Membicarakan Asia Tenggara: Jalinan Memori Kolektif sebagai Jaringan Kepenulisan
Belum lama ini saya membaca sebuah tulisan yang cukup mewakili pemikiran saya terkait keberadaan dan kinerja lembaga internasional dalam merespons dan menangani isu-isu global. Secara spesifik, artikel berjudul “Governing the Planet” tersebut menyoroti cara lembaga-lembaga internasional seperti WHO dan UNFCCC sebagai badan di bawah PBB dalam menyikapi isu-isu global.
Argumen utama penulis adalah bahwa institusi berbasis keanggotaan negara tidak akan mampu mengatasi sejumlah fenomena seperti virus, gas rumah kaca, dan keanekaragaman hayati, karena isu-isu tersebut tidak terikat oleh batas-batas politik melainkan oleh ‘sistem Bumi’. Jika struktur sistem internasional tetap memperlakukan kedaulatan politik negara sebagai hal yang suci, organisasi-organisasi tersebut tidak akan bisa mengatasi fenomena-fenomena dalam skala planet secara efektif.
Pertemuan saya dengan tulisan tersebut bertepatan dengan persiapan yang sedang saya lakukan sebagai salah satu pembicara dalam sesi dialog ‘What Untold Stories Lie Beyond the Recorded History of Southeast Asia?’ sebagai rangkaian kegiatan Road to Jakarta Content Week yang berlangsung pada 9–11 Agustus 2024.
‘Untold stories’ yang akan dibahas pada diskusi tersebut dalam kaitannya dengan perjalanan kepenulisan saya adalah narasi-narasi terkait genosida dan pelanggaran HAM massal 1965–66 di Indonesia yang tidak diceritakan oleh ‘sejarah resmi’ atau ‘sejarah nasional’. Topik ini berkorelasi dengan pembahasan Glenn Diaz dari Filipina yang juga menjadikan kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinan represif sebagai elemen karya-karyanya. Sementara Marylyn Tan sebagai penyair queer dari Singapura membahas tensi-tensi sosial yang mengelilingi perjuangan hak LGBTQ.
Salah satu topik pembahasan yang diharapkan bisa digali dalam sesi diskusi tersebut adalah potensi dan signifikansi pembentukan jaringan solidaritas di kalangan penulis Asia Tenggara, khususnya dalam menyuarakan narasi-narasi yang dipinggirkan atau dibisukan oleh kekuatan dominan. Topik tersebut memantik kepala saya untuk membawa pembacaan kritis terhadap PBB untuk membaca ASEAN sebagai organisasi berbasis keanggotaan negara di tingkat regional Asia Tenggara.
Saya sebenarnya sudah cukup lama memiliki cara pandang dan pemikiran yang serupa dengan Jonathan S. Blake dan Nils Gilman, penulis dari artikel yang saya bahas di atas. Dalam benak saya, terperam keraguan dan skeptisisme perihal sejauh mana organisasi-organisasi internasional merespons beragam isu yang melibatkan hajat manusia dan makhluk hidup lain di dunia.
Membahas perkara ini, penting juga menurut saya mengingat kembali sikap yang pernah diambil Sukarno pada awal Januari 1965 untuk menyatakan Indonesia keluar dari PBB dikarenakan pengakuan atas Malaysia yang saat itu masih berada di bawah jajahan Inggris sebagai anggota organisasi tersebut. Pengakuan itu menurut Sukarno merupakan bentuk dukungan terhadap kolonialisme dan imperialisme, perihal yang sepenuhnya ditentang oleh Indonesia sebagai negara merdeka.
Peralihan kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto yang mulai bergulir sejak penghujung 1965 tidak hanya memberikan dampak signifikan terhadap situasi sosial politik di dalam negeri. Kelahiran Orde Baru yang berupaya membedakan dan menjauhkan diri dari pemerintahan sebelumnya juga ditandai dengan perubahan sikap dan posisi Indonesia perihal urusan politik luar negeri. Indonesia masuk kembali sebagai anggota PBB, lalu pada 1967 menjadi salah satu negara pendiri ASEAN bersama Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Saya selalu teringat dengan materi dalam mata pelajaran Sejarah yang cenderung mengglorifikasi peran Indonesia sebagai salah satu negara pendiri organisasi regional tersebut. Narasi sejarah terkait pembentukan ASEAN seakan dilepaskan dari konteks sosial politik di Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Pada saat itu beberapa negara di kawasan Asia Tenggara sebenarnya tengah berada dalam situasi penuh kekacauan dikarenakan operasi pemberantasan komunisme yang dijalankan pemerintah dan militer dengan intervensi dan dukungan dari Amerika Serikat. Di Indonesia, penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan atas orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September berlangsung dengan masif.
