Membakar Tak Selamanya Membongkar

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readJul 9, 2023

--

Pada akhirnya saya tidak lagi bisa menahan diri untuk membahas salah satu pemberitaan yang cukup menghebohkan pekan ini, yaitu pembakaran sekolah SMPN 2 Pringsurat oleh salahseorang siswanya. Sebelumnya saya memutuskan untuk tidak banyak berkomentar mengingat isu tersebut tidak bisa dibilang sederhana dan mudah untuk dibicarakan.

Sampai akhirnya seorang kawan saya membagikan tautan tulisan Bre Redana berjudul “Untuk Adik Pembakar Sekolah” yang diterbitkan di situs pribadinya. Tulisan tersebut memantik perhatian kami–saya dan kawan saya–karena mengandung pesan yang sangat jelas: memosisikan pelajar yang melakukan aksi pembakaran sekolah sebagai pahlawan.

Di tengah-tengah proses menggalang gagasan dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk ditulis–saya memang bukan penulis yang bisa menjaring inspirasi dari langit-langit kamar dalam waktu satu malam–saya sempat membaca kiriman status Facebook Mario Lawi yang juga mengomentari tulisan Bre Redana. Mario Lawi secara khusus mengkritik pilihan Bre Redana untuk memanggil pelajar tersebut dengan panggilan “Dik” dalam pertentangannya dengan gagasan Paulo Freire:

“Di tulisan ini, Bre Redana mengutip Freire, dan karyanya yang terkenal, The Pedagogy of the Oppressed, tetapi menyapa siswa pembakar sekolah dengan sapaan “Dek” hanya untuk menyatakan di akhir tulisan bahwa ia bisa “mewakili” siswa tersebut menuliskan pengalamannya. Jalan keluar yang justru bertentangan dengan semangat pembebasan pendidikan yang disampaikan Freire dalam karya yang dikutipnya sendiri dalam tulisan ini.”

Saya mengapresiasi kemampuan Mario dalam melihat wacana yang tersirat dari tulisan Bre Redana dan menunjukkan secara gamblang kontradiksi yang terkandung di dalamnya. Sementara saya sendiri lebih tertarik untuk membahas lebih lanjut pemosisian sosok pelajar yang dalam pekan ini mengisi kolom-kolom berita dan menjadi pembicaraan banyak pihak tersebut.

Dalam hal ini, saya memang tidak bisa merespons dengan cara yang serupa dengan Bre Redana; sesederhana karena saya cukup beruntung karena tidak memiliki pengalaman sebagai korban perundungan baik ketika saya masih duduk di bangku sekolah ataupun saat ini ketika saya sudah mentas dari sistem pendidikan formal. Hal ini mungkin bisa saja dianggap sebagai suatu kelemahan. Namun, saya yakin kita tidak perlu menjadi korban terlebih dahulu untuk menunjukkan kepedulian terhadap suatu isu dan menyatakan posisi dengan jelas.

Untuk kasus ini, tentu akan menjadi satu kesalahan besar jika kita menutup diri dari kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan pelajar tersebut merupakan respons atas perundungan yang ia alami dari lingkungan belajarnya, mulai dari sesama murid sampai gurunya sendiri. Ditambah lagi dengan cara penanganan kasus oleh pihak kepolisian yang kurang mampu mengakomodasi kebutuhan untuk memperlakukan pelajar tersebut sebagai individu yang di bawah umur.

Saya cukup tercengang ketika melihat foto dokumentasi siaran pers yang diselenggarakan oleh kepolisian karena terlihat anak tersebut dikepung oleh dua anggota polisi sambil memanggul senapan laras panjang. Foto tersebut menunjukkan secara sangat terang bagaimana ia diperlakukan layaknya pelaku terorisme, seakan-akan semua hal yang melatari tindakan tersebut tidak perlu menjadi pertimbangan.

Namun, dalam hal ini, saya juga tidak sepenuhnya setuju dengan Bre Redana yang merasa dirinya sendiri “tidak seberani dan seheroik” itu untuk membakar sekolah. Sejalan dengan kritik Mario yang berfokus pada kontradiksi antara gagasan yang ditawarkan Freire dan cara Bre Redana menempatkan dirinya sendiri, saya juga merasa agaknya kurang tepat untuk menjadikan argumen kritis Freire terhadap proses pembelajaran untuk menjustifikasi dan melegitimasi tindakan pelajar tersebut.

