Menimbang Relevansi Sayembara Sastra
Sepanjang bulan Maret sampai awal Juli lalu, saya menghabiskan malam-malam untuk membaca dan menilai 366 naskah novel yang dikirimkan para peserta Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023.
Saya bersama dua anggota dewan juri yang lain telah menjabarkan metode, hasil, dan rasionalisasi penilaian dalam Pernyataan Pertanggungjawaban Juri yang juga sudah kami bacakan pada Malam Penganugerahan Sayembara Novel dan Manuskrip Puisi 2023 hari Sabtu (22/7) lalu. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini saya ingin membicarakan satu hal yang melampaui pembacaan naskah peserta–yang cukup mengganggu benak saya selama beberapa bulan terakhir–yakni relevansi sayembara karya sastra dewasa ini.
“Dewasa ini” tentu perkara terlalu abstrak yang menuntut penjelasan lebih lanjut. Paling tidak ada dua hal yang ingin saya masukkan dalam payung besar “dewasa ini”. Pertama berkaitan dengan keberlanjutan kekaryaan, dan yang kedua berkaitan dengan perkembangan teknologi. Mari kita mulai dengan poin yang pertama.
Perjalanan yang panjang dari sayembara sastra DKJ, terutama prosa, telah menjadikan perlombaan tersebut memiliki prestise yang tinggi. Siapa pun yang menjadi pemenang dari sayembara tersebut, baik nama baru atau yang sebelumnya telah melahirkan banyak karya, mendapatkan pengakuan nasional sebagai penulis yang mampu menghasilkan karya prosa berkualitas tinggi.
Meski terkadang muncul protes publik terhadap hasil penjurian dan pertanggungjawaban yang disampaikan juri, hampir tidak ada yang bisa menegasikan prestise dari perlombaan tersebut dan pengakuan atas penulis yang memenangkannya.
Selain itu, saya juga tidak mengetahui secara pasti sejak kapan dimulainya tradisi “berburu naskah” oleh penerbit pada Malam Penganugerahan, tetapi fenomena tersebut paling tidak sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir pelaksanaan sayembara. Pada banyak kasus, perburuan tersebut dimenangkan oleh penerbit-penerbit besar yang dapat menjamin bahwa karya yang diterbitkan akan laku di pasaran. Dengan demikian, hampir bisa dijamin bahwa karya pemenang sayembara akan mendapatkan apresiasi yang lebih luas lagi setelah keberhasilannya di ajang perlombaan bergengsi.
Anggaplah semua ‘kenyamanan’ tersebut merupakan buah dari segala upaya yang sudah dicurahkan oleh para peserta sayembara. Seburuk apapun karya, ia dilahirkan dari serangkaian kerja dan upaya. Namun, yang saya perkarakan di sini bukan semata tentang hak yang patut dan pantas diperoleh pemenang.
Alih-alih, saya ingin membawa pembicaraan ini ke dalam ruang yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang. Tentang kontribusi pemenang sayembara pada skena, gelanggang, kancah–atau apapun Anda ingin menyebutnya–Sastra Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk menyindir atau mengecilkan siapa pun, saya mempertanyakan bagaimana jika suatu hari sayembara ini menjadi serupa dengan kompetisi bernyanyi bergengsi yang pemenangnya kemudian menjadi selebritis yang dielu-elukan dalam beberapa bulan atau bahkan minggu lalu kemudian tenggelam begitu saja setelah pembicaraan publik sudah berganti dengan topik pembahasan yang lain?
Pertanyaan itu muncul dari kenyataan bahwa ada sejumlah penulis yang sempat memenangkan sayembara tersebut, beberapa di antaranya sempat menerbitkan karya yang menang, lalu menghilang begitu saja dari sirkulasi pembicaraan atau kegiatan yang berkenaan dengan sastra.
Tentu saya tidak punya wewenang untuk menuntut para pemenang sayembara untuk menjadi pegiat sastra yang membentuk komunitas, hadir dalam berbagai kegiatan, atau berkarya dengan produktif. Bahkan sayembara itu sendiri pun tidak memiliki tanggung jawab untuk melahirkan pegiat sebagaimana saya deskripsikan singkat di atas.
