Satu Bekal untuk Sastra Indonesia: Keberanian
Tahun ini bisa dibilang menjadi salah satu tahun yang dipenuhi dengan apa yang ingin saya sebut dengan ‘peristiwa-peristiwa kesusastraan’ yang meninggalkan kesan reflektif bagi saya.
Dimulai dengan peluncuran program Sastra Masuk Kurikulum (dengan semua drama yang mengikutinya), pameran penyair Toeti Heraty, peringatan 100 Tahun A.A. Navis, sampai kegiatan Ngariung Tokoh Sastra, Bahasa, dan Literasi bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sepanjang berjalannya peristiwa-peristiwa itu, harus saya akui saya memilih untuk tidak berbicara (baca: menulis) terlalu banyak, terutama terkait Sastra Masuk Kurikulum. Ketika sejumlah penulis menyampaikan ragam pendapatnya terkait program pemerintah tersebut melalui cuitan dan kiriman di media sosial, komentar langsung di tongkrongan, sampai surat terbuka, saya memilih untuk menyimak dan mengolah, mendengarkan dan mencari pemahaman.
Ketika ramai-ramai komentar tentang Sastra Masuk Kurikulum mulai mereda, pergantian kepemimpinan dan perubahan nomenklatur dalam tubuh kementerian yang mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan (lagi-lagi) terjadi.
Pada satu sisi, perubahan tersebut sudah diperkirakan atau bahkan diharapkan. Harapan dan wacana terkait Kementerian Kebudayaan sudah memenuhi ruang-ruang diskusi paling tidak satu dekade lamanya. Sementara itu, Kementerian Pendidikan sudah cukup lama menjadi medan pertarungan politis yang rentan persaingan dan perebutan posisi.
Pada sisi lain, tidak semua dari kita siap dengan imbas struktural yang muncul sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar yang muncul kemudian terkait lembaga yang menangani urusan-urusan terkait Sastra Indonesia, tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Menyusul pelantikan presiden-wakil presiden dan jajaran kabinet Merah Putih pada 20 Oktober lalu, sempat terdengar kabar bahwa Badan Bahasa akan menjadi bagian dari Kementerian Kebudayaan yang baru saja terbentuk–satu hal yang barangkali juga menjadi harapan sejumlah pihak, terutama yang merasa bahasa dan sastra tidak semestinya ‘dibebani’ dengan peran di ranah pedagogi yang tentu sudah memiliki kompleksitasnya tersendiri.
Keberadaan dan posisi Badan Bahasa akhirnya diatur dan diperjelas melalui Peraturan Presiden №188 Tahun 2024 tentang Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Setelah kejelasan terkait nomenklatur tersebut, Badan Bahasa melayangkan undangan kepada ratusan ‘tokoh bahasa, sastra, literasi’ di kawasan Jabodetabek untuk mengadakan pertemuan dengan Mendikdasmen, Abdul Mu’ti.
Jumlah peserta yang diundang sebenarnya sudah memberikan sedikit petunjuk terkait jalannya diskusi. Kegiatan yang dinamai dengan ‘ngariung bareng’ itu hampir bisa dipastikan bukanlah sesi diskusi intens dengan tujuan akhir pengambilan keputusan bersama, alias tidak lebih dari ‘sesi curhat’.
Pada tataran kerja-kerja kebudayaan dan kesusastraan yang tidak berkaitan langsung dengan birokrasi dan perubahan terbaru dalam susunan kabinet saat ini, tahun ini amat berkesan bagi saya karena mendapatkan kesempatan untuk menggarap dua pameran tentang dua tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam Sastra Indonesia. Toeti Heraty sebagai penyair perempuan Indonesia pertama yang memasukkan gagasan feminisme dalam karya-karyanya, dan A. A. Navis sebagai prosais Minangkabau yang memilih tutur satir dalam menyampaikan pandangan kritisnya terhadap berbagai fenomena sosial.
Meski dalam hal skala keseluruhan rangkaian acara peringatan 100 Tahun A. A. Navis jauh lebih besar dibandingkan dengan satu kali pameran Toeti Heraty pada Juni 2024, saya menulis lebih banyak tentang Toeti Heraty dan proses persiapan pamerannya dibandingkan peringatan 100 Tahun A.A. Navis. Salah satunya alasannya adalah keberjarakan epistemologi yang tidak bisa saya tolak keberadaannya.
Pengalaman saya sebelumnya terlibat dalam kelompok riset yang mengkaji tentang sosok dan karya penulis perempuan sedikit banyak membentuk kerangka pikir dan kerja saya dalam meriset tentang tokoh sastra. Selain itu, corak kebudayaan Minangkabau yang kental dalam karya-karya Navis bagi saya juga bukan hal yang mudah untuk dipahami apalagi ditemukan keterkaitannya dengan identitas yang saya miliki.
