Menginternasionalkan Sastra Indonesia: Komitmen di Atas Program

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readApr 7, 2024

--

Saya harus jujur bahwa dalam benak saya masih tersimpan penyesalan karena tidak bisa mengikuti secara penuh dan tuntas Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diselenggarakan Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji (YTPI) pada Selasa–Rabu, 2–3 April lalu.

Saya hanya bisa hadir pada pelaksanaan hari pertama dan harus urung pada hari kedua karena ada keperluan yang sulit untuk disambi. Barangkali dengan absennya saya pada hari pertemuan kedua membuat perihal yang saya sampaikan dalam tulisan ini kurang atau bahkan tidak valid. Namun, seperti kebanyakan tulisan blog yang saya buat dan publikasikan, potongan-potongan ini tidak lain merupakan curahan isi kepala yang jika tidak dikeluarkan membuat saya sulit tidur, jadi validitas sebenarnya bukan sesuatu yang saya cari atau kejar dalam konteks ini.

Sebelum masuk ke pembahasan utama, mungkin ada baiknya saya menceritakan sedikit konteks bagaimana saya bisa terlibat dalam diskusi tersebut. Sepertinya konteks tersebut bisa ditarik ke keterlibatan saya–yang singkat–dalam Komite Buku Nasional (KBN) pada 2019. Pertemuan kemarin memang pada satu titik terasa seperti layaknya reuni, apalagi ketika makan malam kami semua duduk satu meja dan momentum tersebut mengingatkan saya dengan hidangan Bakso Samrat atau Nasi Padang Bopet Mini Bendungan Hilir yang kami santap bersama di salah satu ruangan di Gedung C Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Senayan kala itu.

Setelah bubarnya KBN, saya tidak terlibat dalam pembentukan YTPI. Namun, relasi saya dengan rekan-rekan eks-KBN masih cukup terjaga sampai hari ini, salah satunya melalui penyelenggaraan Jakarta Content Week setiap tahun dimana kawan-kawan itu masih sudi melibatkan saya di satu atau beberapa sesi sebagai ‘moderator langganan’.

Sampai akhirnya saya menerima undangan DKT tersebut yang mencantumkan tajuk diskusi, “Pemetaan Potensi Indonesia Menuju Hub Kreatif Asia Tenggara” dan “Rencana Aksi Menuju Indonesia sebagai Hub Kreatif Asia Tenggara.” Adapun penyelenggaraan DKT itu ada kaitannya dengan rencana penyelenggaraan Jakarta Content Week 2024 yang bertema “Sinergitas Literasi Asia Tenggara” yang akan diselenggarakan Juli mendatang. Bukan tajuk diskusi yang bisa dibilang baru, tetapi tetap saja menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.

Saya bisa mengatakan itu tidak baru karena pada kenyataannya wacana terkait posisi Sastra Indonesia–atau kebudayaan Indonesia secara umum–dalam gelanggang sastra dunia–atau kebudayaan global secara umum–sudah menjadi pembahasan yang lama. Bahkan kita bisa menariknya sampai ke masa-masa ketika Republik Indonesia masih seumur jagung dan Sukarno sebagai presiden pertama kala itu sudah sedemikian gencar menyuarakan tentang pentingnya bagi Indonesia sebagai negara merdeka untuk muncul di panggung dunia. Diplomasi budaya menjadi agenda yang digencarkan selain partisipasi Indonesia dalam forum-forum internasional terutama yang mengusung semangat kemerdekaan ‘negara-negara dunia ketiga’.

Semasa Orde Baru, terjadi perubahan fundamental pada apa yang diakui negara sebagai ‘kebudayaan,’ dengan kesesuaian terhadap Pancasila sebagai pijakan dasarnya. Diplomasi budaya masih menjadi agenda pemerintah, tetapi terjadi pergeseran pada praktiknya dibandingkan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengedepankan interaksi lintas budaya yang dialami seniman/ budayawan Indonesia. Sementara pemerintah Orde baru cenderung lebih berfokus pada artefak kebudayaan melalui pelaksanaan atau dukungan penyelenggaraan pameran-pameran seniman lintas negara. (Lebih lengkapnya baca tulisan saya di kumpulan makalah Simposium Khatulistiwa 2022 Kuat Akar Kuat Tanah, Yayasan Jogja Biennale).

Pada saat yang sama, diskusi-diskusi tentang sejauh mana karya-karya penulis Indonesia dikenal di panggung internasional juga menjadi salah satu perbincangan hangat di kalangan pemerhati dan pelaku sastra, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan atau kolom kebudayaan surat kabar terbitan masa-masa itu. Beberapa penulis ‘besar’ tercatat terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan festival sastra internasional, termasuk salah satunya Toeti Heraty yang sempat mengikuti International Writers Program di Iowa University pada 1980-an.

