Menggali Toeti Heraty, Menemukan Aku dalam Budaya

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readJun 16, 2024

--

Luasnya dimensi sosok Toeti Heraty bisa dibilang sudah menjadi pengetahuan banyak orang, terutama mereka yang mengenal sosoknya dengan cukup dekat dan baik. Bahkan hal tersebut bisa kita baca dari sejumlah buku yang mengumpulkan tulisan rekan-rekan Toeti Heraty yang diterbitkan sepanjang hidupnya, salah satunya Pawai Kehidupan: 70 Tahun Toeti Heraty, sumbangan tulisan dari sahabat, kawan, rekan tercinta dan terhormat (2003).

Disertasi Aku dalam Budaya

Sementara itu, bagi saya yang terpaut jarak usia dan kultural–saya baru lahir ketika Toeti berusia 60 tahun di sebuah keluarga di Jawa Timur yang sama sekali tidak memiliki akses atau hubungan dengan “intelektual Menteng”–hanya mengetahui keluasan dimensi seorang Toeti Heraty dari narasi-narasi biografis kehidupannya dan sekelumit karya yang sempat ia buat dan publikasikan.

Di dunia sastra, saya menemukan Toeti Heraty sebagai salah satu dari tidak terlalu banyak penyair perempuan yang karyanya berhasil memikat para kritikus berpengaruh seperti Subagio Sastrowardoyo dan A. Teeuw. Di dunia pergerakan, saya menemukan Toeti Heraty sebagai orang di balik Jurnal Perempuan dan Suara Ibu Peduli yang memainkan peranan penting dalam menjatuhkan rezim Orde Baru. Di dunia akademis khususnya kajian budaya, saya menemukan Toeti Heraty sebagai Guru Besar Filsafat Universitas Indonesia, Rektor Institut Kesenian Jakarta, serta menjadi orang di belakang berdirinya Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Departemen Filsafat Universitas Indonesia.

Semua itu membuat saya melihat Toeti Heraty sebagai seorang patron yang berdiri di puncak menara gading–terdengar tapi tidak terjamah. Karena itulah kepercayaan yang diberikan oleh keluarga Toeti Heraty dan rekan-rekan di Cemara 6 Galeri–Toeti Heraty Museum saya manfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari tahu lebih dalam siapa Toeti Heraty.

Bukan pekerjaan yang terlalu sulit sebenarnya untuk menggali informasi tentang perjalanan kehidupannya dan apa saya yang sudah dilakukannya. Alasannya karena Toeti Heraty paling tidak sudah menulis tiga buku autobiografi dengan penceritaan yang cukup mendetail–yang menandakan kemauan dan keinginannya untuk mengingat momen-momen dalam kehidupannya dan menceritakannya kembali kepada orang lain–dan jikalau pun ada informasi yang perlu dipastikan lagi detailnya, ada orang-orang yang bisa membantu mulai dari anggota keluarga sampai mantan sekretaris pribadinya.

Sebagai perbandingan, kemudahan seperti itu tidak saya nikmati ketika melakukan riset untuk pameran tentang S. Rukiah. Saya masih ingat betul satu malam saya berbincang dengan Sulaiman Harahap yang kala itu menjadi rekanan tim riset untuk menghitung dan mengira-ngira tahun masa-masa sekolah S. Rukiah di Purwakarta.

Hal tersebut harus kami lakukan karena tidak ada informasi yang lengkap terkait masa muda S. Rukiah dari referensi yang berhasil kami temukan. Sementara itu, bertanya kepada anggota keluarga S. Rukiah pun tidak menghasilkan jawaban yang kami harapkan karena mereka tidak melakukan pencatatan yang mendetail.

Proses riset pemilihan koleksi foto Toeti Heraty. Dokumentasi pribadi.

Kemudahan mengakses dan mendapatkan informasi tersebut pada gilirannya sangat membantu penyusunan lini masa kehidupan Toeti Heraty dengan sekian banyak percabangan yang menunjukkan keluasan dan keragaman dimensinya. Bahkan sebenarnya saya harus melakukan peringkasan atas informasi tentang lini masa kehidupan Toeti Heraty dikarenakan pertimbangan artistik dan kenyamanan pengunjung pameran sebagai penerima informasi–dua hal yang juga perlu diperhatikan ketika merancang pameran.

Terlepas dari kemudahan yang sangat membantu proses riset tersebut, saya tetap merasa ada semacam celah yang masih terbuka tentang sosok seorang Toeti Heraty. Saya percaya bahwa setiap karya, apapun bentuk dan mediumnya, apalagi jika karya tersebut dipublikasikan, selalu menyimpan pemikiran pembuatnya. Hal tersebut yang–paling tidak menurut saya–belum tergali cukup dalam dari sosok Toeti Heraty.