Setelah terlibat dan mengalami semua peristiwa-peristiwa tersebut, barulah kini saya merasa punya bekal yang cukup untuk menyampaikan komentar dan pandangan. Ada satu benang merah yang dapat dan ingin saya tarik dari semuanya, yakni bahwa semua inisiatif, program, dan kegiatan yang telah dilakukan berbagai pihak sepanjang tahun ini berangkat dari keinginan untuk mengembangkan Sastra Indonesia–dengan serangkaian lapisan maknanya bergantung pada subjek inisiator beserta kapasitas dan tanggung jawab yang melekat pada masing-masing dari mereka.
Misalnya Kemendikbudristek melalui program Sastra Masuk Kurikulum ingin menjadikan karya sastra sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pembelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah, atau dalam kata lain berusaha membangun jembatan antara dunia pendidikan dan kesusastraan.
Kemudian melalui pameran Toeti Heraty bertajuk “Aku dalam Budaya”, di samping kepentingan keluarga dan ahli waris untuk memperingati tiga tahun kematiannya, kami menawarkan upaya untuk menempatkan Toeti Heraty sebagai seorang tokoh pemikir, bukan sekadar akademisi yang memenuh dorongan dan tuntutan untuk menempuh pendidikan sampai jenjang tertinggi dan mendapatkan pengakuan ‘guru besar’.
Sementara peringatan 100 Tahun A.A. Navis bermula dari keputusan Sidang Ke-42 UNESCO pada penghujung tahun lalu, sehingga rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Bahasa berkaitan dengan salah satu misi organisasi tersebut, yakni internasionalisasi bahasa dan sastra Indonesia. Pada saat yang sama, memperkenalkan kembali sosok dan karya Navis di kalangan pembaca Indonesia saat ini menjadi misi penting yang melandasi inisiatif-inisiatif seperti pameran dan penerbitan kembali buku yang membahas karya-karya Navis karya Ivan Adilla oleh Footnote Press.
Peristiwa kesusastraan berikutnya, yakni pertemuan antara tokoh bahasa, sastra, dan literasi dengan Mendikdasmen, berkaitan erat dengan kepentingan politik yang perlu dipenuhi oleh seorang Menteri baru, yakni membangun relasi dengan pemangku kepentingan atau stakeholder engagement. Dalam pengantar singkatnya, Mendikdasmen menyampaikan keinginan untuk mendengar aspirasi dari para pemangku kepentingan, yang tentu pada gilirannya nanti akan berbalas dengan dukungan publik terhadap kebijakan yang nantinya ditetapkan oleh pemerintah.
Benang merah pada tingkatan lebih lanjut yang dapat saya baca berikutnya berkenaan dengan hambatan atau potensi tantangan dari masing-masing peristiwa yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Dimulai dari program Sastra Masuk Kurikulum, ada sejumlah pihak yang meragukan kemampuan guru dalam memanfaatkan karya sastra yang telah direkomendasikan pemerintah sebagai bahan ajar di kelas.
Pemanfaatan tersebut dalam artian bukan sekadar memilih dari daftar rekomendasi lalu menugaskan peserta didik untuk membacanya lalu tuntaslah pekerjaan guru. Melainkan membaca terlebih dahulu buku yang telah dipilih, memahami petunjuk yang ada di buku panduan, menentukan metode dan strategi pengajaran yang sesuai untuk mata pelajaran tertentu (tidak terbatas untuk Bahasa atau Sastra Indonesia), membahas isi karya bersama murid, dan bahkan pada taraf tertentu mengeksplorasinya lebih lanjut misalnya sebagai materi alih wahana.
Senada halnya untuk aspek penerimaan di pihak murid. Berangkat dari pendapat–terkadang didukung dengan data–bahwa minat baca anak Indonesia berada pada tataran yang rendah, dikhawatirkan murid tidak akan mampu mencerna karya-karya sastra yang diajarkan di dalam kelas.
Di sisi lain, salah satu isu besar yang sempat merintangi implementasi program Sastra Masuk Kurikulum adalah respons publik terhadap karya-karya yang masuk dalam rekomendasi. Beberapa di antaranya dianggap tidak patut dijadikan bahan ajar di sekolah karena mengandung unsur-unsur seksualitas dan kekerasan.
Fenomena seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagai bagian dari penulisan skripsi, saya sempat melakukan kajian terkait serangan dan pelarangan novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck yang menjadi salah satu karya sastra paling sering dilarang di Amerika Serikat.
