Mengingat Tanpa Nama

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readNov 24, 2024

--

Tema dari acara diskusi buku Makam Tanpa Nama karya Vannessa Hearman yang dipilih oleh Kedai patjarmerah sebagai penyelenggara, yakni “Narasi dan Ingatan: Kisah-Kisah di Balik Makam Tanpa Nama” mengantarkan saya pada beberapa episode perenungan yang diliputi dengan bayangan-bayangan berlompatan dalam kepala saya.

Saya ingin mencoba menceritakannya kembali dalam tulisan ini tetapi saya tidak terlalu ingin berusaha menyusunnya dalam jalinan alur yang mengalir dengan runut dan nyaman dijajaki. Oleh karena itu, tulisan kali ini tidak lain merupakan kumpulan fragmen-fragmen isi kepala saya yang mungkin tidak selalu mudah untuk diikuti, apalagi untuk dimaklumi dan dipahami.

Buku kedua Footnote tentang makam

Ada semacam inside joke antara saya dan Dandy Nugraha yang terlontar di tengah proses menerbitkan terjemahan The Unmarked Graves. Yaitu bahwa ini akan menjadi buku kedua terbitan Footnote yang membahas tentang makam. Sebelumnya, kami telah mempublikasikan tesis Heru Joni Putra sebagai terbitan perdana dengan judul Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka.

Penelitian Heru Joni menelisik kontestasi narasi yang melingkupi proses pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung, Kediri, Jawa Timur (tempat ia dibunuh) ke Limapuluh Kota, Sumatra Barat (tempat ia dilahirkan). Penelitian tersebut memperkaya tulisan-tulisan Harry Poeze yang selama bertahun-tahun menjadi literatur babon untuk mengenal kehidupan dan pemikiran Tan Malaka.

Sampai akhirnya kami menggarap terjemahan buku Vannessa Hearman yang judulnya mencantumkan kata ‘grave’ dan membahas tentang kekerasan terhadap kelompok Kiri dengan fokus di daerah Jawa Timur dan periode pasca pemberangusan 1965–66 sampai Operasi Trisula 1968. Di antara pembahasan tersebut terselip narasi-narasi tentang kuburan massal tak bertanda dan tak bernama yang didiami oleh ribuan korban pembunuhan.

Kami pun sempat berseloroh “Footnote adalah penerbit horor” karena dua buku yang kami terbitkan membahas tentang makam. Tapi tentu saja dua teks yang kami terbitkan tersebut punya nilai yang jauh lebih besar dari sekadar itu. Suara yang Lebih Keras dan Makam Tanpa Nama menggugat wacana umum yang memaknai makam secara sakral tetapi tidak kritis, yakni semata ‘tempat peristirahatan terakhir’.

Kedua penelitian yang dilakukan Heru Joni Putra dan Vannessa Hearman menunjukkan bahwa makam pun dapat–dan bahkan perlu–dibaca sebagai teks, sebagai fenomena. Makam merupakan salah satu bentuk budaya material yang jika ‘digali’ akan memberikan perspektif lebih luas tentang sebuah isu.

Unmarked Graves menjadi Makam Tanpa Nama

Menerjemahkan sebuah karya adalah satu pekerjaan, dan menentukan judul yang tepat adalah satu soal lain. Saya ingat sempat ada satu waktu ketika saya dan Dandy Nugraha terlibat dalam satu diskusi untuk menentukan judul yang tepat (baca: cukup representatif) untuk terjemahan The Unmarked Graves.

Kira-kira seperti ini obrolan kami:

Dhianita: “‘Makam Tanpa Tanda’ menurutmu gimana buat terjemahan ‘Unmarked Graves’”?
Dandy: “Bunyinya aku suka. Tapi kata ‘tanda’ itu kayak kurang bernyawa, ya. Menurutku.”
Dhianita: (termenung sejenak) “Nama?”
Dandy: “‘Makam Tanpa Nama’ sounds good. Aku pikir karena ini berkait dengan manusia (korban) ya, diksi ‘nama’ kupikir lebih hidup, alih-alih ‘tanda’ walaupun secara harfiah lebih tepat karena ‘unmarked’.

