Prabowo, Kopassus dan Timor Timur: Sejarah Tersembunyi dari Perang Non Konvensional Modern Indonesia
Kekerasan milisi yang terjadi pada masa referendum kemerdekaan Timor Timur pada Agustus 1999 telah direncanakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahkan semenjak April 1999, saat sekelompok preman pertama kali muncul di media internasional. Upaya untuk mencari jejak organisasi tersebut dimulai semenjak tahun 1998, sebelum gagasan referendum dikeluarkan oleh Presiden Jusuf Habibie pada Januari 1999. Bentuk milisi yang baru dirancang pada awal 1990-an dan memiliki keterkaitan dengan nama Prabowo Subianto Djojohadikusumo, Jenderal Komando Pasukan Khusus, Kopassus, yang merupakan menantu dari diktator dan penguasa Orde Baru, Jenderal Suharto. Kapan tepatnya Prabowo memperkenalkan untuk pertama kali gagasannya tentang bentuk milisi baru ini di depan khalayak?
Seorang mantan teman satu kelas Prabowo menyampaikan bahwa ia mulai memikirkan bentuk milisi tersebut pada 1986/87 sebagai pelajar perwira di Sekolah Staf dan Komando TNI-Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Nama dari teman satu kelas Prabowo tersebut tentu saja akan dirahasiakan dalam tulisan ini dan tidak ada bukti material untuk memperkuat pernyataannya. Di samping itu, ingatannya tentang peristiwa tersebut tidak lagi jelas setelah dua puluh tahun berlalu sehingga banyak kekurangan pada hal-hal rinci.
Namun, peristiwa tersebut, di mana Prabowo untuk pertama kalinya menerapkan gagasan milisinya di Timor Timur yang masih seumur jagung, telah menjadi bahan kajian militer dan kemungkinan masih disimpan arsipnya di sekolah tempat Prabowo mendapatkan pendidikan.
Milisi
Penerapan milisi dan bentuk kekuatan proksi merupakan hal yang lumrah dalam sejarah modern militer Indonesia, dirangkum sebagai berikut oleh Geoffrey Robinson:
Milisi telah menjadi elemen sentral dalam strategi penumpasan pemberontakan dan kontra-intelijen Indonesia paling tidak semenjak 1950-an, dan telah dimobilisasi di semua operasi penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh aparat Indonesia. Walaupun dijustifikasi dengan doktrin militer sebagai ‘upaya perlawanan total oleh masyarakat’, alasan utama digunakannya milisi adalah karena murah dan efektif, dapat membantu membentuk ikatan kesetiaan dengan pasukan tentara yang ditempatkan, dan memberikan dasar penolakan yang masuk akal atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tentara.[1]
Milisi sebagai elemen pertempuran penumpasan pemberontakan tidak hanya dimanfaatkan oleh tentara Indonesia, namun juga merupakan sub-sektor dari peperangan non-konvensional yang telah distandardisasi oleh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Militer Indonesia mendapatkan pengaruh dari Angkatan Bersenjata AS sejak awal 1960-an, saat instruktor Amerika menjadikan Seskoad sebagai pusat pendidikan Angkatan Darat Indonesia guna membentuk pasukan penumpasan pemberontakan untuk menindas ancaman Komunis di Indonesia pada saat itu. US Army Field Manual FM 100 menjadi standar bagi operasi militer Indonesia, termasuk operasi penumpasan pemberontakan.
Prabowo Subianto Muda dan Timor Timur
Pada pertengahan 1986, setelah penempatan pertama sebagai pasukan AD di Timor Timur, Prabowo Subianto Djojohadikusumo, ditugaskan untuk menghadiri Kursus Lanjutan Perwira (Suslapa) di Seskoad Bandung. Selama kursus yang berlangsung selama sembilan bulan tersebut, ia sering tidak hadir di kelas untuk melakukan tugas penelitian Seskoad yang menurutnya akan mengakhiri permasalahan Timor Timur dalam sekali waktu dan untuk selama-lamanya. Penelitiannya pada saat itu tidak dianggap terlalu penting bagi sekolah dan relevansinya dengan peperangan non-konvensional Indonesia masih tidak jelas. Namun, gagasannya tersebut jelas merupakan langkah penting pada pendekatan milisi oleh Prabowo dalam kerangka peperangan non-konvensional dan penumpasan pemberontakan.
Saat menjadi siswa di Sekolah Staf dan Komando, Letkol Prabowo Subianto, 34 tahun, telah menghabiskan 12 tahun awal karier militernya dengan Kopassadha,[3] Pasukan Khusus TNI, yang pada Desember 1986 berganti nama menjadi Kopassus.[4] Selama tergabung dalam pasukan tersebut, ia mendapatkan banyak pengalaman dalam penugasan pertempuran di Timor Timur yang dilakukannya sebanyak empat kali, pertama kali pada Maret 1976, “sekitar tiga bulan setelah separuh dari pulau tersebut ditinggalkan oleh Portugis dan dikuasai oleh Indonesia.”[5]
Sebagai seorang perwira muda yang kariernya menanjak dengan cepat, Prabowo memiliki sejumlah keuntungan: ia lahir di keluarga diplomat, besar di Eropa, mendapatkan pendidikan Barat, dan merupakan anak dari salah satu pebisnis paling berpengaruh di Indonesia. DI samping itu, ia juga mendapatkan pengakuan internasional, bahkan di luar lingkaran militer. Ia dianggap sebagai anak emas dari generasi pasukan militer professional Indonesia dengan visi luas dan dipercaya memegang masa depan militer Indonesia, bahkan sebagai Panglima TNI di masa depan.
Pulang ke Indonesia setelah menghabiskan masa mudanya di Eropa, dan terlepas dari pola asuhan yang diterimanya, Prabowo memutuskan untuk masuk ke jalur karier militer. Ia mendaftar ke Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah pada 1969, dengan kepribadiannya yang sangat berbeda dari pola pikir kolektif para kolega dan komandannya, pandangannya yang luas, dan keahlian berbicara dalam beberapa bahasa. Kemampuannya itu membuatnya melawan sistem pendisiplinan akademi yang sangat ketat. Ia lulus dari akademi pada 1974, satu tahun terlambat karena pelanggaran disipliner.[6] Oleh karena itu, ia memulai kariernya sebagai pasukan tentara satu tahun terlambat daripada sebagian besar kawannya. Terlepas dari hal tersebut, ia berhasil menyelip semua mantan teman sekelasnya di akademi saat masuk Seskoad. Ia dikenal sebagai seorang komandan yang ambisius, ganas, dan bahkan brutal, yang turut berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kekerasan yang dilaporkan dilakukan oleh Kopassandha pada dekade pertama kependudukan militer di Timor Timur. Atasannya tentu telah menyadari hal tersebut dan menempatkannya di Kostrad, Komando Strategis Angkatan Darat, yang menjadi batu pijakan penting untuk mengantarkan karier awal tentara muda menuju pangkat teratas komando militer. Saat menjadi siswa di Seskoad, ia telah menjalani penugasan sebagai Komandan Deputi Batalyon Infanteri Komando Cadangan Angkatan Darat 328 Kujang di mana ia melakukan pertempuran di Timor Timur, dengan stasiun komando di Cikajang, Jawa Barat. Prabowo memahami secara baik situasi di Timor Timur dan memiliki pengalaman menumpas gerakan perlawanan Fretelin di Jawa Barat. Dengan pengetahuan dan pengalaman tersebut, ia menawarkan sebuah solusi dalam bentuk konsep milisi yang berdasarkan pada gagasan ‘masyarakat Timor Timur dibutuhkan untuk melawan Timor Timur’. Konsep tersebut sesungguhnya bukan hal yang baru atau revolusioner, namun memberikan pandangan lain untuk strategi milisia yang telah menjadi kebiasaan bagi militer Indonesia dan selama ini diterima oleh atasannya yang konservatif.
Model Peperangan Non-Konvensional Amerika Serikat
Prabowo masuk Seskoad saat Pasukan Khusus mendapatkan perhatian khusus dalam strategi peperangan Amerika Serikat setelah dikesampingkan selama hampir satu dekade.
Di bawah kepemimpinan Presiden Reagan, posisi Pasukan Khusus di Angkatan Darat Amerika Serikat dibangkitkan kembali dan strategi penumpasan pemberontakan sebagai lawan dari peperangan konvensional pun dibentuk kembali. Nunn-Cohen Amendment pada tahun 1987 membentuk SOCOM, Komando Operasi Khusus Amerika Serikat, “yang mengendalikan semua operasi khusus Angkatan Darat”[7] dan “membentuk lima cabang de facto dari pasukan bersenjata Amerika Serikat yang mampu berdiri bahu membahu dengan unit komando lain dengan besar pembiayaan yang sama.”[8] Komando Operasi Khusus 1 di benteng Bragg diaktifkan pada tahun yang sama, berbarengan dengan uji pertama Pasukan Khusus baru yang diterapkan pada intervensi militer ‘Operation Just Cause’ di Panama pada Desember 1989. Operasi tersebut berhasil menjatuhkan rezim dictator Manuel Noriega.[9]
Tugas utama dari Pasukan Khusus di tahun 1980-an antara lain memberikan dukungan rahasia untuk pemberontakan yang terjadi di Afghanistan, Angola, Kamboja, dan Nikaragua, di mana “Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency–CIA), dengan melibatkan personel operasi khusus, mengarahkan sebagian besar kerja dari operasi tersebut” […]. Reagan menggunakan bantuan dukungan dan penasehat AS dari Badan Intelijen Pusat dan organisasi lain untuk meningkatkan efektivitas Contras. Dengan bantuan dukungan, Contras dapat menarik lebih banyak orang untuk melakukan konfrontasi terhadap pasukan bersenjata Sandinista pada operasi lanjutan”.[10] Dukungan rahasia terbukti efektif dalam menggerakkan keseimbangan militer sebagai keuntungan bagi kelompok pemberontak yang didukung oleh Amerika Serikat. Hal tersebut melibatkan sejumlah bentuk dukungan, antara lain penyediaan senjata dan amunisi, selain pelatihan militer bagi Contras yang diberikan oleh Pasukan Khusus AS. Untuk hal ini, anggotanya harus memiliki ‘kemampuan tidak langsung’ seperti ‘komunikasi lintas budaya dan kemampuan berbicara dalam bahasa asing.’
Contras memanfaatkan orang-orang yang berpendidikan rendah dan tidak mahir berbicara dalam bahasa Inggris. Kebutuhan untuk memahami Contras juga merupakan aset yang sangat berharga.[11]
Kategori militer untuk jenis peperangan ini, yakni Peperangan Non-Konvensional, bukanlah hal yang baru pada saat itu, namun merupakan perkembangan dari strategi penumpasan pemberontakan pada tahun 1960-an, berdasarkan US Army Field Manual FM 100. Angkatan Darat Amerika Serikat telah memformulasikan strategi untuk ‘memenangkan hati dan pikiran’ dari pasukan gerilya musuh menggunakan operasi psikologis dan mengajarkannya pada Angkatan Darat Indonesia semenjak 1961 saat Seskoad menjadi pusat dukungan pelatihan Angkatan Darat AS bagi pasukan Indonesia. Prabowo pada 1986 semestinya telah memiliki pengetahuan tentang strategi penumpasan pemberontakan dan peperangan non-konvensional Amerika Serikat dan pendekatan yang dilakukan untuk Contras dan menerapkannya dalam penelitian yang dilakukannya.
