan memilih poster yang akan dipamerkan beberapa kegiatan menarik perhatian saya, dan membuat saya bertanya-tanya mengapa kegiatan seperti ini tidak lagi dilakukan?

Seperti misalnya ceramah yang disampaikan oleh penulis atau seniman yang baru saja pulang dari lawatan budaya ke luar negeri, atau temu sastrawan dan budayawan yang dilaksanakan untuk membahas isu-isu terkini di ranah kebudayaan. Kegiatan-kegiatan tersebut terkesan sederhana, tetapi sesungguhnya bisa menjadi ruang untuk mendiskusikan sejumlah kegelisahan yang hanya dibicarakan di pertemuan-pertemuan sporadis sehingga seringkali tidak berbuah solusi atau rencana tindak lanjut.

Pameran “Rupa Rupa Lima Lima” yang masih akan dibuka sampai 30 November 2023 merupakan undangan bagi kita semua untuk membaca kembali hal-hal yang tersisihkan dari definisi “seni” dan meneroka hal-hal yang bisa kita lakukan di ranah seni ke depannya.

--

--

No responses yet