Pada titik itu saya kembali menyadari bahwa karya terjemahan pada dasarnya memang merupakan sebuah karya baru, meski ia memiliki teks sumber yang menjadi landasan utama kehadirannya. Dalam prosesnya ada upaya pemaknaan ulang yang dilandaskan pada berbagai alasan dan musabab, mulai dari pertimbangan-pertimbangan subjektif sampai konteks kultural dari ekosistem bahasa target.

Pertimbangan subjektif tampak jelas dalam pembicaraan saya dengan Dandy di atas, ditunjukkan dari ujaran-ujaran seperti ‘bunyinya aku suka’ dan ‘kurang bernyawa’. Semua itu ditentukan oleh selera yang dibentuk dari segala macam paparan yang selama ini–dalam hal ini Dandy–terima, dan bisa sangat berbeda dengan orang lain. Dalam hal ini tentunya saya menyadari privilese yang kami miliki sebagai pihak yang memproduksi teks untuk mengendalikan narasi yang diterima oleh publik pembaca.

Sementara konteks kultural yang secara khusus berkaitan erat dengan penerbitan terjemahan The Unmarked Graves tentu saja adalah narasi sejarah terkait genosida dan pelanggaran HAM massal terhadap kelompok Kiri yang terjadi di Indonesia. Nama yang disematkan kepada individu merupakan satu elemen dari identitas yang barangkali bagi kita hari ini hanya memiliki nilai ekonomi dan fungsi-fungsi transaksional.

Sementara dalam konteks genosida dan pelanggaran HAM di Indonesia, nama berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup di tengah represi yang digencarkan negara dari berbagai penjuru. Buktinya ditunjukkan sendiri oleh pengalaman hidup salah satu paman saya yang sampai harus berganti nama untuk bisa keluar dari tahanan dan melanjutkan hidup.

Selain itu, ketidaktuntasan pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia juga ditandai dengan belum teridentifikasinya sebagian besar luweng-luweng dan kuburan massal yang tersebar di berbagai wilayah. Beberapa di antaranya mulai teridentifikasi dan diberi tanda, dan bahkan dituliskan nama-nama orang yang diperkirakan dimakamkan di sana.

Tidak berhasil diidentifikasi dan dicatatkannya nama-nama tersebut bukan hanya berkaitan dengan urusan kependudukan atau angka jumlah korban, tetapi merupakan bentuk hilangnya subjektivitas manusia yang menjadi korban dalam kekerasan massal yang dilakukan oleh negara.

Bandingkan dengan misalnya batu-batu nisan penanda di taman makam pahlawan yang berjajar rapi dan diberi identitas nama yang jelas, yang memungkinkan negara membentuk narasi ingatan tentang siapa-siapa yang dianggap sebagai pahlawan.

Berkunjung ke Cimetière du Père-Lachaise dan Cimetière du Montparnasse

Keterlibatan saya dalam persiapan dan pelaksanaan rangkaian acara peringatan 100 Tahun A. A. Navis akhirnya membawa saya ke Prancis yang menjadi lokasi markas utama UNESCO. Saya berniat membahas kegiatan terkait peringatan 100 Tahun A. A. Navis yang berlangsung di Prancis secara runut dan komprehensif pada tulisan lain. Sementara pada tulisan kali ini yang sudah saya niatkan untuk menjadi kumpulan fragmen pemikiran ini, saya ingin menceritakan perjalanan ziarah yang saya lakukan di Paris pekan lalu.

Di Paris terdapat 14 situs pemakaman umum yang beberapa di antaranya sudah cukup lama menjadi daya tarik wisata, termasuk Cimetière du Père-Lachaise dan Cimetière du Montparnasse yang sempat saya kunjungi pada hari pertama dan terakhir perjalanan ke Paris. Keduanya merupakan kompleks pemakaman bagi veteran perang, tokoh-tokoh berpengaruh yang namanya tercatat dalam sejarah sebagai penulis, seniman, filsuf, dan ilmuwan, di samping orang-orang yang memiliki modal kapital cukup untuk membeli sepetak tanah pekuburan di sana.

Cimetière du Père-Lachaise, yang merupakan kompleks pemakaman terbesar di Paris dengan total luas wilayah mencapai 44 hektar, menjadi apa yang kerap disebut dengan ‘peristirahatan terakhir’ bagi beberapa tokoh dunia. Dari keseluruhan 70.000 makam yang ada di kompleks tersebut, kita akan mendapati makam Honoré de Balzac, Pierre Bourdieu, Frédéric Chopin, Max Ernst, Richard Wallace, Marcel Proust, Oscar Wilde, sampai Jim Morrison.