Peperangan non-konvensional didefinisikan dalam Oxford Essential Dictionary of the US Military sebagai “tindakan militer, paramiliter, politik, psikologis, dan sipil yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan untuk menumpas pemberontakan.”[12] Peperangan non-konvensional dibentuk sebagai reaksi militer negara terhadap pasukan gerilya dalam konteks dekolonisasi Perang Dingin setelah Perang Dunia Kedua. Dalam istilah militer, peperangan non-konvensional merupakan elemen taktis dan strategis dari peperangan pemberantasan gerilya dan pemberantasan pemberontakan, dan dikenal oleh dunia Barat sebagai bentuk perang melawan gerakan revolusioner. Perang memberantas pasukan gerilya yang menerapkan strategi pemberantasan pemberontakan untuk pertama kali dilakukan saat Malayan Emergency yang berlangsung untuk melawan Partai Komunis Malaya pada 1948. Konflik selanjutnya menerapkan bentuk peperangan perlawanan pemberontakan yang telah disempurnakan, dikembangkan dan diterapkan oleh pasukan kolonial Perancis di kawasan Indocina sejak 1949. Menyadari kegagalan menumpas gerakan gerilya Komunis dengan menggunakan peperangan konvensional, mereka melatih dan mendidik para anggota suku minoritas, kelompok agama, dan bahkan kriminal dan bajak laut di Teluk Tonkin untuk menjadi agen rahasia, penyabot, dan teknisi radio dalam unit-unit maquis, yang diberi tugas untuk masuk ke daerah yang dikendalikan Komunis sebagai upaya pemberantasan gerakan gerilya. Maquis merupakan bentuk cerminan dari unit komando Komunis dan menerapkan taktik yang sama dengan musuh mereka.[13] Respons pasukan kolonial Prancis terhadap gerakan gerilya komunis di Indocina dikenal sebagai peperangan pemberantasan pemberontakan, sebuah konsep baru dari peperangan politis untuk membasmi perlawanan, pemberontakan, dan subversi.[14] Semenjak saat itu, Peperangan Non-Konvensional berkembang menjadi tugas spesial bagi Pasukan Khusus di seluruh dunia. Peperangan Non-Konvensional didefinisikan oleh NATO pada saat itu sebagai:
sebuah spektrum yang luas dari operasi militer dan paramiliter yang dilakukan di kawasan yang dikuasai dan dikendalikan oleh musuh atau sensitif secara politik. Peperangan Non-Konvensional meliputi pemberantasan gerilya, pendudukan dan pelarian (evasion and escape–E&E), subversi, sabotase, misi aksi langsung, dan bentuk-bentuk operasi lain yang bersifat tidak terlihat atau rahasia. Aspek Peperangan Non-Konvensional yang saling berkaitan dapat dilakukan secara tunggal atau kolektif oleh masyarakat lokal, biasanya diberi dukungan dan arahan pada tingkat tertentu oleh sumber eksternal selama kondisi perang atau damai.[15]
Definisi umum untuk Pasukan Khusus Angkatan Udara Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
Selama periode perang, APSOC (Air Force Special Operations Command) dapat diberi tugas memberikan dukungan secara langsung kepada gerakan perlawanan atau gerilya dari udara atau dari darat. Hal tersebut dapat dilakukan melalui unit operasi infiltrasi seperti The Rangers, tim US Army ODA (Operational Detachment Alpha atau ‘Alpha Team’), atau SEAL (Sea-Air-Land) ke area konflik dengan tujuan untuk melatih, mempersenjatai, dan memberikan pengarahan pada pasukan lokal. AFSOC juga melakukan sejumlah operasi ofensif langsung yang bersifat rahasia pada atau di atas kawasan konflik.[16]
Angkatan Darat Indonesia mengembangkan strategi peperangan pemberantasan pemberontakannya sendiri setelah Indonesia menjadi negara merdeka dengan membasmi sejumlah gerakan separatis di seluruh kawasan Indonesia pada 1950-an. Setelah berhasil melawan pasukan kolonial Belanda selama empat tahun perang gerilya, misi baru dari pasukan gerilya angkatan darat adalah memerangi gerakan separatis, yang kemudian berkembang menjadi pasukan pemberantasan gerilya dan pemberontakan. Perubahan total pada misi tersebut diformulasikan oleh salah satu pemikir strategis angkatan darat Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution dalam bukunya Pokok-Pokok Gerilja [17], di mana peperangan gerilya dan peperangan anti-gerilya dianggap sebagai sebuah pendekatan militer yang sama. Pada awal 1960-an, Angkatan Darat Indonesia mendapatkan pengaruh dari Angkatan Darat Amerika Serikat dan strategi pemberantasan pemberontakannya, sebagaimana didefinisikasn dalam US Army Field Manual FM 100. Di bawah sokongan dana AS, pasukan Indonesia membentuk Baret Hijau dalam bentuk Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1961, namun pasukan Baret Merah (RPKAD) yang akhirnya dipilih untuk menjadi Pasukan Khusus yang dirancang untuk peperangan pemberantasan pemberontakan. Pusdiklat RPKAD berlokasi di Batujajar, dekat Bandung, yang dikhususkan untuk melatih anggota Pasukan Khusus terkait taktik dan teknik pemberantasan pemberontakan dan peperangan non-konvesional.
Prabowo dan Pasukan Khusus Indonesia
Identitas militer Prabowo adalah dikenal sebagai perwira Pasukan Khusus. Pada saat ia menjadi siswa Seskoad, Pasukan Khusus telah menjadi tuntutan di lingkaran militer internasional. Alasan tersebut cukup baginya untuk mengikuti kursus lanjutan tersebut dan mengungguli kawan-kawannya.
Setelah lulus dari Akademi Militer pada 1974, Prabowo menjadi bagian dari Grup I Pasukan Khusus Kopassandha, unit parasutis yang melakukan tugas peperangan khusus di Timor Timur. Ia dipilih menjadi anggota dari salah satu unit peperangan pemberontakan, Nanggala 28, dan tinggal di Timor Timur selama tiga tahun (1977–80). Tugas utama dari unit tersebut adalah membunuh presiden Fretelin dan Menteri Luar Negeri Nicolao Dos Reis Lobato, tetapi rencana tersebut gagal dilaksanakan. Setelah penugasan pertama, Prabowo masuk dalam kelompok yang terdiri dari dua puluh pasukan Kopassandha terpilih[18] yang diundang untuk menghadiri kuliah anti terorisme selama enam minggu di Pasukan Polisi Khusus bergengsi di Jerman, GSG 9, sebagai peserta Indonesia pertama. Karena kurikulum pelatihan GSG 9 masih dirahasiakan, tidak bisa dipastikan sejauh mana pelatihan Jerman tersebut berkontribusi terhadap misi Prabowo selanjutnya sebagai bagian dari Pasukan Khusus di Timor Timur. Sebagai sebuah unit pasukan polisi, dan bukan pasukan militer, GSG 9 secara khusus dilatih untuk membasmi ancaman terorisme dengan melakukan operasi anti-teroris di Jerman untuk melindungi masyarakat Jerman dan kepentingan luar negeri dari serangan teroris dalam skala tertentu. GSG 9 bukanlah pasukan yang disiapkan untuk operasi peperangan.[19] Namun pelatihan di Jerman merupakan hal yang penting untuk pembentukan Detasemen-81 (Den-81) pada 30 Juni 1982 dengan Mayor Luhut B. Panjaitan sebagai komandan pertama dan Kapten Prabowo Subianto sebagai komandan deputi pertama, keduanya turut mengikuti pelatihan anti-teror di GSG 9.[20]
Partisipasi Prabowo sebagai peserta Indonesia pertama dalam pelatihan tersebut menjadikannya seorang selebriti di lingkaran militer Jerman dan Indonesia dan meningkatkan posisinya sebagai seorang tentara. Pengetahuan praktik yang diperolehnya di Jerman tentu membantu penelitiannya, namun untuk tingkatan yang bersifat lebih militer, kemungkinan ketertarikannya dengan perkembangan militer AS-lah yang membantunya menyelesaikan proyek tersebut, dengan mengadaptasi pendekatan peperangan pemberantasan pemberontakan terbaru Amerika Serikat untuk diterapkan di Pasukan Khusus Indonesia.[21]
Kehadiran Prabowo di Seskoad bukan hanya berkaitan dengan perkembangan karier formalnya, di mana setiap perwira harus menjadi siswa di Seskoad untuk menerima persiapan formal sebelum menjadi perwira penuh dan naik pangkat ke posisi Kolonel dan Jenderal. Hal tersebut juga berhubungan dengan perdebatan fraksional dalam tubuh komando angkatan darat.
Reformasi Angkatan Darat besar-besaran yang terjadi pada 1983–1985 meliputi perombakan Pasukan Khusus oleh Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Benjamin Leonardus (‘Benny’) Murdani (1983–88), yang juga merupakan mantan anggota Pasukan Khusus. Kekuatan personel pasukan tersebut dikurangi dari 6,000 menjadi 2,600 orang, dan lima unit tempur dipangkas menjadi dua, Grup I dan II, keduanya terdiri atas parasutis. Dengan mengikuti model Special Air Services (SAS) Inggris, Pasukan Khusus berganti nama menjadi Kopassus pada 26 Desember 1986[22] dan menjadi sebuah pasukan yang lebih efisien, terlatih dengan baik, dan kemampuan yang lebih mumpuni. Jumlah personel yang dipangkas dikompensasi dengan kehandalan dan kualifikasi dari anggotanya. Sebagai konsekuensinya, bekas Grup IV, Sandhi Yudha, yang dikhususkan untuk Peperangan Non-Konvensional, dihilangkan dan fungsinya diintegrasikan dengan pusat pelatihan Kopassus di Batujajar dekat Bandung, Jawa Barat.[23]
Perombakan Kopassus menempatkan loyalis Murdani di posisi atas Pasukan Khusus, sebuah pergerakan yang berlawanan dengan kepentingan Prabowo. Perpindahannya ke Kostrad pada 1985 merupakan gerakan para atasannya untuk menghindarkannya dari Murdani, dan pergerakan Murdani untuk melepaskan Prabowo dari basis kekuatan personalnya, Kopassandha. Kemudian pada Maret 1993, saat Murdani akhirnya dilepaskan dari semua posisi penting di pasukan militer setelah kehilangan kepercayaan presiden, Prabowo kembali masuk ke Kopassus sebagai komandan pusat pelatihan Batujajar. Ia tentu saja menyimpan dendam pribadi saat masuk Seskoad, dan motivasinya untuk membuktikan bahwa penolakan atas strategi peperangan pemberantasan pemberontakan oleh Murdani sebagai tindakan yang salah pun semakin menggebu.
Pasukan Khusus Angkatan Darat dan Peperangan Non-Konvensional di Timor Timur
Kopassus dan peperangan non-konvensional merupakan dua sisi mata uang, dan sejarah dari kependudukan militer di Timor Timur selalu berhubungan dengan Pasukan Khusus. Prabowo muncul sebagai salah satu pemain kunci dan menempatkan diri di sejarah militer Indonesia dalam peperangan di Timor Timur.