Buku tersebut menjadi musuh masyarakat di berbagai negara bagian, bertubi-tubi mendapatkan kecaman dari orang tua untuk tidak diajarkan di kelas atau untuk sekadar dimiliki oleh perpustakaan sekolah. Pertimbangan moralitas seperti misalnya penyebutan nama Tuhan secara profan, penggunaan kata-kata kasar dalam dialog, berpadu dengan operasi Red Scare yang berlangsung tak lama setelah Perang Dunia II, menjadi alasan dan faktor di balik serangan dan pelarangan atas The Grapes of Wrath.
Meski demikian, konteks zaman dalam hal ini menjadi relevan, khususnya berkaitan dengan penggunaan masif teknologi digital dan internet oleh pelajar dewasa ini. Hal-hal yang menjadi kekhawatiran publik nyatanya sudah menjadi konsumsi anak-anak melalui media sosial atau media massa dengan semakin terbukanya akses terhadap berbagai informasi.
Bahkan dengan bentuknya sebagai konten audio visual, dampak dari paparannya bisa dibilang jauh lebih langsung jika dibandingkan dengan penceritaan yang dituangkan dalam karya tulis.
Bagi saya cukup menggelikan jika kini banyak orang tua yang lebih memilih untuk memberikan gawai kepada anaknya, terutama ketika mereka ‘rewel’, membiarkan mereka menggunakannya tanpa pengawasan dan pembatasan berdasarkan usia, lalu kemudian merasa khawatir dengan satu-dua kalimat yang menjelaskan tentang tubuh manusia atau interaksi ketubuhan sesama manusia.
Jika dibandingkan dengan Sastra Masuk Kurikulum, tentu penyelenggaraan pameran Toeti Heraty dan peringatan 100 Tahun A.A. Navis bisa dibilang tidak memiliki hambatan yang terlalu berarti. Meski begitu, terlibat dalam kedua kegiatan ‘merayakan’ tokoh sastra memantik cukup banyak pertanyaan yang menggugah benak saya. Terutama terkait pekerjaan rumah untuk memperkenalkan dan memosisikan kembali tokoh-tokoh sastra beserta karya-karyanya.
Pada kenyataannya, masih cukup banyak rumpang dalam sejarah Sastra Indonesia yang selama ini diajarkan di sekolah dan kampus, atau yang coba dirangkai oleh beberapa kritikus dan peneliti. Selain itu, belum cukup banyak upaya yang dilakukan untuk membaca pola-pola gagasan yang ditawarkan penulis dalam karyanya sebagai upaya untuk menempatkannya sebagai seorang intelektual yang pemikirannya turut memiliki sumbangsih terhadap gagasan tentang Indonesia yang dinamis.
Sementara itu pertemuan yang diselenggarakan Kemendikdasmen sudah sepatutnya menjadi awalan dari serangkaian inisiatif di bidang bahasa dan sastra yang dalam perancangan dan implementasinya melibatkan para pegiat bidang tersebut, serta bertujuan untuk mengembangkan lebih lanjut ekosistem yang sudah ada.
Akan membutuhkan satu tulisan terpisah untuk mengidentifikasi dan menerangkan lebih lanjut tentang ruang-ruang dalam ekosistem sastra yang perlu dijajaki ke depannya. Namun, paling tidak rasanya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk membenahi dan semakin menguatkan ekosistem Sastra Indonesia, mulai dari lapisan produksi sampai diseminasi. Dengan demikian, jelas bahwa tindak lanjut dari pertemuan tersebut akan menghadapkan pemerintah dengan realitas-realitas yang selama ini dilakoni para pelaku dan barangkali belum menjadi landasan utama penyusunan kebijakan publik.
Pada tahapan refleksi berikutnya, saya ingin menjawab pertanyaan “lalu apa?” dari semua panjang lebar penjelasan saya. Kita telah mengetahui beragam peristiwa yang terjadi, mengingat tantangan-tantangan yang meliputi masing-masing peristiwa, sampai mengasumsikan kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Lalu apa?
Dengan masih berdiri di atas jalinan benang merah yang sama, saya akan mengatakan bahwa kita membutuhkan satu bekal yang mendasar dan berlaku untuk semua subjek. Bekal itu adalah keberanian.
Barangkali para penulis dan sastrawan perlu lebih berani untuk memberikan kepercayaan kepada para guru dalam mengajarkan karya-karya buah pemikirannya kepada para murid.
Barangkali orang tua perlu memberanikan diri untuk membaca karya sastra sebelum menyebutnya sebagai teks yang menyebabkan dekadensi moral.
Barangkali peneliti sastra perlu semakin berani mencari dan mengisi rumpang-rumpang dalam semesta historiografi dan epistemologi kesusastraan.
Barangkali pemerintah harus lebih berani bekerja sama dengan orang-orang di luar lingkaran birokrasi untuk benar-benar menjadi pelayan publik.
Membangun keberanian adalah menemukan harapan baru, menyusun titian langkah maju.