Sementara Cimetière du Montparnasse mencakup lahan yang lebih kecil tetapi juga memiliki daya tarik yang tidak kalah besar. Cimetière du Montparnasse menjadi tempat dimakamkannya Charles Baudelaire, Simone de Beauvoir, Jean-Paul Sartre, Susan Sontag, Émile Durkheim, Eugene Ionesco, dan Samuel Beckett, dari jumlah keseluruhan sekitar 35.000 makam di area seluas 19 hektar.

Peta yang bisa diunduh secara gratis dari laman situs resmi kedua pemakaman tersebut membantu pengunjung untuk mengidentifikasi titik-titik lokasi dari situs makam yang ingin dikunjungi. Tentu saja saya tidak punya cukup energi dan waktu untuk memeriksa semua kuburan di kedua pemakaman tersebut, sehingga harus melewatkan banyak situs yang sebenarnya ingin saya kunjungi.

Namun, benak saya sempat terhenyak ketika salah seorang dari rombongan perjalanan kami berceletuk, “kalau di Indonesia aja gak pernah ziarah.” Saya terdiam karena pada kenyataannya celetukan itu ada benarnya dan mengingat kembali perjalanan ziarah yang pernah saya lakukan di Indonesia.

Saya ingat hanya dua kali mengunjungi dua makam penulis, yaitu Charlotte Salawati di TPU Karet Bivak dan S. Rukiah di Purwakarta. Kunjungan itu pun untuk kebutuhan pencarian data riset, tidak seperti yang saya lakukan di Prancis. Pada saat itu saya juga didampingi oleh keluarga untuk bisa mengetahui titik lokasi makam mereka karena tentu saja tidak ada peta dengan tanda khusus untuk kuburan tokoh-tokoh yang dimakamkan di sana. Bahkan ketika mengunjungi Charlotte Salawati, saya sempat mendapati situs makamnya dijadikan tempat tinggal darurat oleh gelandangan di sekitar tempat itu.

Pengalaman-pengalaman kunjungan ziarah itu pada akhirnya membawa saya pada kesimpulan bahwa terkadang nama yang tercantum di nisan sebagai penanda pun tidak cukup untuk membuat seseorang diingat.

Diskusi ‘Narasi dan Ingatan: Kisah-Kisah di Balik Makam Tanpa Nama

Chris Wibisana sebagai narasumber pengulas buku Makam Tanpa Nama di Kedai patjarmerah pada Sabtu lalu (23/11) membuka pembicaraan dengan narasi yang menarik. Ia mengajak para audiens menyadari propaganda pelupaan yang saat ini melanda Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dengan terpilihnya seorang tokoh militer yang berperan penting dalam penghilangan aktivis dan penjajahan Indonesia atas Timor Leste sebagai pemimpin.

Dari diskusi kemarin saya pun menyadari bahwa penelitian yang dilakukan Vannessa merupakan sebuah ajakan dan dorongan kuat untuk mengingat–suatu tindakan subversif di tengah gencarnya propaganda pelupaan.

Kita diajak untuk mengingat bahwa pendekatan regional masih sangat dibutuhkan dalam riset terkait pelanggaran HAM massal di Indonesia untuk membaca karakteristik di masing-masing daerah: rantai komando yang bekerja, pihak-pihak yang terlibat, sampai aspek-aspek sosio-kultural yang memengaruhi upaya pemusnahan suatu kelompok.

Kita digerakkan untuk mengingat bahwa korban dan penyintas kekerasan massal bukan sekadar angka, bukan juga sekadar pengikut pasif suatu paham atau kelompok yang tidak berdaya di bawah represi, melainkan subjek dengan agensi dan keinginan kuat untuk bertahan hidup.

Pada saat yang sama, diskusi kemarin mengingatkan saya tentang waktu dan situasi yang tidak selalu berjalan berdampingan dengan upaya mengingat. Tahun berganti, kita kehilangan para penyintas yang telah berusaha sekeras mungkin untuk bertahan hidup. Sementara propaganda pelupaan terus menemukan strategi-strategi terbaiknya untuk mengantarkan kita berjalan meninggalkan makam-makam tanpa nama.

--

--

No responses yet