Serangan militer di Timor Timur pada 1974/75 dilakukan sebagai misi intelijen dan Pasukan Khusus. Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) di Kementerian Pertahanan, dipimpin oleh Jenderal Murdani pada 1974, menerapkan intelijen rahasia dan peperangan non-konvensional untuk mengeksekusi dan menutupi aneksasi militer Timor Timur: “Menurut pendapatnya [Murdani], tindakan terbaik adalah dengan melakukan infiltrasi oleh beberapa sukarelawan ke Timor Timur untuk menstimulasi perlawanan lokal. Berdasarkan inisiatifnya, ia menempatkan Kolonel Dading Kalbuadi dan memaparkan rencananya untuk memberangkatkan sekelompok kecil sukarelawan untuk melewati perbatasan dan mendampingi para masyarakat Timor Timur yang ingin berintegrasi dengan Indonesia”.[24] Misi tersebut dipercayakan kepada Kopassandha, yang menginisiasi kode operasi bernama Operasi Poincana, melibatkan komando Sandhi Yudha, yang diberi misi untuk menempati basis potensial Fretelin di selatan Dili. Sementara itu, sejumlah sukarelawan Timor dibagi ke dalam tiga kelompok: Susi, Tuti, dan Umi, semuanya merupakan nama perempuan Indonesia dan masing-masing dipimpin oleh komandan Indonesia.[25]
Dua partai politik yang baru dibentuk di Timor Timur, UDT dan Apodeti, juga dijadikan alat oleh intelijen Indonesia untuk melawan kelompok Fretelin yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Timor Timur Portugis. Operasi militer untuk menguasai Timor Timur, Operasi Komodo, dilakukan sebagai operasi intelijen militer yang dipimpin oleh Jenderal Yoga Sugama, kepala Badan Koordinator Intelijen, dan bertindak secara umum dengan pasukan Kopassandha. Unit teritori Kostrad, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat hanya terbatas pada peran bantuan.[26]
Tubuh milisi Timor Timur di bawah komando militer selalu menjadi aspek utama dalam kependudukan militer. Di antaranya adalah Ratih (rakyat terlatih), yang beranggotakan pasukan wajib militer dan ‘sukarelawan’. “[Mereka] adalah unit bantuan lokal yang dirancang untuk membantu pasukan bersenjata untuk mendeteksi dan memberantas musuh.[27] Tetapi semua upaya tersebut gagal untuk mencapai tujuan mereka, dan hal tersebut tentunya meninggalkan impresi mendalam bagi Prabowo. Sifat umum dari operasi pemberantasan pemberontakan awal di Indonesia melibatkan dukungan dari pasukan lokal dan tidak tergabung sebagai pasukan gerilya seperti pada peperangan non-konvensional. Perubahan parameter tersebut menjadi kontribusi personal Prabowo terhadap Peperangan Non-Konvensional.
Pada Maret 1983, komandan militer Kolonel Purwanto menandatangani persetujuan gencatan senjata dengan pemimpin Frente Revolucionária de Timor Timur Independente, José Alexandre ‘Xanana’ Gusmao. Tetapi perjanjian tersebut hanya berlaku sampai 8 Agustus, saat militer Indonesia menginisiasi operasi lain, yakni Operasi Persatuan, yang untuk pertama kalinya memanfaatkan kombatan Timor Timur. Dua batalion yang ditempelkan ke Korem Dili dibentuk, dan “merekrut tim paramiliter dengan pengetahuan dialek dan keadaan tanah lokal”[28] dan digunakan secara berkelanjutan.
Belum diketahui peran Prabowo secara khusus dalam pembentukan kelompok bantuan dan milisi pro-Indonesia pada saat itu, walaupun hal tersebut kemudian menjadi panggungnya. Bentuk kooptasi masyarakat lokal sebagai pasukan untuk membela Indonesia dapat ditelusuri jejaknya ke Operasi Komodo pada 1975, saat dibentuknya milisi lokal tertua, Halilintar.[29] Halilintar merupakan pasukan bantuan lokal pertama yang dibentuk setelah program pelatihan militer rahasia dilakukan di Timor Timur oleh pasukan intelijen pada saat itu, yakni Opsus. Opsus merupakan intelijen Operasi Khusus yang secara langsung melapor kepada Presiden Suharto. Pasukan Halilintar[30], dipimpin oleh Tomas Goncalves dan Joso Tavares, mendampingi pasukan Indonesia untuk memberikan dukungan di sejumlah operasi yang dilakukan oleh RPKAD dan Opsus. Pada tahun 1976, sebagian besar pasukan Halilintar ditempatkan kembali untuk membentuk basis militer formal (‘organik’) Batalion 744 dan ditempelkan di Korem Timor Timur. Halilintar dibubarkan pada 1982. Pada akhir 1970-an, masyarakat lokal kembali digunakan untuk peran paramiliter dalam unit pertahanan lokal. Penggunaan masyarakat lokal Timor Tumor sebagai dukungan untuk pasukan militer dan keamanan menurut James Dunn, “melawan latar belakang kampanye yang kasar dan brutal terhadap masyarakat Timor Timur dengan memanfaatkan pasukan militer”[31].
Prabowo di Seskoad – Situasi Internasional pada 1986
Masuknya Portugal, bekas kekuatan kolonial Timor Timur, ke Uni Eropa pada 1986 membuat Timor Timur menjadi pembahasan di Eropa. Dalam politik domestic Portugis, bekas koloni tersebut menjadi simbol orientasi dan peran global baru dari negara tersebut. Pada 1985, diskusi resmi pertama berlangsung antara pemerintah Portugis dengan Jose Ramos Horta, perwakilan internasional dari Fretelin. Pada 25 September, setelah Resolusi PBB 37/30, yang menuntut kemerdekaan untuk Timor Timur, kontak diplomatik formal yang pertama semenjak invasi tentara di area tersebut berlangsung antara pemerintah Portugal dan Indonesia. Portugal memosisikan diri sebagai kekuatan pendorong kemerdekaan Timor Timur, sehingga menarik perhatian dunia terhadap nasib negara kecil tersebut di bawah pemerintahan Indonesia. Sebaliknya, hal tersebut memberikan tekanan bagi militer Indonesia untuk mencari solusi militer demi menjaga Timor Timur di bawah kendali militer dan menghindar dari perhatian internasional. Pada awal 1986, Timor Timur sekali lagi menjadi topik penting di politik dunia dan media internasional, menempatkan peran Indonesia sebagai kekuatan penjajah sebagai kritik khalayak dunia.[32] Pada Juli 1986, di bulan saat Prabowo masuk Seskoad, Parlemen Eropa menerbitkan mosi kritik terhadap aneksasi Indonesia atas Timor Timur.[33]
Prabowo di Seskoad
Prabowo, beberapa orang mengatakan, dikendalikan oleh keinginan untuk ‘menyelesaikan’ permasalahan Timor Timur dan meyakinkan perannya dalam sejarah dan posisinya di masa depan untuk menduduki kursi kekuasaan tertinggi.[34]
Ambisi Prabowo untuk mencapai posisi kekuatan dan pengaruh militer tertinggi menemukan panggungnya di Timor Timur. Setelah membentuk identitasnya dalam kerangka kekuatan sipil versus militer, provinsialitas Indonesia versus pengalaman internasional pribadinya dan gaya hidup Barat, pengetahuan terbatas tentang dunia yang dimiliki kawan-kawannya versus pandangannya yang luas melampaui batasan yang dibentuk tradisi militer. Prabowo tidak pernah melihat Timor Timur sebagai permasalahan militer semata, namun ia sangat paham dengan kompleksitas diplomatik yang berlangsung, sehingga ia berupaya untuk mencari solusi yang melibatkan militer dan diplomasi. Dalam ranah diplomasi, Timor Timur terus menerus mengalienasi Indonesia dari dunia, terutama dari Barat yang pada saat itu mulai menunjukkan perhatian lebih terhadap upaya perlindungan HAM. Dari sudut pandang militer, Timor Timur merupakan contoh memalukan dari ketidakmampuan angkatan darat untuk menyelesaikan permasalahan yang diserahkan kepada mereka pada tahun 1974 oleh saudara mereka, Amerika Serikat, seperti layaknya tugas memberantas Komunisme di kawasan Indonesia. Bantuan militer yang sangat banyak jumlahnya, baik dalam hal persenjataan maupun pendidikan dan pelatihan yang telah diberikan selama lebih dari satu dekade tidak mampu membantu Angkatan Darat untuk mengalahkan pemberontakan dalam skala kecil. Bagi Prabowo, tantangan pribadi yang dihadapinya cukup jelas; jika ia berhasil memecahkan masalah Timor Timur sekali dan untuk selamanya, tidak akan ada yang bisa menghentikannya untuk menduduki kursi kepemimpinan tertinggi di Indonesia. Didukung dengan hubungan dekatnya dengan keluarga pertama Suharto melalui pernikahannya dengan putri Presiden, Siti Hediati ‘Titiek’ Suharto pada 1983, semua pintu terbuka untuknya.
Faktor lain yang berkontribusi pada keberhasilannya adalah keterbukaannya untuk menunjukkan brutalitas dan sadisme yang selalu digunakannya untuk peningkatan karier militer. Kariernya menanjak dalam Pasukan Khusus Angkatan Darat karena pendekatan ambisiusnya untuk memenuhi, bahkan terlalu memenuhi tugas-tugasnya. Ambisi tersebut terkadang bukannya membuatnya terkenal namun malah mengalienasinya dari beberapa atasannya, terutama Jenderal Murdani. Penempatan Prabowo di Seskoad juga merupakan pertimbangan pendidikan oleh komando Angkatan Darat untuk meredam emosinya selama satu tahun.[35]
Milisi untuk Timor Timur — Skenario 1999 yang dibentuk pada 1986?
Prabowo mengikuti Kursus Reguler di Sekolah Staf dan Komando TNI-Angkatan Darat di Bandung, Jawa Barat, untuk tahun pelajaran 1986–1987 sebagai perwira siswa (Pasis). Kursus tersebut diberikan untuk mempersiapkan para perwira berpangkat mayor sampai letnan kolonel untuk mendapatkan tugas staf komando yang lebih tinggi sebagai perwira tinggi. Pelatihan di sekolah tersebut menekankan persiapan kertas karya perseorangan (taskap) dan telaah staf dalam kelompok-kelompok kerja.
Selama kursus berlangsung, komandan sekolah memberikan tugas kepada Prabowo untuk menyiapkan dan menampilkan telaah staf dengan pendekatan sosial ekonomi baru terhadap keamanan di Timor Timur yang akan berkontribusi pada solusi militer atas permasalahan di Timor Timur. Walaupun ia bekerja sebagai bagian dari sebuah kelompok kerja yang terdiri dari tiga sampai empat siswa, tidak seperti kawan-kawannya, Prabowo sering tidak mengerjakan tugas regular yang lain agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan penelitiannya. Sayangnya, tidak ada informasi terkait siswa lain yang ada dalam satu kelompok kerja dengan Prabowo ataupun hasil dari pekerjaan mereka. Hasil dan analisisnya kemudian dipresentasikan di depan kelas dan komandan sekolah di akhir periode kursus, dan materi presentasi meliputi diagram, grafik, dan transparan untuk proyektor. Namun untuk menaati aturan sekolah, para siswa tidak diberi hasil penelitian atau materi presentasi.
Penelitian Prabowo melampaui batasan umum dari studi staff biasanya, sebagaimana digambarkan dalam Buku Pegangan Siswa Seskoad, Vademikum Seskoad.[36] Tetapi sebagaimana Seskoad selalu mengklaim dirinya sebagai lembaga yang menyumbangkan dan melahirkan gagasan-gagasan untuk urusan militer strategis dan sebagai tempat untuk analisis orientasi ke depan, penelitian Prabowo seharusnya menemukan tempatnya di arsip Seskoad.
Tesis utama dari penelitian Prabowo adalah sebagai berikut: integrasi Timor Timur ke Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menawarkan manfaat eksklusif dan jelas bagi kelompok strategis di daerah yang dikuasai dalam hal keuntungan material. Hanya dengan memberikan timbal balik atas keinginan untuk merdeka bisa meyakinkan mereka untuk memperjuangkan integrasi dengan Indonesia dan mempertahankannya dengan melawan masyarakat sendiri. Menerima keuntungan material juga akan membuat mereka bergantung pada Indonesia sebagai majikan, sehingga menutup kemungkinan untuk beralih kepercayaan. Pasukan pro-kemerdekaan tidak bisa menawarkan hal yang sebanding dengan yang dapat ditawarkan Indonesia. Motivasi untuk memberantas pemberontakan di luar kepentingan pribadi akan membentuk lapisan sosial yang terdiri dari para minion dan kolaborator yang ingin membahagiakan majikan mereka seperti anjing dan disetir oleh kepentingan material. Tangan-tangan militer harus tetap bersih dari supresi yang kentara, yang akan diambil alih oleh proksi sebagai kekuatan kendali sosial. Proksi tersebut dapat dimunculkan ke dunia luar sebagai pejuang ‘yang sebenarnya’ dari keinginan Timor Timur untuk berintegrasi dengan Indonesia, mengesampingkan para pemberontak Fretelin sebagai suara minoritas.