Merujuk dokumen memorandum Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert McNamara pada awal 1967, periode tersebut merupakan tahun-tahun ketika tujuan Amerika Serikat berhasil tercapai dengan terbentuknya ‘pemerintahan anti-komunis baru berkuasa di Indonesia’ yang berhasil ‘menghancurkan Partai Komunis’. Di Vietnam Selatan, lima tahun sebelum terbentuknya ASEAN, berlangsung program Strategic Hamlet yang melibatkan persekusi dan relokasi paksa atas puluhan ribu orang ke sebuah desa terisolir guna mengatasi penyebaran paham komunisme. Tahun 1965 juga ditandai dengan pengiriman misi rahasia Pasukan Khusus dari Amerika Serikat ke Kamboja, yang diikuti dengan Operasi Menu yang dilancarkan untuk menghancurkan tempat-tempat perlindungan golongan kiri Vietnam di Kamboja.
Contoh-contoh di atas hanyalah beberapa dari sejumlah kasus pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara Asia Tenggara terus berhadapan dengan dinamika sosial politik yang tidak mudah, paling tidak dimulai dari penjajahan Eropa, upaya memperoleh kemerdekaan, pembentukan identitas diri sebagai negara berdaulat, menguatnya otoritarianisme militeristik, sampai perjalanan menuju demokrasi, hampir semuanya melibatkan pelanggaran HAM berat dan memakan korban yang tidak sedikit.
Thailand barangkali menjadi pengecualian untuk kolonialisme Eropa, tetapi perlu diingat bahwa negara tersebut mengalami serangkaian kudeta yang jumlahnya melampaui negara-negara lain dalam konteks sejarah kontemporer. Ditambah lagi dengan menguatnya otoritarianisme populis dewasa ini yang sedikit banyak juga mempengaruhi situasi sosial politik negara-negara di Asia Tenggara.
Kajian-kajian yang membandingkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan massal di negara-negara Asia Tenggara pada periode pascakemerdekaan pun telah dilakukan. Secara umum, terdapat sejumlah kesamaan mendasar seperti misalnya dukungan Amerika Serikat dan monopoli kekuatan massa sebagai milisi. Sejumlah perbedaan pun didapati pada elemen-elemen yang lebih subtil, tetapi tidak mengurangi ikatan ‘senasib sepenanggungan’ di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Meski demikian, sejauh ini inisiatif yang dilakukan oleh ASEAN untuk merespons apalagi mengatasi kasus pelanggaran HAM berat bisa dikatakan masih sangat minim, terutama jika dibandingkan perkembangan situasi yang belum bisa dikatakan menuju ke arah yang benar juga. Dalam hal ini, agaknya persoalan yang berkaitan dengan PBB, sebagaimana telah disoroti dalam artikel yang saya rujuk di atas, juga berlaku untuk ASEAN.
Dalam konteks ASEAN, struktur organisasi berdasarkan keanggotaan negara tidak mampu mengatasi pelanggaran atas hak asasi manusia yang jelas-jelas melampaui batas-batas geografis. Hitam di atas putih, pertemuan-pertemuan yang diselenggakan terus berupaya menjaga marwah prinsip-prinsip ASEAN yang bersandar pada nilai-nilai altruis.
Namun, pada praktiknya, serupa dengan yang terjadi dalam konteks PBB, pembahasannya tidak menyentuh permasalahan-permasalahan yang benar-benar dialami oleh masyarakat. Pembahasan tentang kesejahteraan semata-mata dikaitkan dengan capaian PDB per tahun atau status ekonomi, dan kurang melibatkan pembicaraan tentang kesejahteraan dalam konteks sosial, seperti misalnya pemulihan atas dampak pembatasan hak ekonomi yang dialami oleh mantan tahanan politik dan keluarganya di Indonesia.
Melalui pembicaraan yang berlangsung dalam sesi diskusi di Jaktent, semakin disadari pentingnya membangun solidaritas di antara penulis dan pekerja buku di kawasan Asia Tenggara. Solidaritas tersebut semakin diperlukan di tengah meningkatnya dominasi kekuatan sayap kanan dan perkembangan media sosial yang bekerja layaknya pisau bermata dua–pada satu sisi menawarkan ruang yang lebih luas untuk menyuarakan narasi-narasi terpinggirkan, tetapi pada sisi lain meningkatkan risiko tersebarnya berita bohong dan narasi yang terdistorsi.
Latar belakang kemiripan historis dan memori kolektif yang dimiliki negara-negara Asia Tenggara perlu dijalin sebagai kekuatan bersama untuk menuntaskan ekses dari isu di masa lalu dan menyiapkan diri dengan berbagai tantangan di masa depan.
Secara khusus untuk kasus Indonesia, pergantian kepemimpinan yang akan segera berlangsung semakin menegaskan perlunya jaringan yang akan membantu kita meretas dominasi kekuatan represif.