Memperdebatkan Sastra

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readSep 29, 2024

--

Tahun ini saya mendapatkan kesempatan kedua untuk menjadi salah satu anggota dewan juri Kompetisi Debat Sastra untuk pelajar SMA yang diselenggarakan Komunitas Salihara.

Suasana Final Kompetisi Debat Sastra Salihara 2024. Dokumentasi Komunitas Salihara.

Dua tahun lalu, saya diminta melakukan penilaian untuk Tahap I dari kompetisi tersebut, sehingga tugas saya hanya membaca dan menyeleksi karya tulis yang dikirimkan para peserta. Tiga tulisan terbaik akan berlanjut ke Tahap II untuk ditampilkan sebagai materi debat. Pada kesempatan yang kedua kali inilah saya menjadi juri untuk Tahap II atau babak final yang diselenggarakan Sabtu (28/9) lalu.

Saya sebelumnya sempat membahas sangat sekilas tentang penjurian Kompetisi Debat Sastra tahun 2022 dalam tulisan saya yang dimuat di Tengara.id, sekadar sebagai perbandingan dengan proses penjurian perlombaan-perlombaan sastra lain. Kali ini, dengan pengalaman menilai dua tahapan perlombaan dalam Kompetisi Debat Sastra, saya merasa perlu untuk menuliskan catatan yang lebih lengkap.

Secara umum, paling tidak menurut saya pribadi, menilai tulisan non-fiksi lebih mudah dilakukan dibandingkan karya fiksi. Kemudahan itu disebabkan oleh unsur objektivitas dari tulisan non-fiksi, khususnya dalam hal ini adalah hasil analisis atas karya sastra.

Meski berlaku semacam norma mendasar yakni ‘tidak ada interpretasi yang salah’, kualitas hasil analisis ditentukan oleh kriteria-kriteria yang tegas, di antaranya seperti kedalaman pembahasan serta kekuatan argumen dan kelogisan pembuktian atas interpretasi yang ditawarkan.

Kriteria-kriteria itu barangkali bisa dipenuhi dengan baik–atau bahkan sangat baik–melalui pemaparan dalam bentuk tulisan. Namun, persoalannya akan lain lagi ketika segala hal yang sudah ditulis itu harus dipresentasikan dan dipertahankan dalam forum debat.

Saya cukup sering mendengar celetukan, yang terkadang bernada curhatan, dari rekan-rekan penulis terkait hal ini. Yakni bagaimana mereka bisa mengutarakan pendapat, pemikiran, dan kritik dalam bentuk tulisan dengan lancar, tetapi mereka kemudian seakan-akan kehilangan kemampuan tersebut ketika harus mengomunikasikannya secara verbal.

Hal inilah yang menurut saya membuat kompetisi sastra dalam format debat menjadi menarik.

Dewan Juri Final Kompetisi Debat Sastra Salihara 2024: Ronny Agustinus, saya, dan Teguh Afandi. Dokumentasi Komunitas Salihara

Kesulitan dalam penyampaian argumen secara verbal–dibandingkan secara tertulis–sebenarnya adalah satu hal yang dapat dipahami. Pada dasarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan public speaking yang beragam. Jika ada orang-orang yang menikmati tampil dan berbicara di depan banyak orang, tidak sedikit yang merasa gugup atau bahkan takut untuk sekadar mengutarakan pendapat dalam lingkaran ‘tongkrongan’ yang bersifat informal.

Belum lagi jika kita berbicara tentang teknik dan metode komunikasi dalam forum debat ilmiah. Saya sendiri punya sedikit pengalaman terkait hal ini dengan menjadi ketua pelaksana kompetisi debat bahasa Inggris ketika masih kuliah dan aktif di organisasi mahasiswa, serta menjadi pembimbing kelompok debat di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang sebelum saya pindah ke Jakarta.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin menjabarkan teori-teori atau teknik-teknik yang berlaku dalam tradisi debat ilmiah secara rinci, tetapi satu hal yang ingin saya tekankan adalah bahwa seorang debater atau presenter tidak hanya harus berani untuk berbicara di depan umum, tetapi juga mesti memiliki kemampuan dalam mengolah aspek-aspek performatif dalam menyampaikan argumennya.

Aspek-aspek performatif menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberterimaan pesan yang disampaikan. Sebagai contoh kasus misalnya suatu argumen yang logis dan kokoh bisa saja tidak dipercaya oleh pendengar karena disampaikan dengan ekspresi wajah dan gestur tubuh yang terkesan main-main, atau intonasi yang datar dan tidak meyakinkan.

Di sisi lain, berlaku juga ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan etiket, seperti misalnya tidak memotong penyampaian yang disampaikan oleh lawan debat, penggunaan panggilan untuk merujuk lawan, dan lain-lain.

Sudah barang tentu semua kerumitan tersebut tidak menjadi soal ketika kita menyampaikan opini atau argumen dalam bentuk tulisan.

Sampai di sini barangkali muncul pertanyaan dalam benak beberapa pembaca: apa pentingnya mengetahui, apalagi sampai memahami dan menguasai, kemampuan untuk berdebat? Toh pekerjaan penulis adalah menulis, bukan berbicara. Pertanyaan itu sah-sah saja untuk disampaikan karena memang mengandung kebenaran.

Tugas utama penulis memang adalah menulis. Namun, menurut saya tidak ada salahnya untuk melatih kemampuan berbicara di depan publik dan berdebat secara ilmiah. Terutama dalam kaitannya dengan target peserta dari Kompetisi Debat Sastra yang diselenggarakan Komunitas Salihara, yakni pelajar SMA, kemampuan public speaking adalah bekal yang bermanfaat untuk mengarungi jenjang pendidikan selanjutnya.

Saya katakan demikian karena untuk menamatkan studi di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk bisa mempertahankan argumen yang disampaikan melalui tugas akhir. Apa pun bentuknya dari tugas akhir itu, baik tulisan karya ilmiah ataupun produk lain yang lebih eksploratif (seperti misalnya karya sastra atau karya seni), pertanggungjawaban ilmiah merupakan nyawa dari kehidupan akademis.

Bahkan kemampuan untuk menyampaikan argumen secara verbal juga amat dibutuhkan ketika masuk dalam dunia kerja. Pada kenyataannya, sebagian besar waktu dan tenaga yang dicurahkan dalam lingkungan kerja adalah mempertahankan pendapat yang kita miliki, atau bahkan nilai dari keberadaan kita dalam suatu organisasi kerja. Tanpa kemampuan untuk berdebat–secara ilmiah–kita akan kehilangan tempat dan bahkan diri kita sendiri.

Oleh karena itu, saya merasa bahwa memperdebatkan sastra adalah anak tangga permulaan untuk menjejakkan pemikiran dan mempertahankan jati diri.

--

--

Responses (1)