Penyalahgunaan Wewenang: Oknum atau Sistem?

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readAug 28, 2022

--

Mungkin Anda adalah salah satu orang seperti saya yang sempat tertarik dengan drama kasus yang menjerat Ferdy Sambo sampai akhirnya sampai pada titik jengah dan muak hanya untuk sekadar membaca satu kalimat headline di kiriman media sosial. Banyaknya informasi yang beredar, nama-nama baru yang terus bermunculan, lika-liku proses pemeriksaan yang berlangsung–kita sudah tidak punya kepala untuk mengolah semuanya.

Kondisi tersebut masih diperparah dengan kemunculan pemberitaan tentang anggota tentara yang menembaki kucing liar di Bandung, disusul dengan kabar tewasnya Rodrigo Ventocilla Ventosilla, seorang mahasiswa Harvard yang notabene seorang aktivis HAM dan gender, setelah penangkapan oleh polisi di Bali. Pada satu sisi, semua kasus yang melibatkan aparat penegak hukum bukanlah hal yang baru atau asing dalam pendengaran atau pun pengetahuan kita. Bukan sekali dua kali kita mendengar anggota kepolisian atau tentara melakukan tindak kekerasan terhadap sesama anggota kesatuan atau pun masyarakat sipil. Ditambah lagi dengan kebijakan dwifungsi ABRI yang sempat bercokol di Indonesia selama lebih dari tiga dekade yang pada beberapa titik masih menyisakan imbasnya sampai hari ini secara epistemologi atau pun sistemik.

Ketika pemberitaan tentang kasus kekerasan atau jenis pelanggaran lain yang dilakukan oleh aparat mulai naik di media massa, tidak jarang kita mendapati istilah “oknum”. Pada kebanyakan kasus, istilah tersebut digunakan sebagai strategi komunikasi institusi untuk menegaskan pemisahan antara tindakan pelanggaran seseorang dengan lembaga yang diwakilinya. Tidak jarang masyarakat mendapati penggunaan istilah “oknum” sebagai upaya untuk mengurangi beban tanggung jawab, walaupun pada beberapa kasus hal tersebut juga tidak sepenuhnya salah. Dalam artian bahwa tindakan yang dilakukan seseorang belum tentu dan tidak selalu merepresentasikan institusi tempatnya beraktivitas atau bekerja.

Kita bisa ambil contoh misalnya seorang pekerja di suatu pabrik yang kemudian melakukan aksi pencurian atas niat dan kepentingannya sendiri. Pabrik tempat pekerja tersebut tidak memberikan dukungan atau mendapatkan insentif dalam bentuk apa pun untuk tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini agaknya kurang tepat jika kita kemudian menganggap tindakan yang dilakukan pekerja tersebut mewakili nilai-nilai yang diusung oleh pabrik tempatnya bekerja.

Lalu bagaimana dengan kasus kekerasan yang melibatkan anggota aparat kepolisian dan tentara sebagai pelaku? Apakah kita masih bisa menilainya sebagai semata inisiatif oknum yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan lembaga di mana mereka berafiliasi? Dalam hal ini, kasusnya memang tidak lagi bisa dibaca secara sederhana layaknya contoh pekerja pabrik tadi. Pertama, anggota kepolisian dan tentara memiliki kewenangan yang jauh melebihi masyarakat sipil secara umum, misalnya untuk kepemilikan senjata api.

Selain itu, polisi dan tentara pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk memastikan terlaksananya aturan hukum yang diberlakukan oleh negara. Posisi inilah yang kemudian sering menjadi pintu masuk terjadinya pelanggaran oleh aparat anggota kepolisian atau tentara. Wewenang besar dan penting yang dimiliki dan dijalankan oleh lembaga penegak hukum membentuk persepsi bahwa mereka berbeda dari masyarakat sipil dan berada di atas aturan hukum, atau bahkan imun terhadap aturan hukum.

Menurut aturan perundang-undangan, sejatinya aparat penegak hukum diikat oleh kekuasaan peradilan umum dan kode etik sebagai konsekuensi logis dari posisi sebagai warga negara dan profesi yang mereka jalani. Namun sekali lagi, kita sebagai masyarakat sipil tidak sekali dua kali dibuat kecewa dengan putusan peradilan yang diterima oleh aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran. Dan pada kenyataannya memang tidak banyak yang bisa dilakukan masyarakat sipil untuk mengubah putusan peradilan, terutama yang berkenaan dengan pelanggaran kode etik, yang salah satunya disebabkan oleh eksklusivitas dari lembaga itu sendiri.

Pada kasus Ferdy Sambo misalnya, perjalanan pengungkapan dan pemeriksaan kasus akhirnya membuka banyak hal yang berkaitan dengan relasi-relasi dan pekerjaan-pekerjaan kotor yang terjadi dalam struktur lembaga kepolisian. Di samping kasus pembunuhan yang mengganjarnya dengan pencopotan tidak terhormat, Sambo terlibat dalam jaringan perjudian masif yang membuatnya dikenal sebagai “Kaisar Sambo”–nama yang mengimplikasikan signifikansi peranannya dalam lingkaran tersebut. Sekali lagi, bukan hal yang baru dalam kepala dan pengetahuan masyarakat sipil, tetapi semakin menekankan kembali kemelut (baca: kebusukan) dalam lembaga penegak hukum tersebut.

Pada titik ini kita mulai perlu menanyakan kembali sejauh mana suatu pelanggaran yang dilakukan aparat sebagai “tindakan oknum”. Sebab pada beberapa titik, tindakan tersebut dimungkinkan dan didukung oleh sistem yang berlaku dalam lembaga penegak hukum. Tentara di masa Orde Baru bisa masuk ke ranah publik karena dimungkinkan oleh sistem dwifungsi ABRI. Tindak kekerasan yang dilakukan tentara saat ini pada beberapa titik dibenarkan oleh adanya kebijakan Daerah Operasi Militer dan ampas-ampas militerisme yang bercokol selama Orde Baru. Masih sering terdengar polisi lalu lintas meminta uang kepada masyarakat karena bercokolnya budaya retribusi alih-alih edukasi dan penyadaran. Polisi bisa terjerat suatu kasus dan melakukan upaya pengaburan barang bukti karena kuasa dan relasi yang diperoleh dari orang tua atau kerabatnya yang juga berada di jajaran kepolisian, dibentuknya sendiri, dan pada gilirannya diwariskan kepada anak atau anggota keluarga lain yang masuk dalam jaringan tersebut.

Semua ini menunjukkan adanya sistem yang mendukung perilaku pelanggaran oleh anggota lembaga penegak hukum, membolehkan dan bahkan mendorong terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Menutup tulisan ini, saya sejujurnya tidak ingin muluk-muluk untuk mengatakan bahwa kita sebagai masyarakat sipil bisa banyak bertindak untuk mengubah situasi yang ada. Sebab jaringan yang sudah terjalin dengan begitu rapat, sistem yang sudah bercokol sedemikian gagah bukanlah hal yang bisa diubah dengan mudah.

--

--

No responses yet