Prabowo secara eksplisit menjabarkan proposal untuk menawarkan sejumlah uang dan membentuk institusi pendidikan dan pelatihan bagi para pemuda pro-Indonesia, anak-anak muda marjinal, dan segmen sosial jalanan dan kelompok kriminal sebagai ganti dari kesetiaan mereka terhadap Indonesia. Singkatnya, Prabowo mengadvokasi rencana strategik untuk melibatkan kelas sosial yang marjinal di masyarakat Timor Timur dan menjadikan mereka minion. Pendekatan halus untuk menyokong integrasi tersebut selanjutnya akan menggantikan pendekatan represif dan mengubah persepsi negatif dunia internasional terhadap kependudukan Indonesia di Timor Timur.
Prabowo mengimplementasikan pendekatan tersebut pada 1994 dalam milisi Gada Paksi buatannya. Namun proposal ‘solusi baru’ untuk permasalahan di Timor Timur sebenarnya bukan hal yang baru. Gagasan tersebut merefleksikan dualitas pendekatan keamanan yang terdiri dari supresi kekerasan pada satu sisi dan pendekatan kesejahteraan dengan memberikan keuntungan material dan lain sebagainya pada sisi lain. Yang benar-benar baru adalah pendekatan ‘kesejahteraan’ yang terfokus pada satu kelompok target yang telah dikenal di Indonesia, yakni para preman dan bandit di Timor Timur.
Contras di Nikaragua: Model Prabowo?
Kampanye perang konvensional yang paling penting pada saat itu adalah yang dilakukan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat dan CIA melawan pemerintahan Sandinista di Nikaragua. Mereka membentuk dan memertahankan pasukan proksi kontra-revolusioner, contras (counter-revolutionaries), yang terdiri dari anggota pasukan bersenjata mantan diktator Anastasio Somoza Debayle yang bergantung sepenuhnya pada majikan mereka, Amerika Serikat.[37] Elemen-elemen dari kampanye mereka terdiri dari operasi rahasia yang kemudian dikenal dengan Irangate atau Iran-Contra Affair. Banyak hal dari Contras yang semestinya menarik bagi Prabowo, terutama pandangan anti-Komunisnya, yang hampir sepenuhnya dapat diterapkan untuk melawan pemberontakan Fretelin yang pada saat itu telah diidentifikasi sebagai pro-Komunis. Namun terdapat perbedaan yang jelas. Prabowo tidak dapat bergantung pada pasukan militer Timor Timur untuk merekrut pasukan milisinya, dan dukungan finansial yang dimilikinya jauh lebih sedikit daripada AS. Sehingga milisi yang dibentuk Prabowo harus bersifat mandiri tanpa kehilangan dependensinya pada Indonesia, terutama pada Prabowo.
Premanisasi Masyarakat: Indonesia dan Timor Timur
Pondasi sosial dari konsep Prabowo telah terbentuk di Indonesia, namun belum di Timor Timur pada saat itu. Ia memulai dengan fenomena sosial kelompok preman, seperti bandit perkotaan dan kriminal jalanan yang telah digunakan sebagai kekuatan proksi oleh intelijen militer selama akhir 1970-an untuk memberikan ‘jasa pengamanan’ bagi anggota militer dan sipil selama rezim berkuasa, dan untuk menggiring suara para pemilih saat pelaksanaan kampanye pemilu sehingga kandidat Presiden Suharto akan menang. Para kelompok tersebut kemudian lepas kendali dan diberantas antara tahun 1982 sampai 1984 melalui proyek pembunuhan yang diketahui publik sebagai Petrus, singkatan dari pembunuhan misterius. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh pasukan pembunuh yang dipercaya berasal dari Pasukan Khusus Angkatan Darat. Pada saat itu banyak kelompok gali-gali yang hilang dari permukaan, lalu muncul kembali beberapa tahun kemudian dengan menyamar sebagai preman pada paruh pertama 1990-an di pusat-pusat kota di Indonesia, terutama Jakarta dan Medan. Selama periode pendidikan Prabowo di Seskoad, para preman tersebut terbengkalai, dan akan dibangkitkan kembali olehnya beberapa tahun kemudian.
Dasar institusional penelitian Prabowo adalah sistem keamanan Orde Baru yang memiliki dukungan formal aparat keamanan melalui dukungan sipil untuk keamanan internal dan eksternal pada awal 1980-an. Polisi membentuk sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dapat memperluas kekuatan polisi dengan personel keamanan masyarakat yang direkrut dari para kriminal dan pelaku kejahatan.[38]
Pada saat yang sama, militer membentuk sistem keamanan swakarsa dengan merekrut masyarakat sipil untuk tugas keamanan tak bersenjata, terutama di sistem komando teritorial angkatan darat. Sistem tersebut dibentuk melalui perintah dari Menteri Pertahananan dan Komandan Angkatan Darat pada 1981[39] dan secara umum menarik konsep dan praktik pemberantasan pemberontakan dan peperangan non-konvensional. Sistem tersebut mengesahkan organisasi paramiliter seperti Menwa, Hansip, Wanra dan Kamra, dan Pramuka. Regulasi dan kontribusi organisasi tersebut untuk tujuan militer merupakan bagian dari kurikulum Seskoad dan disebutkan pada Bagian VI dari Vademikum Seskoad.[40] Prabowo tentu saja sadar dengan keberadaan mereka, dan menarik bagaimana Vademikum tidak membahas tentang pasukan proksi rahasia. Hal tersebut mungkin dilakukan untuk menjaganya dari pengetahuan publik.[41]
Kemerdekaan untuk Timor Timur: Ditawarkan pada 1986?
Hal lain yang sering diangkat Prabowo adalah proposalnya untuk memberikan kemerdekaan Timor Timur, sebuah gagasan yang pada permukaannya bertentangan dengan pendekatan peperangan non-konvensional. Namun pandangan ekonomi yang menjadi dasar argumen Prabowo memang masuk akal. Gagasannya adalah: melepaskan Timor Timur mencapai kemerdekaannya, dan kemudian membiarkannya bangkrut karena sistem ekonominya yang tidak stabil. Setelah kebangkrutan tersebut, Timor Timur dan dunia akan menuntut reintegrasi Timor Timur ke Indonesia, dan kemenangan Indonesia pun dapat dicapai.
Selama di Seskoad, dan semenjak 1986, Prabowo sering menawarkan strategi kemerdekaan semu tersebut di beberapa lingkaran pertemanannya. Pada saat itu, jika Timor Timur ditawarkan atau diberi kemerdekaan, ia berpendapat bahwa kelompok proksi vigilan dapat bertindak dan menunjukkan keinginan Timor Timur untuk bertahan sebagai bagian dari Indonesia dan menyatakan kemerdekaan sebagai bentuk makar. Setelah menjalani sejumlah pengembangan argumentasi, Prabowo mempresentasikan proposalnya di khalayak publik pada awal 1990-an, namun gagal:[42]
Pada awal 1990-an, Prabowo mencoba menarik Jakarta untuk memberikan otonomi pada Timor Timur — sebuah fakta yang dikonfirmasi oleh duta besar Indonesia, Fransisco Lopez da Cruz dan mantan menteri luar negeri Ali Alatas, keduanya sudah lama terlibat dalam perundang-undangan Timor Timur. Hal tersebut akan membuat Prabowo sebagai salah satu lawan pertama dari gagasan otonomi tersebut. ‘Di semua situasi pemberontakan, harus selalu ada solusi politik,’ ujar Prabowo, ‘dan saya berpikir bahwa sebuah wilayah otonomi khusus akan menjadi hal yang ideal. Namun tentu saja siapa yang akan mendengarkan seorang letnan pangkat dua, letnan pangkat satu, atau kapten?’[43]
Gagasan yang sama kemudian muncul kembali di lingkaran kawan-kawan Jerman di sekitar Menteri Habibie dalam versi yang agak berbeda, dan bahkan muncul dalam diskusi pribadi Habibie dengan Konselor Helmut Kohl. Habibie pada 1997 membuat catatan diplomatis rahasia yang dikirimkan ke Helmut Kohl, mendorong Jerman untuk membahas kemerdekaan Timor Timur dalam diskusi PBB. Pergerakan tersebut dapat mengatasi permasalahan Timor Timur dalam dua alternatif cara: baik yang akan mengarah pada kemerdekaan yang mandiri yang akan menghilangkan ‘kerikil’ dalam sepatu Indonesia, atau dapat mengikuti jalur Prabowo dan mengarahkan Timor Timur kembali ke pangkuan Indonesia. Tetapi Helmut Kohl sadar bahwa pengiriman kapal perang angkatan laut Jerman Timur ke Indonesia dalam hubungan Jerman-Indonesia menahan proposal Habibie. Inisiatif tersebut muncul kembali pada akhir 1998 saat Habibie menahan referendum otonomi atau kemerdekaan Timor Timur pada 1999.
Prabowo setelah Seskoad: Bergabung Kostrad Lagi
Setelah menyelesaikan pendidikan staf dan komando, Prabowo kembali ke Kostrad lagi dan bertugas dua kali di Infantri Brigade 17, lalu naik pangkat menjadi kolonel pada 1991.[44] Posisi baru yang dimilikinya tersebut memberikan kesempatan baginya untuk kembali bertugas di Timor Timur dan menjalin kontak dengan generasi baru komandan Kopassus di lapangan, terutama Brigadir-Jenderal Kuntara.[45]
Timor Timur setelah 1986
Pemerintah Indonesia menginisiasi upaya kedua untuk ‘menormalisasi’ status Timor Timur pada November 1988, saat provinsi tersebut diberi ‘status sama’ dengan dua puluh enam provinsi lain di Indonesia, sehingga menghilangkan batasan perjalanan untuk masyarakat Indonesia dan orang asing. Hal tersebut dilakukan untuk menghaluskan hubungan dengan Eropa, terutama bekas pemerintah kolonial Portugal, yang telah menjadi anggota Uni Eropa pada 1986. Sejumlah pejabat tinggi internasional mengunjungi Timor Timur untuk menjaga dan mengatur ‘tur’ yang bertujuan untuk mempertunjukkan sebuah daerah yang damai, namun sebagian besar dari upaya tersebut gagal. Namun militer mendukung pendekatan politik halus yang dilakukan oleh pemerintah, karena resistansi Timor Timur telah berubah dari bentuk yang kasar menjadi yang halus di mana jaringan Fretelin dibentuk dan secara umum terdiri dari pemuda kota yang tidak lagi menentang militer. Laporan dan penilaian intelijen Indonesia pada saat itu membuat impresi yang tidak tepat bahwa masyarakat Timor Timur menerima pendudukan Indonesia, sebuah kesalahan pendapat yang kemudian menjadi mitos utama terkait pengkhianatan intelejensi Indonesia terhadap Timor Timur.[46] Atmosfer itulah yang dimasuki oleh Prabowo saat ia kembali ke Timor Timur pada 1989 sebagai Komandan Brigade Infantri 17 Kostrad dengan markas di Jawa Barat. Begitu ia sampai di Timor Timur, tanda-tanda peperangan non-konvensional mulai muncul di ibu kota Timor Timur, Dili:
Pada Juli 1989 […] operasi rahasia baru dilakukan di Dili dan pusat-pusat kota. Pada periode ini, preman yang dinamai oleh masyarakat lokal dengan buffo, melakukan teror di Dili saat malam hari. [… Mereka] adalah kolaborator Timor Timur yang diberi pelatihan khusus oleh pasukan Khusus untuk tugas intelijen, interogasi, dan pembunuhan.[47]
Tidak banyak yang bisa diketahui tentang aktivitas paramiliter pada saat itu. Saat Prabowo tidak ada, komandan Kopassus yang baru telah meningkatkan paramiliterisasi masyarakat, sebuah proses yang semestinya melibatkan peran penting Kuntara. ‘Skenario’ paramiliter telah terbentuk lebih kuat.
