Peringatan Darurat: Dari Demokrasi Terpimpin Sampai Reformasi Dikorupsi

Dhianita Kusuma Pertiwi
5 min readAug 25, 2024

--

Sudah barang tentu tidak ada kabar lain yang lebih menyita perhatian masyarakat Indonesia pada pekan ini selain pengabaian DPR RI atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan pemilihan kepala daerah 2024.

Pemberitaan dan penjelasan terkait kronologi kasus, respons publik dalam bentuk kiriman gambar atau video ‘Peringatan Darurat’; peretasan sejumlah situs resmi lembaga pemerintah; aksi demonstrasi di Gedung DPR RI dan beberapa kota di Indonesia; sampai cuitan-cuitan terkait Mulyono, roti seharga 400 ribu Rupiah, sampai bau ketiak; semuanya bisa dengan mudah ditelusuri di berbagai situs dan kanal.

Pada saat yang sama, gonjang ganjing tersebut mengingatkan saya pada salah satu buku yang sempat saya baca tahun lalu, yakni The Living Presidency: An Originalist Argument against Its Ever-Expanding Powers yang ditulis Saikrishna Bangalore Prakash. Buku tersebut menurut saya dapat dikatakan sebagai sebuah alarm pengingat akan semakin meluasnya kekuasaan presiden yang ditawarkan melalui kacamata originalisme. Originalisme merupakan salah satu pendekatan interpretasi teks-teks hukum, termasuk Undang-Undang Dasar, yang mengedepankan gagasan bahwa naskah perundang-undangan mesti dipahami berdasarkan makna publik orisinalnya ketika aturan tersebut berlaku.

Meski The Living Presidency mengkaji sistem politik Amerika Serikat, terdapat banyak elemen dalam buku tersebut yang menurut saya dapat dijadikan kerangka pembacaan atas fenomena yang terjadi di Indonesia.

Dalam perjalanan Amerika Serikat–yang tentunya jauh lebih panjang daripada Indonesia–sebagai sebuah negara, Prakash mendapati bahwa interpretasi originalis terhadap Undang-Undang Dasar (1789) dapat membatasi “posisi presidensi yang hidup saat ini” (“living presidency”) yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Dasar yang hidup saat ini (living Constitution).

Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya mempromosikan agenda-agenda kebijakan dan personalnya, presiden akan cenderung untuk terus mendorong batas-batas wewenangnya. Selain itu, presiden juga akan meraup kekuasaan baru untuk mempromosikan kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian, meski kerap dianggap (baca: diagungkan) sebagai asas dasar pembentukan negara, Undang-Undang Dasar sebenarnya rentan terhadap amandemen informal yang secara sistematis menguntungkan lembaga eksekutif dan memastikan tidak ada kendala bagi kekuasaan lembaga eksekutif.

Amandemen informal itulah yang membuka jalan kudeta konstitusional, strategi yang sekiranya lebih aman dibandingkan aksi kudeta fisik sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah sejumlah negara. Kecil kemungkinan kudeta fisik terjadi di Amerika Serikat dewasa ini karena institusi perwakilan rakyat tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi, dan masyarakat dengan kondisi yang ada saat ini juga tidak akan sanggup menghadapi kekacauan yang disebabkan oleh kudeta fisik.

Meski demikian, kudeta konstitusional yang sifatnya merayap–alih-alih meledak–inilah yang perlu diantisipasi karena tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Keberhasilan itu disebabkan oleh perubahan yang sifatnya bertahap, tidak kentara, dan terkadang tidak disadari dampak bahayanya terhadap konstitusi.

Ketidaksadaran atas ancaman terhadap konstitusi juga barangkali disebabkan oleh jargon-jargon yang selama ini menenangkan benak kita sebagai masyarakat. Kita meyakini bahwa presiden tidak bisa membuat aturan tanpa persetujuan dari lembaga legislatif, sebagaimana tertulis hitam di atas putih dan diajarkan di sekolah.

Lebih lanjut, Prakash juga mengingatkan bahwa isu yang ia soroti memiliki akar yang panjang dan dalam. Tentu Donald Trump, yang menjabat sebagai presiden saat The Living Presidency diterbitkan, telah diakui secara luas dan jelas sebagai sosok yang mencemari konstitusi, sebenarnya presiden-presiden sebelumnya–terlepas dari partai yang mengusungnya–telah berkontribusi pada meningkatnya kekuasaan posisi presiden saat ini.

