#SeabadPram: Mengenang dan Mengenal Pramoedya Ananta Toer
Tulisan ini merupakan naskah memorial lecture yang dibacakan pada kegiatan pembukaan Peringatan Seabad Pramoedya Ananta Toer di Pendopo Kabupaten Blora, 6 Februari 2025.
Suatu sore di tahun 2000, seorang laki-laki yang baru saja memasuki tujuh dekade perjalanan hidupnya, ditemani kopi githel (legi kenthel) dan seperangkat alat rokok tingwe (ngllinting dhewe), sedang bercengkrama dengan salah seorang dari sepuluh cucunya. Bukan satu peristiwa yang monumental. Orang tua selalu merasa berhak dan perlu untuk menceritakan pengalaman hidupnya kepada keturunannya. Biasanya cerita-cerita yang dikisahkan adalah cerita yang hebat, yang berani, yang membuat pendengarnya yang baru seumur jagung mendengarkan dengan terkagum-kagum dan terheran-heran.
Tapi laki-laki itu tidak punya kisah heroik untuk ia ceritakan. Atau paling tidak, ia memilih untuk tidak menceritakannya. Alih-alih, ia membagikan kisah hidupnya ketika terpenjara dalam bui, dibuang ke pulau nun jauh di timur Indonesia, sebagai seorang tahanan politik.
Cucunya, anak perempuan tujuh tahun, yang rutin mengunjungi rumahnya pada akhir pekan, mendengarkan tuturannya dengan anteng. Hanya sesekali anak itu mencuri kertas papir milik kakeknya hanya untuk ia jilati bagian ujungnya yang manis–tak peduli bahwa itu berarti mengurangi bahan yang dimiliki kakeknya untuk melinting tembakau. Sampai pada satu babak cerita ketika kakeknya menyodorkan ke hadapannya sebuah buku yang cukup tebal, dengan tampilan sampul buram. Sama sekali tidak menarik jika dibandingkan majalah Bobo yang diantarkan loper koran ke rumahnya setiap hari Jumat.
Gadis itu memercingkan matanya, mencoba menerka gambar dan tulisan judul yang tertera di kulit muka buku itu. Didapatinya rupa seorang laki-laki dengan topi caping lebar yang menutupi wajahnya sedang mencangkul sepetak sawah. Bukan suatu pemandangan yang aneh. Yang membuatnya keheranan adalah sulur jeruji besi yang membingkai petak sawah tersebut. Sepanjang yang ia tahu dan pernah lihat, tidak ada sawah yang dibatasi dengan jeruji besi berduri tajam seperti itu. Perlahan dan membatin dalam hati anak itu mengeja judul buku di hadapannya: “nya-nyi su-nyi se-o-rang bi-su”. Bukan judul yang menyenangkan untuk anak kelas 2 SD.
Tapi dibacalah juga buku itu olehnya; tentu dengan tertatih-tatih karena bank kosa kata dalam kepalanya belum mencukupi untuk memahami semua tulisan di dalamnya, dan juga karena satu pertanyaan besar dalam kepalanya: “kenapa Bapak Wadi menyuruhku membaca buku ini?”
Jawabannya barangkali tiba pada hari ini, dua puluh lima tahun kemudian. Anak perempuan itu sekarang berdiri di hadapan Ibu Bapak dan rekan-rekan semuanya, mendapatkan kehormatan yang luar biasa besar untuk menyampaikan memorial lecture tentang Pramoedya Ananta Toer pada peringatan seratus tahun usianya, di kampung halamannya Blora.
Ibu Bapak dan rekan-rekan yang saya muliakan,
Waktu seratus tahun memberikan ruang yang cukup lapang untuk mengingat dan mengenang. Pada saat yang sama, waktu seratus tahun juga menawarkan kesempatan untuk harapan akan masa depan. Karena alasan itulah menurut saya kita berkumpul pada hari ini, sebagai titik mula peringatan seabad Pram yang akan diselenggarakan sepanjang tahun.