Selama satu dekade terakhir pemerintahan Suharto, semenjak Brigjen Kuntara menajdi komandan Kopassus pada 1988, terdapat kira-kita 3,000 anggota Kopassus ‘rahasia’ yang tidak memiliki nomor registrasi resmi dan dibiayai oleh Prajogo Pangestu. Mereka merupakan pasukan yang sangat terlatih, bahkan seorang perwira memiliki kemampuan untuk menerbangkan pesawat tempur. Dan tentu saja juga ada penembak jitu terlatih. Para pasukan yang setia pada Prabowo Subianto, menantu Suharto, berbasis di Kalimantan, bukan Jawa, di mana tiga basis Kopassus berada […].[48]
Sifat dari pasukan bayangan tersebut masih tidak diketahui, terutama hubungannya dengan Prabowo. Tapi dapat dikatakan bahwa hubungan personal kelompok tersebut dengan Prabowo sebagaimana disebut pada kutipan di atas terbentuk selanjutnya, setelah Prabowo mendapatkan posisi formalnya di Kopassus, dan bahwa hubungan personal tersebut mengarah pada formalisasi yang terjadi pada 1990-an.[49] Hubungan Kalimantan yang dimiliki Prabowo mempertahankan posisinya di militer pada 1998 dan menjadi basis ekonomi pasca kepemimpinan Suharto.[50]
Komandan Kopassus lain yang memiliki hubungan kerja baik dengan Prabowo pada saat itu adalah Mayor Jenderal Sintong Panjaitan, Komandan Komando Regional Militer Udayana yang meliputi Timor Timur sejak 1988 sampai 1992. Sintong dekat dengan jaringan jenderal ‘hijau’ yang memiliki afiliasi dekat dengan politik islam dan ia memainkan peran dalam membawa Prabowo ke ranah politik Jakarta. Ia kemudian dekat dengan Habibie dan menjadi penasehatnya untuk urusan keamanan, dan memainkan peran penting dalam keputusan Habibie yang diumumkan pada 27 Januari 1999, memungkinkan masyarakat Timor Timur untuk menerima atau menolak tawaran otonomi Indonesia. Salah satu pernyataan mengatakan bahwa Habibie melakukan diskusi ‘paling intensif’ dengan Sintong Panjaitan sebelum keputusan dibuat pada dua pertemuan kabinet.[51]
Santa Cruz, 12 November 1991
Pada 12 November 1991, pasukan Indonesia memulai serangan pada demonstran tidak bersenjata di pemakaman Santa Cruz di luar Dili, menewaskan puluhan atau ratusan orang. Sebuah ketidakberuntungan bagi militer karena insiden tersebut direkam dan rekamannya berhasil dikirim ke luar Indonesia dan ditayangkan di siaran televisi internasional dan efektif untuk menghancurkan kredibilitas klaim yang menyatakan masyarakat Timor Timur menerima kependudukan Indonesia. Insiden tersebut mengguncang hubungan militer AS–Indonesia sampai ke pusat dan hubungan tersebut akhirnya terputus di akhir tahun 1991. Angkatan Darat Indonesia yang telah kehilangan dukungan dari Barat dan tidak memilliki ancaman Komunisme untuk meligitimasinya, menemukan bahwa kependudukan fisik yang dilakukan militer tidak lagi diterima oleh dunia yang semakin sadar dengan isu kemanusiaan. Washington menyatakan embargo militer parsial melawan Indonesia pada 1993, yang kemudian ditingkatkan ke embargo penuh melawan Indonesia, melarang eksport peralatan militer ke Jakarta dan pelatihan militer.
Prabowo bergabung kembali dengan Kopassus — Kelahiran Milisi baru
Hilangnya dukungan AS melukai tubuh Angkatan Darat Indonesia, namun memberikan Prabowo pijakan untuk menerapkan peperangan unkonvensionalnya di Timor Timur. Ia bergabung kembali dengan Kopassus pada Maret 1993 dan menjadi kepala Pusat Pelatihan Kopassus Grup III di bandung, sehingga membuatnya harus sering berpindah-pindah antara Jawa Barat dan Dili. Posisi tersebut merupakan tugas tur pertama yang mengantarkannya ke posisi atas Kopassus dengan menjadi Komando Jenderal dengan pangkat Mayor Jenderal pada Juni 1996.[52]
Selama lima tahun di posisi komando Pasukan Khusus, Prabowo melakukan sejumlah operasi di seluruh kawasan Indonesia, melatih sejumlah siswa asing di Batujajar dan meningkatkan kerja sama dengan Angkatan Darat AS. Kekuatan Kopassus meningkat sampai angka 6,500 dan Prabowo melibatkan pasukannya dalam operasi rahasia ‘kotor’ yang bertujuan untuk melindungi ayah mertuanya, Presiden Suharto, yang terus ditekan oleh fraksi militer musuh dan menguatnya pergerakan demokrasi akar rumput. Ia mendekatkan hubungan dengan militan Islam yang digunakannya sebagai agen dan proksi rahasia, dan ia meluaskan jangkauan aktivitas oeprasi Kopassus Grup IV/Sandhi Yudha dan Grup V (anti-teror) melawan aktivis demokrasi dan kelompok agama minoritas. Jaringan tersebut mempertahankan posisinya di Kopassus saat ayah mertuanya menempatkan dirinya sebagai Komandan Kostrad dan Letnan Jenderal pada 1998, untuk melindunginya dari tuduhan keterlibatannya dalam ‘penculikan’ aktivis mahasiswa yang dilakukan oleh Grup IV pada 1977–98.
Prabowo kembali ke Timor-Timor pasca Santa Cruz, yakni saat pasukan bersenjata Indonesia menerapkan pendekatan yang lebih menekan untuk melawan gerakan resistan. Semenjak 1993, Koordinator Pelaksanaan Operasi (Kolakops) diperkuat, menjaga Timor Timur dalam kendali militer yang lebih ketat. Keadaan tersebut menunggu Prabowo pada 1993.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat pada isu politik, terutama di antara generasi muda, Prabowo, dengan dibantu oleh pemimpin militer di Timor Timur, menerapkan pendekatan peperangan non-konvensional jarak jauh. Pelatihan militer kompulsori bagi pegawai negeri dan mahasiswa mulai diterapkan, dan pengembangan unit pengamanan masyarakat (sekarang cenderung lebih menyerupai milisi paramiliter daripada tim yang sebelumnya) ditingkatkan. Pada Juli 1995, Prabowo mendanai pembentuukan Garda Muda Penegak Integrasi yang menjadi realisasi institusional dari pendekatan peperangan non-konvensional pada 1986, sebuah organisasi modeal dari ‘contras’ Timor Timur untuk peperangan non-konvensional.
Prabowo merekrut pemuda yang dimarjinalkan masyarakat dan memberikan pelatihan dan pendidikan vokasi, misalnya membangun bengkel, “namun kemudian berkembang menjadi tempat perdagangan illegal atau semi-legal, penyelundupan, perjudian, dan markas pengacau. Gada Paksi pun berkembang dengan cepat: pada awal 1996 anggotanya berjumlah 1.100 orang; pada bulan April dilaporkan bahwa ada rencana untuk menambah 1.200 anggota per tahun; dan pada bulan Mei 600 anggota dikirim ke Jawa untuk menerima pelatihan dari Pasukan Khusus. Terlepas dari hubungan publiknya dengan pasukan-pasukan tersebut, dua tahun setelah pembentukannya, ketua Gada Paksi, Marcal de Almedia, menyatakan bahwa organisasinya dikenal sebagai mauhu — istilah lokal Tetum untuk milisi intelijen.[53]
Gada Paksi selanjutnya terlibat dalam sejumlah operasi psikologis yang bertujuan untuk meneror masyarakat. Pada 1995 dan selanjutnya, ‘ninja’, yang menyamar dengan menggunakan kostum tradisional buffo (badut) mengintai kota Dili di malam hari dan meneror masyarakat. Organisasi paramiliter formal yang dibentuk dan dikendalikan oleh Kopassus, seperti Halilintar, Saka, Alfa, dan Makikit[54], dikembangkan dan melakukan serangan di kota-kota dan desa-desa. Semua pendekatan peperangan psikologis tersebut berkontribusi pada meningkatkan konflik sosial di Timor Timur, dan sebagai konsekuensinya, kekacauan pecah di sejumlah pusat kota semenjak tahun 1995.[55] Basis operasi militer Kopassus dan peperangan non-konvensional adalah unit Satuan Tugas Intelijen (SGI). SGI secara formal merupakan unit eksekutif yang secara langsung ebrada di bawah Komando Militer (Korem) dan beranggotakan personel intelijen Kopassus dan bekerja di luar jalur biasa komando militer. Posnya juga digunakan sebagai pusat interogasi dan penyiksaan.[56]
Apa yang baru dari Pendekatan 1986 Prabowo?
Totalitas pendekatan peperangan non-konvensional Prabowo dapat dicari tahu melalui Eurico Guterres, komandan Gada Paksi, yang kemudian dikenal sebagai kekerasan milisi pada Referendum 1999. Ia merupakan ‘produk’ nyata dari peperangan non-konvensional Prabowo.
Prabowo membentuk organisasi peperangan non-konvensional dengan tiga pilar yang dikendalikan secara ketat oleh Kopassus: basis material swasembada, basis rekrutmen, dan organisasi milisi itu sendiri. Semua pilar tersebut dirancang untuk memberikan keberlanjutan dan meningkatkan motivasi diri yang merupakan elemen penting dalam mendorong kelompok milisi melakukan pertempuran untuk kepentingan mereka sendiri.
Tetapi elemen penting lainnya diperlukan untuk mencegah milisi dari perpecahan atau berpindah pihak, yakni orientasi ideologis yang kuat. Terkait hal tersebut, Prabowo banyak meminjam dari buku Angkatan Darat AS tentang perang psikologis dan Kontras Nikaragua dan menerapkan dosis nasionalisme yang agresif, bahkan histeris kepada kelompok milisi yang mereka perlihatkan secara konstan untuk membenarkan dan memotivasi kekerasan mereka. Pada dasarnya, nasionalisme emosional mereka bukanlah orang sebagai Timor Timur, tetapi campuran dari sentimen ultra-nasionalis yang diindoktrinasi kepada anggota milisi oleh militer dan berujung pada tuntutan bahwa Timor Timur harus diintegrasikan ke dalam Indonesia. Hal tersebut memberikan misi dan sistem kepercayaan eksklusif kepada para milisi sensasi yang menempatkan mereka di atas mayoritas populasi mereka sendiri, yang dipandang sebagai ‘orang kafir’ yang harus bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Nasionalisme mereka memberi para anggota milisi semangat juang yang mengambil bentuk semi-religius, tetapi sebenarnya malah tidak religius dan materialistis, dan berfungsi sebagai superstruktur ideologis untuk fondasi material dan organisasi mereka, yang sepenuhnya bergantung pada Kopassus. Pandangan tersebut juga mencerabut akar yang mereka miliki di masyarakat mereka sehingga milisi menjadi komoditas yang bahkan dapat diekspor ke daerah lain.