Sebagaimana ditegaskan oleh Donaldo Macedo dalam pembukaan terbitan Pedagogy of the Oppressed edisi ulang tahun ke-50, tujuan utama yang ingin dicapai Freire melalui bukunya adalah “menunjukkan dan membahas tensi dan kontradiksi yang bersifat inheren dalam relasi antara kelas penindas dengan kelas yang tertindas” (h. 11). Dengan demikian, kritik Freire dialamatkan kepada sistem atau struktur yang sifatnya lebih kompleks dari sekadar bangunan sekolah.

Pada titik ini, jika diperbolehkan menarik ke pengalaman pribadi, saya ingin menyinggung sejenak pengalaman saya menjadi korban pelecehan seksual di tempat publik. Tepatnya ketika saya berada di salah satu stasiun KRL Jabodetabek dan pantat saya diremas oleh seorang laki-laki asing yang berjalan di belakang saya. Pengalaman serupa juga pernah saya alami di dalam kereta ketika kondisi sedang ramai dengan penumpang. Saya cukup beruntung memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan dengan menonjok laki-laki yang melecehkan saya.

Tentu bukanlah hal yang bijak jika saya kemudian serta merta memosisikan diri saya sendiri dengan pelajar pembakar sekolah–saya sadar bahwa saya pada beberapa titik memiliki privilese yang lebih besar dibandingkan kebanyakan orang–tapi saya tidak menganggap bentuk perlawanan dengan membakar stasiun misalnya, dengan alasan bahwa sarana publik tersebut tidak mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya, merupakan hal yang tepat dilakukan.

Kasus lain yang menurut saya bisa dijadikan perbandingan adalah ketidaksepakatan kita dengan kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tentu banyak sekali inisiatif-inisiatif pemerintah yang pada beberapa titik memojokkan atau kurang menguntungkan kita, misalnya kebijakan terkait ketenagakerjaan atau layanan kesehatan. Pertanyaannya kemudian apakah kita kemudian melakukan perlawanan dengan cara membakar gedung kepresidenan atau kantor-kantor lembaga pemerintahan?

Sekarang, mari kita membahas lebih lanjut perkara yang disinyalir menjadi latar belakang dari tindakan pembakaran, yakni tindakan kekerasan dalam bentuk perundungan. Perundungan atau pelecehan seksual juga bentuk-bentuk kekerasan lain, baik yang terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal, atau ruang publik sekali pun, merupakan salah satu dampak dari tercipta dan terjaganya struktur relasi kuasa yang timpang antara satu kelas dengan kelas yang lain. Dalam hal ini, perempuan, anak-anak, lansia, gender non-biner, juga masyarakat dengan identitas agama dan kepercayaan, suku dan ras, yang tidak dominan seringkali menempati posisi sebagai kelas yang tertindas. Nilai-nilai yang membenarkan cara pandang dan tindakan represif oleh satu kelompok ke kelompok yang lain berada pada tataran struktural alih-alih menempel pada fisik bangunan.

Dengan dasar pertimbangan itulah agaknya keputusan Bre Redana untuk membaca aksi pembakaran sekolah sebagai tindakan yang heroik dan memosisikan pelajar tersebut sebagai pahlawan yang pemberani menurut saya kurang bijak.

Pada saat yang sama, saya juga membayangkan dampak yang bisa saja muncul jika cara pandang tersebut menjadi anggapan publik. Pembakaran sekolah bisa saja kemudian dianggap sebagai pilihan yang tepat dalam merespons setiap tindakan kekerasan yang dialami warga sekolah. Sementara itu, sumber daya yang dibutuhkan untuk memperbaiki atau membangun kembali gedung sekolah tidak bisa dikatakan sedikit, seringkali juga masih dipersulit dengan keruwetan-keruwetan birokrasi terkait pengadaan.

Sekali lagi, melalui tulisan ini saya tidak berkeinginan untuk menutup mata dengan realitas bahwa penindasan antarkelas memang masih saja terjadi di ruang-ruang yang diharapkan menjadi ruang aman bagi orang-orang yang berada di dalamnya, dan bahwa pelajar tersebut mungkin tidak memiliki banyak opsi untuk melakukan perlawanan dan mendapatkan kembali haknya, baik sebagai seorang peserta didik maupun sebagai manusia yang semestinya merdeka dari berbagai bentuk kekerasan.

Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari sistem pendidikan kita, dari paradigma tentang relasi antar kelas, dari cara hukum mengatasi kasus-kasus yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku, dan masih banyak hal lain. Jika kita bisa melakukan perubahan dengan kerusakan yang seminimal mungkin dan lebih terfokus, mungkin kita bisa memilih opsi tersebut.

--

--

No responses yet