Bahkan Prakash tidak ragu untuk membeberkan ‘dosa’ Barack Obama yang sempat mendeklarasikan perang dengan Libya dan mengangkangi Kongres melalui interpretasi atas Konstitusi negara yang problematis. Tindakan yang dilakukan Obama mengagetkan banyak pihak mengingat latar belakangnya sebagai profesor di bidang hukum konstitusional dan sepak terjangnya meniti karier politik yang bisa dibilang penuh perjuangan dari bawah. Selain Obama, tentu tidak ada yang mempertanyakan tindakan sewenang-wenang George W. Bush yang mengklaim haknya sebagai presiden untuk mengesampingkan hukum yang berlaku.

Beberapa fenomena dalam perjalanan Amerika Serikat yang disoroti Prakash dan coba saya terangkan kembali dalam tulisan ini barangkali terkesan familiar bagi kita, terutama dengan apa yang baru saja terjadi beberapa hari lalu. Meski demikian, sebagaimana ditegaskan Prakash, memperluas dan memperkuat kekuasaan presiden merupakan suatu proses panjang.

Sekali lagi, kita tidak bisa menyamakan begitu saja sejarah dan kondisi politik di Amerika Serikat dan di Indonesia karena keduanya jelas-jelas berbeda, termasuk sistem partai politik bipartisan yang tidak berlaku di Indonesia. Namun, dengan menerapkan pendekatan yang digunakan Prakash kita juga bisa mendapati kudeta konstitusional yang merayap sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Terbentuknya Demokrasi Terpimpin pada 1959 sebagai pengganti Republik Indonesia Serikat (1945–1949) dan Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional (1949–1957) dapat dibaca sebagai salah satu kasus awal di Indonesia bagaimana presiden mencokolkan kekuasaannya melalui amandemen informal atas peraturan perundang-undangan.

Salah satu prinsip Demokrasi Terpimpin adalah penyederhanaan kepartaian dengan mengurangi jumlah partai politik. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 dinyatakan tidak berlaku lagi karena Sukarno menganggap banyaknya partai politik tidak berhasil mencapai stabilitas politik. Beberapa organisasi dibubarkan oleh Sukarno, salah satunya adalah Masyumi.

Pemerintahan Demokrasi Terpimpin juga diwarnai dengan upaya perluasan kewenangan presiden melalui usulan MPRS agar Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Usulan tersebut kemudian disahkan melalui TAP MPRS No. III/MPRS/1963, tetapi tidak menjadi kenyataan karena kudeta yang dilakukan oleh Soeharto.

Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, berbagai kecurangan dilakukan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan dan militerisme. Salah satu di antaranya adalah penetapan kebijakan fusi politik yang menjadikan Pemilu 1977 sampai 1997 hanya menjadi lahan pertarungan tiga partai, termasuk Golkar yang selalu memenangkan pemilu. Belum lagi pelanggaran HAM massal yang digencarkan melalui justifikasi menjaga kesaktian Pancasila.

Pembacaan lebih mendalam diperlukan untuk membeberkan sejauh mana kudeta konstitusional terjadi pascakejatuhan Orde Baru. Namun, selama sepuluh tahun presidensi yang hidup saat ini kita telah menyaksikan berbagai upaya untuk ‘menggoyang’ konstitusi yang bertujuan untuk memperlancar implementasi kebijakan dan agenda personal.

Pemerintahan yang hidup saat ini diwarnai dengan pelemahan kemandirian lembaga pemberantasan korupsi, wacana penundaan pemilu dan periode jabatan presiden tiga tahun, sampai intervensi pada keputusan MK terkait usia capres-cawapres menjelang pemilu presiden, dan tentunya yang baru saja terjadi pekan ini, yakni adanya ‘perintah istana’ untuk mengintervensi peraturan perundang-undangan terkait syarat pencalonan pemilihan kepala daerah. Dua tindakan yang terakhir terjadi pada penghujung periode presidensi sebagai bagian dari upaya melanggengkan trah kekuasaannya.

Penjelasan singkat dan jauh dari kata mendalam ini paling tidak memberikan kita gambaran bahwa fenomena yang terjadi dan menyita perhatian kita semua pada pekan ini bukanlah satu hal baru dalam perjalanan Indonesia. Kudeta terus merayap dengan atau tanpa kita sadari, dan agaknya Peringatan Darurat sudah semestinya kita siarkan setiap hari dalam kepala kita masing-masing.

--

--

No responses yet