Ruang Kritis di antara Echo Chamber
Di tengah kasak kusuk, bisik-bisikan, dan tanggap menanggapi terkait kabinet Merah Putih yang menunjukkan kecenderungan politik akomodatif, media sosial diramaikan dengan pandangan publik terkait celetukan Najwa Shihab atas kepulangan Joko Widodo ke Solo menggunakan pesawat TNI AU.
Komentar “nggak jadi komersil, sekarang nebeng TNI AU” yang dilontarkan Najwa pada siaran langsung pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober lalu rupanya memantik beragam komentar dan tanggapan dari berbagai kalangan. Barangkali yang cukup mengejutkan dari semua tanggapan yang berkembang, paling tidak bagi saya, adalah kiriman video di media sosial TikTok yang menunjukkan buku Najwa sedang dibakar. Sementara tanggapan-tanggapan yang lain berkisar pada perdebatan terkait kepantasan dan keelokan celetukan Najwa Shihab dengan mengingat reputasinya sebagai jurnalis yang kritis dan posisi Joko Widodo sebagai mantan presiden yang telah menjabat selama dua periode.
Perdebatan itu pada beberapa titik mengingatkan saya pada kasus yang menimpa Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada penghujung 2016. Pernyataan Ahok dalam pidatonya di Pulau Pramuka bahwa orang Indonesia tidak boleh dibohongi oleh orang-orang yang menggunakan surah Al-Ma’idah (5):51 supaya tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin mereka seketika menimbulkan kontroversi.
Pada satu sisi, sejumlah kelompok masyarakat menganggap ucapan Ahok merupakan bentuk penistaan agama. Pada sisi lain, tidak sedikit yang merasa pernyataan tersebut bukan satu hal yang perlu dibesar-besarkan–tidak lebih dari sekadar ‘selip lidah’. Terlepas dari semua penilaian moralitas, ada juga yang membacanya sebagai langkah yang tidak strategis dalam konteks Ahok sebagai seorang kepala daerah yang sedang berbicara di hadapan konstituennya.
Kredibilitas Ahok sebagai pemimpin yang tegas dan mampu mengatasi sejumlah permasalahan di di Jakarta pun seketika diragukan. Hal serupa dialami Najwa yang diyakini masyarakat semestinya menjadi jurnalis yang kritis tetapi pada saat yang sama juga bijak. Kemudian, layaknya Najwa yang sekarang mendapatkan julukan ‘ratu nebeng’, Ahok kala itu juga sempat disebut sebagai ‘penista agama’.
Dari semua hal tersebut, barangkali yang membedakan kasus yang dihadapi Ahok dan Najwa adalah skala dari komentar yang disampaikan publik dalam merespons pernyataan kedua publik figur tersebut. Ketika isu Ahok terjadi delapan tahun lalu, penggunaan media sosial belum semasif saat ini.
Pandemi telah dipandang banyak pihak sebagai momentum ketika media sosial semakin dipilih sebagai ruang untuk menyampaikan pendapat dan bertukar pikiran ketika pertemuan dan interaksi sosial secara langsung sulit untuk dilakukan.
Di sisi lain, pada beberapa tahun terakhir juga terjadi sejumlah pembaruan pada cara kerja sistem algoritma di media sosial. Sejak pertama kali muncul 15 tahun lalu melalui pemeringkatan dan personalisasi beranda berita di Facebook, sistem algoritma dewasa ini semakin bersifat mengarahkan dan mendikte pengguna media sosial. Sebagai konsekuensinya, terjadilah fenomena-fenomena yang sebelumnya tidak berlangsung pada saat Ahok tersandung kasus ‘penistaan agama’, salah satunya echo chamber.
Sebagai metafora dari istilah sama yang mulanya berkembang untuk merujuk pada fenomena ketika suara bergema dalam ruang hampa, echo chamber dalam konteks komunikasi dan media merupakan suatu ekosistem di mana orang-orang yang terdapat di dalamnya menemukan penguatan keyakinan melalui komunikasi dan pengulangan pesan yang beredar dalam suatu sistem yang tertutup dan terisolasi dari sanggahan.
Dalam ruang media sosial, salah satu faktor utama yang membentuk echo chamber adalah sistem algoritma, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa eksperimen sosial.
Salah satu eksperimen yang pernah dilakukan oleh seorang peneliti di Amerika Serikat adalah membuat dua akun berbeda di X untuk menguji sejauh mana algoritma platform tersebut bekerja untuk menguatkan narasi-narasi terkait politik sayap kiri dan sayap kanan. Hal tersebut rupanya sudah dimulai sejak pertama kali pengguna diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait subjek-subjek yang diminati dan diberi saran terkait akun-akun yang perlu diikuti.
Berangkat dari tahap awal tersebut, pengguna akan disuguhi dengan kiriman-kiriman yang berkaitan dengan narasi yang diminatinya dan dijauhkan dari yang berlawanan. Bias konfirmasi yang pada dasarnya hampir selalu dimiliki setiap orang pun terus terkonfirmasi dan terjustifikasi, sampai kemudian terbentuklah echo chamber yang mengungkung pengguna dalam satu jenis wacana.
Pada praktik yang lebih nyata, banyak pihak yang membaca kemenangan Donald Trump sebagai presiden dan kebangkitan politik sayap kanan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh pemanfaatan echo chamber. Pasukan-pasukan media sosial pendukung Trump melakukan orkestrasi sedemikian rupa dalam memanfaatkan algoritma dan membentuk echo chamber-echo chamber yang mengarah pada dukungan untuk Trump.
Pembacaan serupa sayangnya belum banyak dilakukan Indonesia, di mana analisis politik masih cenderung berfokus pada perilaku-perilaku yang dilakukan oleh pihak-pihak elit politik, meski gejala-gejala serupa sebenarnya dapat diidentifikasi.
Kembali pada kssus yang menjerat Najwa Shihab, saya sempat mendengar bahwa konten-konten yang mengarah pada ketidaksetujuan terhadap komentar Najwa tentang Joko Widodo tidak lagi diorkestrasikan oleh buzzer, melainkan sudah bersifat organik. Dalam kata lain, masyarakat Indonesia memang secara ‘alamiah’ telah kehilangan kepercayaan terhadap Najwa.
Pendapat tersebut pada gilirannya memunculkan pertanyaan dalam benak saya terkait sejauh mana echo chamber telah terbentuk di kalangan pengguna media sosial di Indonesia dan membentuk pandangan masyarakat terhadap sosok atau isu tertentu.
Dengan satu atau dua kali pencarian dengan kata kunci atau tagar tertentu, algoritma akan bekerja untuk mengarahkan pengguna pada kiriman-kiriman yang senada atau mengandung wacana serupa. Perkara berikutnya adalah sejauh mana seorang pengguna menyadari bahwa ia sudah berada (baca: diposisikan) pada sebuah echo chamber.
Tanpa kesadaran tersebut, ia akan masuk semakin larut dan terikat semakin kuat dalam ruang narasi tunggal, lalu semakin menutup diri dari pendapat yang lebih netral apalagi berlawanan.
Pada taraf selanjutnya–tanpa ada sedikit pun keinginan untuk mengarahkan pembelaan kepada pihak mana pun–saya mulai mempertanyakan perihal yang kerap muncul dalam kiriman atau cuitan bernada negatif terhadap Najwa, yakni terkait reputasinya sebagai jurnalis yang kritis.
Apakah tepat untuk mempertanyakan kemampuan kritis yang dimiliki seseorang jika kita sendiri terjebak dalam echo chamber?