Perlu dicatat juga bahwa pada mendekati Reformasi, sejumlah pelaku dunia sastra seperti Toeti Heraty, W.S. Rendra, Eka Budianta, dll. juga berkumpul untuk mengupayakan lahirnya PEN Indonesia sebagai wadah bagi penulis-penulis Indonesia untuk terlibat dalam gelanggang sastra global.

Ketika duduk di bangku perkuliahan sebagai mahasiswa Sastra Inggris, saya berhadapan dengan mata kuliah World Literature, dimana kami setiap pekan diwajibkan membaca satu karya sastra yang ditulis para ‘sastrawan dunia’ untuk kemudian dianalisis pada pertemuan berikutnya, lalu disusul dengan karya berikutnya lagi sampai habislah 16 pertemuan dalam satu semester. Bisa ditebak, tidak ada karya penulis Indonesia dalam silabus mata kuliah tersebut. Pada saat itu saya berpikir barangkali karena jurusan saya adalah Sastra Inggris, bahan-bahan bacaan yang masuk dalam silabus diutamakan yang berasal dari English-speaking countries, walaupun di sana ada juga nama-nama seperti Leo Tolstoy dan Albert Camus.

Selanjutnya saya bertemu lagi dengan mata kuliah Sastra Dunia ketika masuk di Magister Ilmu Susastra yang notabene tidak berfokus pada satu lingkup bahasa atau kebudayaan tertentu layaknya di jenjang sarjana. Namun, silabus dan daftar bacaan yang saya terima tidak jauh berbeda daripada sebelumnya.

Dibarengi dengan itu, pertemuan dan diskusi dengan sejumlah pelaku dunia sastra di luar ruang kelas juga membuat saya menyadari tentang adanya upaya-upaya untuk mendobrak label-label dan tonggak-tonggak yang selama ini secara disadari ataupun tidak membentuk semacam ‘kasta’ di kalangan para penulis. Konstruksi-konstruksi seperti ‘Sastra Dunia’, inklusi dan eksklusi nama dan karya dalam ‘Sejarah Sastra’ dipertanyakan dan diuji kembali. Sampai akhirnya bergabunglah saya dalam KBN dan terlibat dalam kerja-kerja yang mudahnya bisa disebut dengan ‘menginternasionalkan penulis dan karya Sastra Indonesia.’ Secara khusus, saya menjadi program officer divisi Produksi Literasi yang program utamanya berkaitan langsung dengan upaya internasionalisasi tersebut, yakni residensi penulis dan penerjemahan karya sastra.

Pergantian kepemimpinan di Kemendikbud membawa pada dibubarkannya KBN. Tidak sedikit yang mengutarakan kerinduannya dengan lembaga tersebut, tetapi bisa didengar juga kritik-kritik yang mengatakan kerja-kerja kami waktu itu tidak lebih dari buang-buang uang negara. Yah, dengan pandangan itu tentunya bisa dibilang kami kalah, karena pada dasarnya dampak yang dibawa oleh sastra tidak sekasat mata jalan raya beraspal atau gedung pencakar langit yang hampir selalu dijadikan indikator kesejahteraan dan pembangunan. Dalam hal ini saya juga enggan (baca: terlalu malas) untuk menjelaskan kenapa kita harus mengupayakan penginternasionalan Sastra Indonesia. Namun, masih berlangsungnya pembicaraan tentang hal tersebut mengindikasikan bahwa ada geliat yang masih bergerak di kalangan penulis ataupun pelaku dunia sastra dan perbukuan.

Sekarang mari kita kembali ke DKT yang diselenggarakan YTPI. Pada pertemuan hari pertama saya sempat menyampaikan pada sesi diskusi yang menyusul setelah pemaparan oleh Bapak Aminudin Aziz, John McGlynn, dan Claudia Kaiser, bahwa jika nantinya akan dilaksanakan semacam forum-forum pertemuan penulis Asia Tenggara atau platform apapun yang serupa, forum tersebut perlu menempatkan sastra–yang meliputi penciptaan dan pengkajiannya–sebagai suatu aktivitas intelektual.

