Pancasila dan Jembatan Emas Kemerdekaan
Dibandingkan dengan hari-hari besar lain seperti salah satunya Peringatan Kemerdekaan Indonesia, Hari Lahir Pancasila bisa dibilang kurang mendapatkan perhatian masyarakat luas.
Kita tidak akan menemukan gerbang-gerbang gapura didempul ulang dengan cat warna merah putih, kerupuk yang digantung dengan temali dan diperebutkan mulut anak-anak yang memaknai kemenangan hari itu sebagai capaian berumur panjang, atau jalanan dipenuhi dengan arakan orang-orang berkostum.
Upacara bendera tetap menjadi ritus yang dilakoni mereka yang memiliki afiliasi dengan lembaga pemerintahan, tanpa seremoni lain yang menjadikannya berkesan. Kecenderungan tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu aneh, mengingat penetapan dan perayaan tanggal tertentu sebagai “hari nasional” hampir selalu berkaitan erat dengan agenda dan kepentingan politik.
Sebut saja peringatan Hari Kebangkitan Pancasila–yang sering rancu dengan Hari Lahir Pancasila–yang diperingati setiap 1 Oktober berkenaan dengan agenda pemberantasan komunisme dan wacana heroisme militer yang menjadi perhatian utama pemerintah Orde Baru dengan dominasi kekuatan militernya. Eratnya kaitan hari besar nasional dengan agenda politik penguasa membuat pemaknaannya tidak konstan dari tahun ke tahun atau dari masa kepemimpinan satu ke berikutnya.
Seperti layaknya peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang sempat saya bahas pada artikel sebelumnya, saya beranggapan bahwa kurang kuatnya wacana yang ditempelkan pada peringatan Hari Lahir Pancasila juga berkenaan dengan rendahnya pengetahuan terkait peristiwa-peristiwa yang menjadi landasan historis signifikansi tanggal 1 Juni dan kurangnya upaya pemaknaan ulang atas peristiwa tersebut dengan mempertimbangkan segala perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu.
Pada tulisan kali ini saya akan membuka kembali pidato Sukarno yang dibuat dan dibacakannya pada 1 Juni 1945, tepatnya pada salah satu persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI.
Dibandingkan kebanyakan pidatonya yang lain, pidato Sukarno pada persidangan tersebut jauh lebih singkat dan padat, meski kita tetap akan menemukan gayanya yang khas untuk menarik perhatian para pendengarnya. Pidato tersebut disampaikan Sukarno sebagai pengantar dari poin-poin asas dan dasar negara yang ia presentasikan di hadapan para peserta sidang. Sebelumnya, pada persidangan tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin telah mengusulkan rumusannya secara lisan dan tertulis, kemudian dilanjutkan oleh Supomo yang menyampaikan gagasannya pada persidangan tanggal 30 Mei.
Gagasan utama pidato Sukarno adalah pandangannya terkait makna sesungguhnya dari kemerdekaan. Merdeka menurut Sukarno adalah politieke onafhankelijkheid, atau kemerdekaan politik. Sukarno sebelumnya sempat menjelaskan tentang politieke onafhankelijkheid dalam salah satu tulisannya “Mencapai Indonesia Merdeka” yang ditulisnya pada 1933, dan ia kembali menekankan dalam pidatonya 12 tahun kemudian tentang analogi kemerdekaan politik dengan jembatan.
Analogi tersebut menjadi buah pemikiran Sukarno setelah ia mempelajari pengalaman sejumlah negara lain dalam memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, antara lain Saudi Arabia, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika. Dari Saudi Arabia dan Uni Soviet, Sukarno mempelajari bahwa kedua negara tersebut mengukuhkan kemerdekaannya ketika situasi jauh dari sempurna, di mana “80% dari rakyat Saudi Arabia terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu” dan “seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan menulis”.
Kondisi yang dihadapi kedua negara tersebut berbeda dengan situasi di Inggris dan Amerika–dengan sejarah kolonialismenya masing-masing–tetapi semuanya menurut Sukarno memiliki kesamaan dalam hal kemampuan masyarakatnya untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh. Meski sebagian besar rakyat Saudi Arabia dan Uni Soviet masih belum mendapatkan pendidikan, mereka memiliki kesadaran akan pentingnya mempertahankan kemerdekaan, memastikan mereka tidak akan lagi mengalami penjajahan oleh bangsa lain.
Dalam hal itulah Indonesia harus belajar agar segera menjadi bangsa dan negara yang merdeka, tidak menunda-nunda kemerdekaan dengan alasan masih banyak hal “njelimet” atau rumit yang perlu ditangani dan diatasi. “Kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!”
Dalam pidato yang sama, Sukarno berupaya merasionalisasikan keinginan untuk segera melepaskan diri dari penjajahan terlepas dari kondisi masyarakatnya secara umum dengan membahas hukum internasional terkait pengakuan kedaulatan negara, yakni bahwa “tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, sudahlah ia merdeka.”
Di samping lahir dari pengamatan Sukarno atas pengalaman negara-negara bekas jajahan, hadirnya semangat tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari faktor semakin melemahnya posisi Jepang yang semakin terdesak oleh sekutu. Sukarno dan sejumlah pejuang nasionalis lain mendapati momentum tersebut sebagai kesempatan untuk sesegera mungkin mengesahkan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan politik yang dilandasi oleh keberanian itulah yang akan menjadi jembatan emas bagi Indonesia untuk menggapai merdeka yang sebenarnya–kemerdekaan lahir batin yang dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia dan melingkupi semua aspek kehidupan. “Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”
Pidato yang disampaikan Sukarno pada 1 Juni 1945 memancarkan semangat besar suatu bangsa untuk terbebas dari belenggu penjajahan dan mengambil kuasa penuh untuk mendefinisikan diri sesuai dengan asas dan dasar negara yang ditentukan sendiri tanpa campur tangan penjajah.
Adapun lima poin asas dan negara yang diusulkan Sukarno meliputi: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Jika dibandingkan dengan Pancasila yang kita kenal sekarang, kita akan mendapati bahwa rumusan yang disampaikan Yamin secara tertulis pada persidangan BPUPKI lebih mendekati asas yang menjadi dasar negara Indonesia, yakni meliputi (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kebangsaan persatuan Indonesia, (3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, gagasan yang ditawarkan Sukarno melalui pidatonya menjadi kekuatan moril dan ideologis yang tertanam di benak masyarakat Indonesia dalam mengupayakan kemerdekaan tanah kelahirannya. 1 Juni 1945 merupakan momentum pembulatan tekad, penentuan nilai-nilai fundamental, dan peletakan fondasi jembatan emas kedaulatan bangsa dan negara. Momentum yang mengantarkan Indonesia pada Proklamasi Kemerdekaan dua bulan kemudian.
Babak-babak perjalanan yang dilakoni Indonesia selanjutnya sempat menjadikan Pancasila sebagai justifikasi atas tindakan-tindakan brutal pemerintahan diktator, kendaraan untuk mencapai kemenangan bagi partai politik, atau baban debat kusir terkait pendidikan yang tepat dan layak bagi anak-anak.
Dan di antara semua dinamika tersebut, tidak ada yang mengingatkan kita kembali tentang peristiwa apa yang terjadi atau gagasan apa yang dicetuskan pada 1 Juni 1945. Sebagai konsekuensinya, Hari Lahir Pancasila diperingati dengan sepi, padahal hari itu adalah saat yang tepat untuk mempertanyakan dan memikirkan kembali sudah sejauh mana perjalanan kita melintasi jembatan emas kemerdekaan?