Namun, sekali lagi pertanyaan saya adalah apakah memang itu yang kita butuhkan saat ini dan di masa mendatang? Apakah Sastra Indonesia cukup dengan perayaan pada Malam Penganugerahan, penerbitan satu karya, dan pemberitaan dalam beberapa pekan? Bagaimana jadinya jika sastra sebagai suatu ruang–yang di dalamnya ada aktivitas-aktivitas pengkaryaan, pembacaan, kritik–berubah menjadi layaknya industri hiburan?
Itu adalah perkara pertama. Perkara kedua berkaitan dengan perkembangan teknologi yang memberikan dampak terhadap cara-cara berkarya. Sampai hari ini, saya masih cukup sering mendengar sayup-sayup perdebatan tentang hadirnya fenomena penulis yang terkenal karena mempublikasikan karyanya melalui platform-platform digital.
Pada beberapa kasus, para penulis yang berkarya di ruang digital tersebut bahkan bisa dibilang “lebih berhasil” dibandingkan para penulis yang berjibaku dengan upaya-upaya mencari penerbit, menjalani proses penyuntingan naskah berbulan-bulan, bahkan menghadapi tantangan-tantangan yang tidak terpetakan sebelumnya seperti proses cetak buku yang lama atau penerbitan ISBN yang memakan waktu.
Hadirnya platform digital untuk penulisan kreatif memang belum bisa dibilang mengalahkan cara-cara “lama”. Salah satu buktinya adalah peningkatan pada jumlah peserta yang mengirimkan naskahnya untuk mengikuti sayembara dari tahun ke tahun. Selain itu, geliat penerbitan buku–meskipun tentunya masih lemah dan rendah dibandingkan industri lain–secara umum juga belum mencapai titik nadirnya.
Namun, pertanyaan yang terbit dalam kepala saya adalah bagaimana sayembara tersebut, sebagai salah satu hajatan besar dalam perjalanan Sastra Indonesia merespons fenomena-fenomena baru? Sampai kapan aturan-aturan “konvensional” seperti ‘naskah yang diikutkan lomba tidak pernah dipublikasikan di media apapun’ akan terus relevan? Sekelebat muncul kekhawatiran dalam benak saya jika nanti yang tersisa dari sayembara tersebut tidak lain hanya penerusan tradisi dengan berbekal mitos-mitos prestise, tanpa ada kebaruan yang menjadi salah satu tanda dari suatu perkembangan.
Belum bergeser dari perkara perkembangan teknologi, akhir-akhir ini pembicaraan tentang kecerdasan buatan terus menguat. Seni rupa tampaknya sudah terlebih dahulu sadar dengan potensi dan ancaman yang ditimbulkan oleh kemampuan machine learning dalam menghasilkan karya melalui prompt alih-alih kerja-kerja kreatif yang melibatkan perjalanan bertahun-tahun untuk mencari kekhasan teknik, pencarian bahan dan material, dan jangan lupa malam-malam perenungan untuk menemukan apa yang sering disebut dengan inspirasi.
Dalam konteks perlombaan, pada awal tahun sempat mencuat berita tentang seorang perupa yang karyanya didiskualifikasi sebagai pemenang setelah diketahui bahwa karya tersebut merupakan luaran dari prompt yang ia setor kepada Midjourney.
Pada saat yang sama, kita secara umum juga sudah mulai menyadari potensi yang dimiliki kecerdasan buatan dalam kaitannya dengan kekriyaan tulis-menulis. Namun, paling tidak sependek pengetahuan saya, belum ada bentuk respons nyata terhadap fenomena tersebut. Sementara bukan hal yang tidak mungkin jika suatu saat nanti, atau bahkan mungkin sudah terjadi, karya prosa yang dikirimkan untuk sayembara melibatkan kecerdasan buatan dalam proses kreatifnya.
Bagaimana sayembara akan merespons hal tersebut? Apakah mendiskualifikasi naskah merupakan keputusan yang selamanya tepat dan bijak?
Akhirnya tuntas juga saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan dalam kepala saya selama beberapa bulan terakhir. (Saya benar-benar menarik nafas panjang dan dalam ketika sampai pada paragraf ini). Saya tidak menuntut jawaban pasti dan cepat atas semua tanya tersebut, karena beberapa hal memang membutuhkan kontemplasi, refleksi, dan diskusi.
Namun, harapan saya adalah bagaimana kita bisa melihat ruang sastra yang kita tinggali ini bukan semata sebagai podium atau museum yang diam, melainkan kendaraan yang harus terus bergerak agar dapat terus menghidupi siapa pun di dalamnya, ke mana pun jalan mengarahkan.