Unsur motivasi yang dipicu oleh diri sendiri pasti didasarkan pada teknik pencucian otak dan operasi psikologis dan menurut sumber saya, sama sekali tidak dibahas dalam penelitian Prabowo tahun 1986. Tetapi hal tersebut menciptakan kepribadian yang seragam dari proksi penghasut yang telah ‘dikonversi’, yang memiliki biografi yang mirip dengan Eurico Barros Gomes Guterres, lahir pada tahun 1971:
Eurico lahir di Uatulari (dekat Viqueque), Timor Timur. Orang tuanya dibunuh pada 1976 oleh pasukan TNI Indonesia karena pandangan mereka yang pro-Fretilin. Meskipun Eurico kemudian menuduh Fretilin atas kematian mereka, pandangan tersebut muncul setelah konversi gagasan mendukung Indonesia. Eurico muda dibesarkan oleh seorang pegawai negeri Indonesia sampai dia dikirim untuk menghadiri Sekolah Katolik Hati Kudus Yesus di Becora, Dili. Dia meninggalkan SMA untuk terlibat dalam kegiatan gangster kecil, termasuk ‘bola guling’, yang dilindungi pemerintah di Tacitolu, Dili. Pada tahun 1988, intelijen militer Indonesia menahannya atas dugaan keterlibatannya dalam komplotan untuk membunuh Presiden Soeharto yang akan mengunjungi Dili pada bulan Oktober. Pada saat itu Eurico berubah pandangan dari pro-kemerdekaan ke aliansi pro-Indonesia, menjadi informan bagi Kopassus dan agen ganda melawan gerakan Kemerdekaan sampai ia dikeluarkan sekitar tahun 1990. Sebagai seorang perwira kontra-pemberontakan, Prabowo telah menaruh minat khusus pada kemampuannya, dan pada tahun 1994 merekrutnya ke Gada Paksi, sebuah organisasi yang memberikan pinjaman murah untuk memulai usaha kecil, tetapi juga menggunakannya sebagai informan dan dalam pasukan vigilan pro-militer. Gubernur Abilio Soares sangat mendukung Gada Paksi yang berkontribusi pada catatan pelanggaran hak asasi manusia.[57]
Eurico muda trauma dengan kematian orang tuanya dan hal tersebut dapat menjelaskan perubahan haluan dalam kepribadiannya ketika dia mencari keluarga, dan rumah baru membawanya ke ‘keluarga besar militer Indonesia’. Di Jakarta pada Mei 2006, ketika ia akhirnya dihukum sepuluh tahun penjara karena kejahatannya selama kekerasan Referendum pada tahun 1999, ia bersaksi:
Mengenai hukumannya, Guterres mengatakan dia siap dan akan dengan senang hati menjalani hukumannya. Dia mengatakan bahwa dia bangga telah berjuang untuk mempertahankan bendera Merah Putih di Timor Timur 1999. Dia mengatakan dia menghormati keputusan Mahkamah Agung meskipun itu bertentangan dengan hati nuraninya karena dia adalah warga negara yang baik. (…) Dia meneteskan air mata ketika menceritakan tentang peristiwa pada tahun 1959 dan 1976 ketika orang tua dan kerabatnya dibunuh oleh kelompok dan pasukan Xanana Gusmao. ‘Saya tidak akan pernah melupakan kejadian tersebut. Sampai hari ini, saya tidak tahu di mana tubuh mereka telah dibuang ’, katanya. Dia mengatakan akan mencoba mencari makam orang tua dan kerabatnya setelah menyelesaikan masa tahanannya.[58]
Eurico Guterres dipersiapkan untuk tugas-tugas yang lebih tinggi oleh tuannya yang memberinya pengetahuan yang akan berguna untuk kegiatan milisinya, seperti ekonomi:
Pada tahun 1997 dengan sertifikat sekolah menengah yang dikeluarkan oleh militer, ia menjadi siswa di Institut Ekonomi di Dili. Meskipun Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dipimpin oleh Filomeno Hornay yang seorang pro-integrasi, Eurico hanya menghadiri tiga semester. Ia menikah dengan keponakan Uskup Nascimento dari Baucau dan memiliki tiga anak.[59]
Kualifikasi tersebut, betapapun belum sempurna, menjadikannya salah satu pengusaha Indonesia pertama dalam bisnis kekerasan dan keamanan. Setelah referendum Timor Timur gagal dan milisi Guterres yang berbasis di Dili, Aitarak, berada di pengasingan di Timor Barat dan tidak lagi digunakan, keterampilannya menjadi tidak berguna. Dia mendirikan basis keuangan pribadinya di Jakarta di dua tempat perjudian dan terbang secara teratur ke Timor Barat untuk mengawasi mantan milisinya. Pada Desember 2003, ia mendirikan Laskar Merah Putih yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok pro-kemerdekaan Papua Barat dengan cara peperangan non-konvensional. Usaha itu gagal, dan upayanya untuk menjadi pengusaha dalam keamanan domestik yang berkembang dan bisnis perusahaan militer yang diprivatisasi pun berakhir. Pada Mei 2006 dia akhirnya dijebloskan ke penjara karena perannya dalam kekerasan milisi Timor Timur.
Memperluas Peperangan Non-Konvensional di luar Timor Timur: Ekspor Preman
Prabowo tidak membatasi senjata milisinya yang baru dibentuk hanya untuk Timor Timur, tetapi mulai menugaskan cabang organisasi preman bergaya Gada Paksi di pusat-pusat kota di Jawa. Istilah preman, yang berarti free manatau orang bebas, menandakan geng yang terorganisir oleh penjahat kelas kakap yang “dengan cepat membentuk ceruk mereka di dunia bawah perkotaan berupa persekongkolan dan pemerasan yang sering kali menimbulkan konflik langsung dengan kelompok-kelompok kriminal paramiliter lainnya”[60]. Mereka dipekerjakan dalam ekonomi gelap ilegal kota, sering kali mendapatkan bantuan dan dilindungi oleh militer lokal dan polisi. Fenomena preman meningkatkan tingkat kekerasan geng secara cukup signifikan di paruh akhir 1990-an. Preman sering kali berbeda etnis, secara reguler berkompetisi dalam perang antar-geng dengan anak-anak jalanan ‘yang diekspor’ dari Ambon (Maluku Selatan) dan daerah pinggiran lainnya di Indonesia. Pimpinan milisi produk Prabowo yang lain dari Timor Timur dijuluki pemimpin preman di Tanah Abang Jakarta: Hercules Rozario Marsal, priaberdarah asli Timor Timur yang sering dipanggil dengan Hercules. Setelah mengabdi di milisi Timor Timur, dia ditugaskan di Tanah Abang bersama sejumlah anak buah di sekitar kompleks pasar besar, dan dengan bekingan(bantuan) dari militer membuatnya menjadi sosok dunia bawah yang sangat berpengaruh. Setelah pecahnya kerusuhan Mei 1998, dia lenyap dari Jakarta, tetapi kembali muncul pada tahun 2001 dan langsung mendirikan kembali kekuasaannya.
Pada Maret 1998, setelah Suharto sekali lagi berhasil mengatur kemenangan pada pemilu untuk menjadi presiden pada lima tahun ke depan, Prabowo ditunjuk sebagai Komandan Kostrad sebagai utusan ayah mertuanya. Saat itu juga Prabowo memanggil pasukan peperangan non-konvensional yang paling loyal dari Timor Timur ke Jakarta dan menjadi bawahannya untuk membantu mencapai ambisi militer dan politik pribadinya. Kelompok preman sekarang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan politik — yang Friend (2003) sebut sebagai “pasukan kelas bawah yang digunakan untuk mempertahankan rezim melawan kelas menengah”[61].
Kopassus berada di bawah tekanan publik yang berat, ketika diketahui bahwa para aktivis mahasiswa telah diculik oleh Kelompok IV/Peperangan Terselubung pada tahun 1997–98, dan gerakan demokrasi menuntut tindakan hukum melawan Pasukan Khusus bermunculan. Dibebani oleh isu-isu hak asasi manusia dan berharap untuk memanfaatkan kesulitan politik Soeharto untuk tujuannya sendiri, Prabowo kehilangan minat di Timor Timur. Setelah kehilangan pertarungan pribadinya untuk posisi militer tertinggi dengan Jenderal Wiranto, yang menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Suharto jatuh dari kekuasaan, Prabowo mendapati bahwa kepemimpinan Angkatan Darat tidak lagi mau melindunginya. Dia diberhentikan dengan hormat dari Angkatan Darat pada September 1998 dan menghindari mata publik dengan pergi melalui Jerman ke Timur Tengah, di mana dia membangun kembali kontak dengan Yordan dan Pasukan Khusus Yordania, yang telah menjalin hubungan kerja sangat baik dengan Kopassus selama di bawah komandonya. Pada tahun 2000 ia diminta untuk bergabung kembali dengan lingkaran militer dan oligarki politik. Selain itu, dengan memanfaatkan banyak kontak yang telah ia bangun selama karier militernya, ia menjadi pengusaha kaya dengan kekayaan pribadi.
Setelah jatuhnya Suharto, para milisi dengan cepat melakukan diversifikasi ke berbagai macam samaran, menampilkan serangkaian peperangan non-konvensional yang melampaui konsep-konsep Prabowo–suatu perkembangan yang menunjukkan bahwa peperangan non-konvensional bukan merupakan senjata yang terbatas pada pasukan khusus, tetapi dapat digunakan oleh semua orang. Salah satu bentuk sementara dari proksi-milisi, misalnya, bertindak sebagai ‘penyedia keamanan’ pada akhir tahun 1998, dan sangat mirip dengan milisi TimorTimur, adalah apa yang disebut PAM Swakarsa. Mereka diam-diam dimobilisasi, dibentuk, dan dibiayai oleh Kostrad oleh pendiri mereka, Mayor Jenderal Kivlan Zein (atau Zen), terungkap secara rinci setelah milisi dibubarkan.[62] Ketiga pasukan tentara dan polisi memanfaatkan proksi, preman, dan milisi secara lebih kurang untuk tujuan mereka sendiri.
Preman perkotaan kemudian menjadi bagian dari kekerasan komunal dan antar-etnis setelah jatuhnya Orde Baru. Selama perang sipil Maluku dari tahun 1999, kelompok preman, yang telah dibawa kembali dari Jakarta, dipekerjakan sebagai alat peperangan non-konvensional oleh unit militer dan polisi yang lain.[63]
Di daerah-daerah dengan gerakan separatis yang kuat seperti di Aceh dan Papua Barat, Kopassus pasca-Prabowo mendirikan proksi-milisi, yang tidak pernah bisa berhasil seperti dampak dari proksi Timor Timur. Mereka dikelola terutama oleh kelompok minoritas komunitas migran dan tidak pernah diterima oleh penduduk setempat. Bentuk organisasi perang non-konvensional yang lebih halus dengan pandangan Islam-radikal yang khas, seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI), adalah milisi yang diubah menjadi perusahaan militer yang diprivatisasi sepenuhnya. Mereka membuka babak baru dalam komersialisasi perang rahasia dan kebangkitan bisnis swasta dalam menyediakan keamanan dan kekerasan.[64]
Milisi dan Referendum Kemerdekaan 1999
Meskipun secara garis besar berjalannya perang non-konvensional hingga Referendum pada Kemerdekaan berkembang hampir sejalan dengan konsep Seksoad Prabowo, dia tidak mengurusi penerapannya. Ada beberapa perbedaan yang luar biasa, mungkin karena komandan dengan pola pikir dan pendekatan yang berbeda. Yang paling menonjol adalah jenderal intelijen licik, Zacky Anwar Makarim, dengan karier intelijen militer dan bukan anggota Kopassus, yang kemudian ditugaskan untuk melakukan operasi militer rahasia untuk menjaga Timor Timurtetap di dalam kawasan negara Indonesia:[65]
Dia telah diperintahkan untuk menempatkan ‘model khas untuk operasi intelijen’. Fitur utamanya adalah penggunaan milisi sebagai barisan depan untuk kegiatan militer. Tujuan utama milisi adalah untuk mencegah pihak pro-kemerdekaan berkampanye secara efektif dan untuk menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk atas konsekuensi dari menolak tawaran otonomi Indonesia.[66]
Hal yang paling membedakan dari konsep peperangan non-konvensional Prabowo adalah penggunaan milisi sebagai proksi rahasia dan bukan sebagai aktor rahasia. Zacky memprakarsai operasi intelijen yang lebih menyerupai perang dan menghilangan komponen vital dari strategi peperangan non-konvensional, yang dijelaskan oleh Haseman[67], mantan atase militer AS untuk Jakarta, dalam istilah intelijen militer:
Komponen utama dari setiap operasi rahasia adalah kebutuhan akan ‘penolakan yang masuk akal’. […] Badan-badan intelijen Barat, organisasi non-pemerintah, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sadar akan keterlibatan militer dan agen rahasia intelijen dalam mengorganisir, merekrut, melatih, dan mengarahkan kegiatan pasukan milisi. Televisi di seluruh dunia menunjukkan polisi dan tentara berdiam diri sementarapasukan milisi melancarkan kekerasan pada penduduk yang tidak berdaya […]. Singkatnya, para pelaku operasi rahasia berusaha melakukan upaya mereka menggunakan aturan dan standar 20 tahun yang lalu dan sama sekali gagal memperhitungkan dampak komunikasi instan dan masyarakat terbuka.[68]
Penerus Prabowo menggunakan pasukan milisi sebagai tentara semu yang dipersiapkan dengan matang dan memperluas kemungkinan perang non-konvensional. Intervensi militer oleh PBB pada September 1999 adalah sebuah konsekuensi dari penggunaan ekstrem kekerasan militia.