Tentu kita mengenal Toeti sebagai seorang penyair, tapi pemikiran apa yang dibalutnya dalam sajak-sajak liris itu? Tentu tidak ada yang meragukan kontribusinya dalam gerakan perempuan di Indonesia, tapi gagasan tentang perempuan atau feminisme semacam apa yang menjadi bahan bakar perjuangannya? Tentu pengakuan sebagai guru besar merupakan bukti nyata kredibilitasnya sebagai akademisi, tetapi ide apa yang membawanya sampai memperoleh gelar kehormatan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu jawabannya tidak tertera dalam buku-buku autobiografinya, juga tidak begitu terang dijelaskan oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya. Hal demikian terjadi karena buku-buku autobiografi tersebut Toeti Heraty tampak lebih ingin membagikan cerita pengalaman pribadinya dari satu periode ke periode berikutnya, tentang siapa keluarga dan rekan-rekannya, tentang apa saja profesi yang pernah dilakoninya, tentang pengalaman-pengalaman remeh tapi berkesan ketika melakukan perjalanan ke luar negeri (seperti misalnya surat nikahnya yang tertinggal di taksi setelah akad pada 1957 atau kecopetan di Venezia ketika ia menjadi kurator Biennale Venezia 1997).

Di samping itu, relasi kekeluargaan terkadang juga merupakan ruang terpisah dari ranah intelektual sehingga gagasan atau pemikiran yang dimiliki seseorang tidak dibagikannya kepada anggota keluarga. Jalan keluarnya tentu dengan membaca karya-karya yang pernah dibuatnya.

Catatan Kuratorial Pameran Arsip “Aku dalam Budaya”

Pada titik itulah saya baru menemukan Aku dalam Budaya, buku Toeti Heraty yang dikembangkan dari disertasi yang ia tuntaskan pada 1979 untuk menamatkan studi doktoral di Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Dalam tulisan tersebut, Toeti menuangkan pemikirannya tentang relasi subjek-objek antara manusia dengan budaya dengan melihat kembali pemikiran-pemikiran para filsuf terdahulu yang telah menuliskan kajian filsafat tentang manusia, antara lain Rene Descartes dan Maine de Biran (aku ontologis), Edmund Husserl dan Merleau-Ponty (aku fungsional), dan Paul Ricœur (aku mitik).

Berdasarkan pembacaan atas gagasan-gagasan yang sudah diteorisasikan sebelumnya dan pengamatan atas fenomena-fenomena budaya dewasa ini, ditawarkan dimensi aku atau kesadaran yang terpadu–alih-alih tersegmentasi layaknya pemikir-pemikir sebelumnya–dengan perbedaan pada peran dan dominasinya. Keterpaduan tersebut memungkinkan manusia menjadi subjek atas tindakannya dalam relasinya dengan budaya sebagai objek.

Karya tersebut seakan menutup celah yang tadinya masih menganga ketika saya diajak untuk terlibat dalam persiapan pameran arsip Toeti Heraty. Penemuan yang berharga tersebut pada gilirannya membawa kami memilih “Aku dalam Budaya”, judul disertasi tersebut, sebagai tajuk pameran. Pemikiran tentang relasi manusia dalam budaya yang ditawarkan Toeti dalam Aku dalam Budaya juga menjadi petunjuk kuratorial khususnya dalam menentukan arsip yang tepat dan representatif untuk dipamerkan.

Dari semua keberlimpahan informasi yang tersedia, arsip-arsip tulisan dan foto, serta objek-objek yang dihadirkan dalam pameran “Aku dalam Budaya” dipilih berdasarkan keterkaitannya dengan pemikiran Toeti Heraty yang tertuang dalam disertasinya. Yakni tulisan-tulisannya yang mengkaji tentang budaya dan kebudayaan, serta foto-foto dan objek-objek yang menunjukkan partisipasinya dalam kegiatan kebudayaan serta kemampuannya menjalin relasi yang dekat dan hangat dengan banyak orang.

Semua itu merepresentasikan gagasan aku yang mampu mengatasi batasan-batasan diri dan lingkungannya, yang mampu memadukan ragam spektrum subjektivitas, yang mampu hidup dalam budaya dan menghidupi budaya dengan merdeka. Dalam hal ini, Toeti Heraty sepanjang hidupnya juga telah menunjukkan dirinya sebagai aku yang merdeka dalam budaya itu, sehingga saya membaca subjektivitas aku dalam budaya tidak hanya berhenti sebagai pemikiran tetapi sudah menjadi suatu laku.

Pameran “Aku dalam Budaya” dengan demikian tidak hanya tentang glorifikasi atau pemujaan atas sosok Toeti Heraty yang memiliki cukup sumber daya untuk berenang di sekian banyak kolam, yang terkesan tidak terjamah bagi sebagian besar orang. Ini adalah kesempatan bagi saya untuk mengatasi jarak dan batasan yang memisahkan, ruang bagi pengunjung–yang barangkali memiliki jarak dan batas-batas pemisah serupa dengan saya–untuk mengenali Toeti sebagai aku yang berpikir.

--

--