Pendapat saya tersebut harus diakui sangat dipengaruhi oleh latar belakang pribadi dimana saya berada di lingkaran sastra sebagai mahasiswa dan alumni jurusan Sastra dan pada saat yang sama sebagai penulis karya sastra. Cukup sering saya mempermasalahkan proses pembelajaran jurusan Sastra di perguruan tinggi yang menitikberatkan pada hafalan dan penggunaan teori dan kurang mampu mempertajam kemampuan mahasiswa dalam membaca–termasuk dalam tulisan saya sepekan yang lalu.

Dalam hal ini, aktivitas intelektual sepatutnya tidak dimaknai secara sempit dalam konteks pendidikan formal atau gelar-gelar akademik, tetapi sebagai kegiatan yang melibatkan penciptaan, pembicaraan, dan perwujudan gagasan yang bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Dengan demikian, karya dan kritik sastra memiliki nilai tawarnya sebagai suatu produk pengetahuan, layaknya–jika boleh saya membandingkan–alat-alat permesinan yang selama ini terus diakui sebagai ciptaan inovasi dari suatu proses kerja-kerja ilmiah.

Aktivitas intelektual tersebut pada gilirannya akan tiba pada pembahasan tentang teori yang agaknya memang akan terus menjadi bagian tidak terpisahkan dari ranah pendidikan formal. Anggaplah memang sedemikian adanya, di samping kepatuhan berlebih terhadap teori, ada permasalahan lain yang perlu diperbincangkan secara lebih serius. Selama ini, teori yang diajarkan di ruang perkuliahan dan digunakan dalam karya-karya ilmiah didominasi oleh teori yang berasal dari Eropa, beberapa lainnya yang lebih baru menggunakan literatur dari Amerika Serikat. Hal tersebut mengindikasikan kekosongan akan pemikiran dari Indonesia, atau paling tidak dalam konteks DKT tersebut, dari Asia Tenggara.

Sampai di sini, saya tidak bisa memberikan masukan lebih lanjut karena tidak dapat hadir pada pertemuan hari kedua. Meski begitu, saya terus memikirkan satu pembahasan sore itu yang sulit untuk kami temukan jawaban konklusifnya, yakni terkait lembaga seperti apa yang bertanggung jawab mengampu tugas tersebut. Apakah lembaga resmi pemerintah atau lembaga mandiri non-pemerintahan? Bagaimana mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh bentuk-bentuk lembaga tersebut?

Pada satu sisi lembaga pemerintahan cenderung memiliki pendanaan yang lebih stabil dan kewenangan yang lebih luas. Namun, sejarah birokrasi di negeri ini telah menunjukkan kelemahan lembaga pemerintahan khususnya perihal proses pengambilan keputusan yang seringkali memakan waktu panjang dan proses berbelit-belit. Sementara itu, lembaga non-pemerintahan bisa jadi lebih gesit dan kreatif dalam merespons suatu kesempatan tetapi seringkali berhadapan dengan isu-isu klasik seperti kurangnya pendanaan dan benturan perizinan.

Suatu komitmen jelas-jelas sangat dibutuhkan dalam hal ini, terlepas seperti apa wujud dan afiliasi lembaga tersebut–mulai dari komitmen pendanaan, SDM, dan infrastruktur pendukung lainnya. Melihat kembali ke belakang, sudah ada paling tidak dua momentum kegagalan yang tercatat: tidak berlanjutnya PEN Indonesia dan bubarnya KBN. Barangkali ada sejumlah upaya lain yang tidak diketahui yang juga pupus di tengah jalan karena berbagai alasan yang berdampak pada kurang berkelanjutannya upaya menginternasionalkan Sastra Indonesia. Program-program yang mengusung tajuk-tajuk menarik tentunya diperlukan sebagai selangnya, tetapi sumber mata airnya harus ada, dan di sanalah komitmen itu berada untuk memastikannya tetap mengalir.

Sampai di sini sebenarnya saya belum bisa menjawab pertanyaan siapa yang semestinya memegang tanggung jawab itu. Sejujurnya saya tidak ingin menjawab dengan pernyataan-pernyataan seperti ‘komitmen bersama’, ‘kolaborasi’, dan ‘gotong royong’ yang kerap dimunculkan kembali akhir-akhir ini. Keengganan saya itu dikarenakan ketidakinginan menjadikan gagasan-gagasan itu menjadi sekadar jargon yang lama kelamaan kehilangan tajinya karena terlalu sering digembar-gemborkan tanpa kesungguhan. Juga karena kenyataan bahwa untuk berkolaborasi itu pun, dalam logika melintasi batas-batas birokrasi dan sektoral, juga membutuhkan komitmen. Jadi perkaranya adalah menemukan komitmen itu–yang di mana mencarinya saya pun belum bisa menjawabnya.

--

--