Abdullah Makhmud Hendropriyono sangat dikenal setelah berhasil menciptakan konsep milisi warga bersenjata di Aceh dan Timor Leste ketika menjabat sebagai Kepala Komando Pelatihan dan Pendidikan (Kodiklat) dari 1994 hingga 1996, dan juga tugasnya sebagai Sekretaris Pengendalian Operasionil Pembangunan. “Hal tersebut menjadikannya asisten Presiden untuk menangani masalah keamanan regional. Dia menjadi seperti operator keliling, memantau dan mengamati tempat-tempat yang memiliki potensi perpecahan kerusuhan di pelosok negeri. Konsepnya tentang warga bersenjata muncul di periode ini.”[69]
Belum banyak yang diketahui tentang hubungan personal antara Prabowo dan Hendropriyono. Mereka memang pernah mengabdi bersama di pasukan Kopassus Timor Timur pada tahun 1976, tetapi pada unit yang berbeda.[70] Dan karena Hendropriyono adalah senior Prabowo[71], mereka semestinya tidak memiliki hubungan yang cukup dekat. Jalur karier mereka selanjutnya juga sangat berbeda, menambah alasan kenapa Hendropriyono tidak dekat dengan Prabowo. Hendropriyono merupakan anggota dari tim perencana, pengurus, dan eksekutor elit peperangan non-konvensional yang dimulai pada paruh kedua tahun 1990-an. Namun dia tidak pernah memiliki peran yang dominan dan masih banyak yang belum diketahui apa sebenarnya kontribusinya pada peperangan non-konvensional. Bahkan, ada kemungkinan bahwa sebenarnya komandan di lapangan, yang salah satunya adalah Sjafrie Sjamsoeddin, anggota Kopassus, sekutu dan teman sekelas Prabowo, yang bersama-sama membuat keputusan tentang milisi. Tetapi peran utama peperangan non-konvensional di Timor Timur pada 1999 dimainkan oleh Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, yang memiliki peran cukup besar dalam kekerasan milisi dalam Laporan Final tentang Timor Timur oleh Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR).[72] Peran Markas Besar Angkatan Darat masih belum diketahui sepenuhnya, tetapi sepertinya penggunaan yang cukup eksklusif para petugas Kopassus di bawah perintah Komandan tertinggi, Jenderal Wiranto, merupakan salah satu kebijakan Wiranto untuk menugaskan mereka menjalankan misi spesial di luar ibu kota untuk menjauh dari pusat politik Indonesia.[73]
Juga masih belum jelas apakah Makarim, Hendropriyono dan rekan mereka mengetahui konsep peperangan non-konvensional Prabowo, mengapresiasinya dan memanfaatkannya secara spesifik, atau bahkan malah mengabaikan seluruhnya. Karena hampir semua dari mereka adalah mantan komandan Kopassus, mereka sudah sepatutnya memahami konsep peperangan non-konvensional di luar kepala, tetapi mereka sepertinya merasa bahwa strategi berbeda memang dibutuhkan. Dengan begitu, Prabowo jelas tidak pernah memiliki hak cipta peperangan non-konvensional, tetapi dia yang membuat konsep, memprakarsai, dan mempercepat perkembangannya dalam sejarah Peperangan Non-konvensional Indonesia -dan mungkin jauh lebih awal dari yang diketahui sebelumnya–yang telah meninggalkan akibat yang parah untuk kedua negara: peperangan non-konvensional bagi Indonesia merupakan bentuk baru kekerasan yang terorganisir dengan pengaruh yang sangat dahsyat pada konflik internal pasca Orde Baru. Di Timor Leste, peperangan non-konvensional memusnahkan hampir seluruh negara, tetapi kemudian menjadi senjata makan tuan, karena tanpa kecaman internasional pada kekerasan milisi berskala besar yang ditujukan pada para pejuang kemerdekaan, negara yang tersiksa tersebut akan kesulitan untuk mencapai apa yang Prabowo sendiri sering tawarkan: kemerdekaan.
Catatan
[1] Geoffrey Robinson (2003) East Timor 1999, Crimes against Humanity. A Report Commissioned by the United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), 82.
[2] Menurut regulasi di sekolah staf dan komando, tugasnya dalam penelitian tersebut merupakan bagian dari tugas sekolah dan dilakukan dalam kelompok kerja (Pokja) yang terdiri dari tiga sampai empat siswa. Sistem tersebut juga diterapkan untuk penelitian yang dilakukan Prabowo, namun informan ingat bahwa Prabowo sendirilah yang menyelesaikan tugas tersebut.
[3] Komando Pasukan Sandhi Yudha merupakan nama untuk Pasukan Khusus TNI antara 17 Februari 1971 sampai 23 Mei 1985.
[4] Komando Pasukan Khusus TNI-Angkatan Darat.
[5] Tesoro, Jose Manuel (2000) Image of Evil. Prabowo’s refracted reputation for ruthlessness in East Timor. Dalam Asiaweek 26, 8, 3.3.2000.[6] Sebab dari pelanggaran disipliner yang dilakukan Prabowo masih tidak jelas. Beberapa orang mengatakan ia menampar atasannya, sementara yang lain mengatakan ia sering pulang ke rumah di akhir pekan, sesuatu yang sangat dilarang untuk dilakukan kader akademi.
[7] Cerasini, Marc (2002) The Complete Idiot’s Guide to The US Specials Ops Forces. Alpha, Person Education Company, 115.
[8] Cerasini 2002: 126.
[9] Cerasini 2002: 115f; dan Clancy, Tom and John Gresham (2002) Special Forces. Die Spezialeinheiten der US Army. München, Wilhelm Heyne Verlag, 210f
[10] Greg E. Metzgar (2000) Unconventional Warfare: A Mission Metamorphosis for the 21st Century?. Tesis School of Advanced Airpower Studies Air University, Maxwell Air Force Base, Alabama, 65f.
[11] Metzgar 2000: 70.
[12] Cerasini 2002: 61
[13] Napoleoni, Loretta (2005) Modern Jihad. Tracing the Dollars behind the Terror Networks. Verlag Zweitausendeins, 45f.
[14] Napoleoni 2005: 47.
[15] JSC Pub 1–02, NATO.
[16] Cerasini 2002: 202.
[17] Nasution, Abdul Haris. 1955. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan Yang Akan Datang. Jakarta, Puspen AD.
[18] Masih menjadi rahasia siapa saja kawan Prabowo yang mengikuti pelatihan tersebut, namun telah diketahui bahwa dua di antaranya adalah Komandan Jenderal Kopassus Muchdi Purwo Pranyoto, yang baru saja tersangkut kasus pembunuhan Munir pada tahun 2004 saat menjabat Deputi Badan Intelijen Nasional (BIN), dan Mayor Jenderal Hotmangaraja Panjaitan, Atase Pertahanan Indonesia untuk Jerman 1997–2000, Komandan Kopasus Grup IV dari 2001–02, dan komandan milier Bali saat Bom Bali I pada Oktober 2002.
[19] Juga masih belum jelas bagaimana GSG 9 dapat memberikan materi tentang taktik dan metode peperangan pemberantasan pemberontakan dan peperangan non-konvensional atau pengetahuan dan kemampuan yang berguna untuk tujuan tersebut. Tetapi GSG 9 juga memiliki sejarah intelijen. Sebagai pasukan yang berada di bawah Departemen Polisi Federal Jerman (Bundeskriminalamt), GSG 9 dapat bergantung pada jaringan inteligen departemen polisi dan memiliki dua unit intelijen, Unit Misi 1 dan 4 (Einsatzeinheit), yang dikhususkan untuk observasi dan penggerebekan. Lihat Reinhard Scholzen und Kerstin Froese (2001) GSG 9: Innenansichten eines Spezialverbandes des Bundesgrenzschutzes. Stuttgart, Motorbuch Verlag.
[20] Indonesia’s Elite Forces: SAT-81 GULTOR, http.://indonesiaeliteforces.tripod.com/id12.html.
[21] Untuk gambaran kesejarahan perkembangan militer Amerika Serikat lihat Marquis, Susan L. (1997) Unconventional Warfare: Rebuilding US Special Operations Forces. Washington, D.C., Brookings Institution Press.
[22] Kopassus diberi nama baru pada 23 Mei 1985 namun proses restrukturisasi berlangsung selama 19 bulan.
[23] Conboy, Ken (2003) Kopassus. Inside Indonesia’s Special Forces. Jakarta, Singapore, 305–308; Kingsbury, Damien (2003) Power Politics and the Indonesian Military. London, New York, RoutledgeCurzon
[24] East Timor: Indonesia’s military involvement. In: The Jakarta Post.com 31.05.2004.
[25] Ibid.
[26] Ibid. Lihat juga John G Taylor (1999) East Timor, The Price of Freedom. London, New York, Zed Books.
[27] Robinson 2003: 83.
[28] Kammen 2001: 158f.
[29] “Halilintar awalnya dibentuk oleh pemimpin lokal kecamatan Atabae di kabupaten Bobonaro di bawah instruksi militer Indonesia setelah konflik berkelanjutan di Abatae yang berlangsung semenjak 1976”. Mason, Max (2000) Heroes of Integration. Socialising Autonomy in Pre-ballot East Timor. Manuskrip tidak diterbitkan, 13 (catatan 45)
[30] Robinson mengklasifikasikan Halilintar sebagai salah satu dari “unit paramiliter yang paling terlatih [… yang] melaksanakan peran-peran penting pengintaian, intelijen, dan penyerangan, dan juga berperang dalam beberapa operasi, termasuk pembunuhan. Dikoordinasi secara fomal di tingkat Komando Militer Distrik (Kodim), mereka juga memiliki hubungan yang dekat dengan dan sering kali beroperasi bersama pasukan elit pemberantasan pemberontakan, Kopassus — dan secara khusus Satuan Tugas Intelijen (SGI), dan unit operasional yang dikenal dengan Nanggala.” (Robinson 2003: 84). Upaya lain untuk memanfaatkan masyarakat Timor Timur untuk tugas tempur dijabarkan oleh Conboy (2003): pada 1986, Kopassandha Detasemen 81 memulai operasi khusus dengan kode 86 (dan menggunakan kode lokal Tetum, yakni Railakan, yang berarti ‘Api dan Air’), Operasi tersebut merupakan operasi gerilya di mana pasukan khusus akan bertindak sebagai partisan dengan didukung oleh mantan pejuang Fretelin yang diambil dari penjara untuk menunjukkan jejak pasukan pemberontak. Dua kelompok, tim Alfa dan tim Sera, dibentuk dan diarahkan oleh tim operatif Det 81 dengan patroli jarak jauh, masyarakat lokal “bertindak sebagai gang dengan berpakaian dan bertindak seperti Fretelin”, dan terbukti berhasil. Tim Sera diakui keberhasilannya dengan berhasil membunuh enam anggota Fretelin dan menangkap 22 lainnya. Pembentukan tim lain, tim Saka, menandai keberlanjutan operasi tersebut untuk tahun berikutnya. Namun operasi tersebut gagal untuk menangkap komandan ‘Xanana’ Gusmao (Conboy 2003: 310–312).
[31] Dunn, James (2001) Crimes Against Humanity in East Timor, January to October 1999. Their Nature and Causes, http://www.etan.org/news/2001a/dunn1.htm (14.2.2001).
[32] Schlicher, Monika (1996) Von der Schwierigkeit, Verantwortung einzuklagen. Die internationale Wahrnehmung des Konflikts. In: Ludwig, Klemens, ed. (1996) Osttimor — Der zwanzigjährige Krieg. Reinbek, Rowohlt, 82–107.
[33] Untuk gambaran historis, lihat Taylor, John G. (1990) The Indonesian Occupation of East Timor 1974–1989, A Chronology. London, Catholic Institute for International Relations (CIIR).
[34] Friend, Theodore (2003) Indonesian Destinies. Cambridge, Harvard University Press, 324.
[35] “Namun metodenya di lapangan mengalienasi atasannya, Jenderal Benny Moerdani, komandan angkatan bersenjata pada saat itu. ‘Saya mengirim Prabowo ke Timor Timur untuk menyiapkan patroli jarak jauh,” jelasnya pada Adam Schwarz. ‘Ia lalu terobsesi untuk menangkap Xanana. Ia kehilangan kendali. Saya mendengar laporan bahwa Prabowo memukuli pemimpin patroli saat mereka kembali dengan tangan kosong. Saya tidak punya pilihan lain selain membawanya kembali ke Jawa’. Prabowo meningkat dari seorang siswa yang dihormati menjadi subversif, menurut Moerdana. Keberanian tersebut mengancam hubungannya dengan Suharto (Friend 2003: 324).
[36] Sekolah Staf dan Komando TNI-Angkatan Darat (1987) Vademikum Seskoad (edisi 3). Buku ini dikeluarkan sesaat setelah periode kursus yang dijalani Prabowo, dan sangat memungkinkan bahwa sejumlah hasil penelitiannya dimasukkan dalam buku tersebut. Namun konten dari buku tersebut sebagian besar berkaitan dengan urusan militer dan tidak menyentuh aspek regional atau waktu yang spesifik.
[37] Perbandingan saya antara Gada Paksi dan Contras terinspirasi dari Loretta Napoleoni (2003).
[38] […] istilah yang pertama kali dicetuskan oleh kepala polisi ndonesia pada awal tahun 1980-an untuk menjelaskan sebuah cara baru untuk mengorganisir aparat keamanan lokal sehingga memberikan tanggung jawab untuk mengoordinasi dan mengawasi masyarakat, dan untuk melatih dan mengawasi satpam di latar komersial dan publik.” Dalam konteks ini, sistem swakarsa juga dikerjakan untuk ‘sistem keamanan yang diinisiasi pribadi’, misalnya diorganisasi oleh masyarakat lokal, namun pada kenyataannya dibentuk oleh institusi polisi. Barker, Joshua (1998) State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto’s New Order. In: Indonesia 66, 7–42.
[39] Vademikum Seskoad, 194.
[40] Vademikum Seskoad, 194–204.
[41] Karena kursus regular Seskoad secara rutin dihadiri oleh perwira dari pasukan bersenjata asing yang sering membawa buku manual pulang, urusan internal dan rahasia biasanya hanya untuk publik Indonesia.
[42] Aspek ini memainkan peran penting dalam diskusi saya dnegan mantan kawan Prabowo. Menurutnya, argumen Prabowo cukup jelas, namun diformulasikan secara berbeda. Proposal awalnya ditujukan untuk kemerdekaan, karena hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya cara yang dapat memastikan kemenangan final. Selanjutnya, saat ia menduduki posisi kuat di Kopassus, ia mengatakan otonomi untuk menamai kemerdekaan. Gagasannya masih sama.
[43] Tesoro, Jose Manuel (2000) Image of Evil. Reputasi keganasan Prabowo di Timor Timur. Dalam: Asiaweek 3.3.2000.
[44] Sebagai komanan dan letnan kolonel Batalion Infantri 17 Angkatan udara, 1989–1991, dan Kepala Staf Kostrad Brigade Infantri 17 Angkatan Udara Kujang, Jawa Barat, sebagai Kolonel 1991–1993.
[45] Tidak banyak yang diketahui tentang Kuntara atau Kuntoro. Lahir pada 1939 sebagai seorang Mulsim Cirebon dengan keturunan Tionghoa, ia menjajaki posisi Pasukan Khusus dan muncul pada 1986 sebagai Komando Deputi Kopassus. Pada Agustus 1987, ia menjadi Komandor Jenderal Kopassus. Pada Juli 1992, ia ditunjuk sebagai Komando Kopassus, posisi yang dipegangnya sampai September 1994.
[46] Kammen, Douglas (2001) The Trouble with Normal: The Indonesian Military, Paramilitaries, and the Final Solution in East Timor. In: Anderson, Benedict R. O’G., ed., Violence and the State in Suharto’s Indonesia. Ithaca, New York, Cornell University, 160–162.
[47] Kammen 2001: 162 dan catatan kaki 24.
[48] Aditjondro, George J. (2000) Financing Human Rights Violations in Indonesia, www.koteka.net/part2.htm.
[49] Pasukan tersebut mendapatkan pelatihan militer khusus (milsus) resmi. “Istilah milsus harus dibedakan dengan milsas, yang pada kenyataannya merujuk pada milisi paramiliter, yang sering dilatih oleh anggota milsus. Milsus (dan proksi milsas) telah digunakan untuk operasi rahasia atau illegal, terutama melawan penduduk, di mana keterlibatan formal militer mungkin saja mendatangkan respon sangat negatif dari internasional. Milsus tersebut tidak pernah diakui sebagai bagian dari tentara, terlepas dari fakta bahwa, menurut dokumen yang dibuka di Timor Timur pada 1999, mereka beroperasi dengan dana bantuan Angkatan Darat dan di bawah perintah Angkatan Darat.” Kingsbury 2003: 103.
[50] Upayanya untuk bergabung dalam proyek PT Kiani Paper di Kalimantan dengan Deutsche Bank pada 2006 pun gagal.
[51] McDonald, Hamish, Desmond Ball, James Dunn et al. (2002) Masters of Terror: Indonesia’s Military and Violence in East Timor in 1999. Canberra Paper 145, Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University.
[52] Kolonel dan Komandan Grup III/Pusat Pelatihan di Batujajar, Maret 1993 sampai Oktober 1994; Komando Deputi Kopassus (Brigjen), Oktober 1994 sampai November 1995, dan Komandan Jenderal Kopassus (Mayor Jenderal) Juni 1996 sampai Maret 1998.
[53] Kammen 2001: 168–169. Di samping organisasi proksi tersebut, milisi formal yang berada langsung di bawah komando militer bekerja seiring, namun karena statusnya sebagai organisasi sipil militer, hanya dapat dianggap sebagai alat peperangan non-konvensional. Untuk gambaran dan informasi lanjutan terkait organisasi proksi, lihat Greenlees, Don and Robert Garran (2002) Deliverance. The Inside Story of East Timor’s Fight for Freedom. Crows Nest, Allen&Unwin, 129–136.
[54] Untuk sejarah unit paramiliter lihat juga Crouch, Harold (2000) The TNI and East Timor Policy. In: Fox, James J. and Dionisio Babo Soares, eds., Out of the Ashes: East Timor. Canberra, Australia National University Press, 151.
[55] Kammen 2001: 168f; Kammen, Douglas (1999) catatan tentang the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications for Indonesia di Indonesia 67, 74–75.
[56] Moore, Samuel (2001) The Indonesian Military’s Last Years in East Timor: An Analysis of Its Secret Documents di Indonesia 72, 9–44.
[57] http://www.absoluteastronomy.com/enc3/eurico_guterres.
[58] Eurico Guterres Begins Serving 10-Year Jail Sentence di Antara 4.5.2006.
[59] http://www.absoluteastronomy.com/enc3/eurico_guterres.
[60] Kammen 1999: 75
[61] Friend 2003: 345
[62] Zen, Kivlan (2004) Konflik dan Integrasi TNI-AD. Institute for Policy Studies, Jakarta, berdasarkan tesis Universitas Indonesia, dan A Book and a Soldier’s Shame dalam Tempo 22.-28.6.2004.
[63] Aditjondro, George Junus (2001) Guns, Pamphlets dan Handie-Talkies. Bagaimana militer mengeksploitasi tensi etno-religius lokal di Maluku untuk mempertahankan keuntungan politik dan ekonominya, dalam In: Wessel, Ingrid dan Georgia Wimhöfer, eds., Violence in Indonesia. Hamburg, Abera, 100–128; Aditjondro, George Junus (2001) Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku dalam Salampessy, Zairin and Thamrin Husain, eds., Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu. Jakarta, Tapak Ambon 131–177.
[64] Singer, P. W. (2003) Corporate Warriors. The Rise of Privatized Military Industry. Ithaca, New York, Cornell University Press. Also: Myrttinen, Henri (2003) Alte ‘neue’ Kriege. Die Privatisierung der Gewalt Indonesien dalam Azzelini, Dario und Boris Kanzleiter, eds., Das Unternehmen Krieg. Paramilitärs, Warlords und Privatarmeen als Akteure der Neuen Kriegsordnung. Berlin, Hamburg, Göttingen, Assoziation A, 129–142.
[65] Sebagaimana tercatat dalam data Master of Terror Databse, keberhasilan Jenderal Ali Murtopo dalam operasi rahasia mengintegrasikan Papua Barat dilakukan melalui peperangan kotor selama ‘Act of Free Choice’ pada 1969, yang kemudian menghasilkan integrasi separuh pulau Papua ke dalam Republik Indonesia.
[66] Greenlees and Garran 2002: 138.
[67] Haseman, John B. (2000) East Timor: The Misuse of Military Power and Misplaced Military Pride. In: Fox, James J. and Dionisio Babo Soares, eds., Out of the Ashes: East Timor. 180–191.
[68] Haseman 2000: 184f.
[69] Tapol (2001) Hendropriyono and Bambang Kesowo, the key figures in Megawati’s kitchen Cabinet, http://www.tapol.gn.apc.org/news/files/st010821.htm (21.8.2001).
[70] Karir para perwira Indonesia yang bertugas di Timor Leste, www.etan.org/etanpdf/2006/CAVR/bh-08-Anneks4-Karir-para-perwira-Indonesia.pdf.
[71] Hendropriyono, lahir pada 7 Mei 1945, merupakan alumni angkatan 1967 dari Akademi Militer. Prabowo, lahir pada 11 November 1951, lulus dari Akademi Militer angkatan 1974.
[72] http://www.ictj.org/cavr.report.asp.
[73] The Editors (2001) Current Data on the Indonesian Military Elite: January 1, 1999 — January 31, 2001 dalam Indonesia 71, 135–156.
Terjemahan dari artikel Ingo Wandelt “Prabowo, Kopassus and East Timor: On the Hidden History of Modern Indonesian Unconventional Warfare” dalam Strifeneder, Eva dan Antje Missbach (ed.), Indonesia–The Presence of the Past (Berlin, 2007)