Beberapa dari Ibu Bapak di sini barangkali pernah bertemu langsung dengan Pram, atau bahkan berkawan karib dengannya; sehingga momentum ini berfungsi sebagai ruang nostalgia, ruang untuk mengenang. Sementara beberapa dari kita, termasuk saya sendiri, adalah bagian dari generasi yang mengenal Pram sebagai ‘mitos’. Baik dalam sastra Indonesia sebagai penulis dari Indonesia yang pernah diusulkan untuk mendapatkan Hadiah Nobel Sastra, atau pun juga dalam sejarah politik Indonesia sebagai seorang intelektual yang dipersekusi oleh negaranya sendiri, maupun dalam gerakan sosial Indonesia sebagai ikon perjuangan hak asasi manusia. Maka momentum ini pun juga berfungsi sebagai ruang untuk mengenal Pram melalui jalan-jalan dan pintu-pintu baru, melalui perjumpaan-perjumpaan yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Saya teringat dengan salah satu potongan obrolan saya dengan Ayu Utami yang dua tahun lalu mengajak saya memperbincangkan Pram dari perspektif generasi muda dalam Siniar Salihara bertajuk ‘Pramoedya, Realisme dan Revolusi’. Mbak Ayu sempat mengatakan, “kalau di zamanku, membaca Pram itu seperti pakai narkoba. Dapat atau belinya sembunyi-sembunyi, bacanya harus diam-diam.”
Perumpamaan itu tidak bisa dianggap berlebihan, karena pada kenyataannya Kejaksaan Agung dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengeluarkan beberapa keputusan yang melarang peredaran buku-buku Pram serta penggunaannya di sekolah. Jika diakumulasi, ada empat belas buku Pram yang pernah terjerat sensor pemerintah, termasuk di antaranya Kuartet Buru, Hikayat Siti Mariah, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, berdasarkan penilaian bahwa ‘buku-buku Pram mengandung konsep-konsep Marxisme dan Leninisme dengan menggunakan data-data sejarah.’
Bahkan pada 1989, tiga orang mahasiswa dan aktivis Universitas Gadjah Mada ditangkap dan kemudian harus mendekam dalam bui selama tujuh sampai delapan setengah tahun karena kedapatan menjual dan menyimpan Bumi Manusia. Di sisi lain, Hilmar Farid dalam disertasinya juga sempat sekilas menceritakan pengalamannya membaca karya Pram ketika masih kuliah–mengaku ada rasa bangga dalam benaknya karena bisa membaca ‘buku terlarang’.
Generasi yang lahir menjelang kejatuhan Orde Baru pada 1998 dan pasca-Reformasi tentu tidak lagi mengalami masa-masa ketika membaca karya Pram seperti memakai narkoba atau merasakan sensasi ngeri-ngeri sedap karena bisa mengakses buku yang dilarang pemerintah. Tapi bukan berarti akses terhadap karya dan pemikiran Pram seketika terbuka lebar ketika rezim berganti. Masih ada imbas dari kekerasan intelektual yang terjadi pada masa Orde Baru dengan orkestrasi kampanye hitam tentang paham-paham dan organisasi-organisasi revolusioner, diberlakukannya sensor dan pembatasan hak bicara, sampai pemenjaraan, pencabutan paspor dan visa, dan bahkan pembunuhan atas tokoh-tokoh pemikir.
Tidak jarang saya mendengar cerita dari kawan-kawan sebaya yang mengaku tidak bisa membaca buku-buku Pram ketika masih kecil karena tidak diberi izin oleh orang tuanya yang pernah merasakan hidup di bawah kecaman dominasi militerisme dan otoritarianisme. Selain itu, kurikulum pendidikan formal yang disusun dan diterapkan pasca-Reformasi juga belum memberikan ruang bagi karya-karya Pram untuk dibaca dan dipelajari, baik dalam konteks intrakurikuler, maupun kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Namun, sastra pada gilirannya menemukan jalannya untuk bersua dengan para pembacanya. Pada masa ketika kuku tajam Orde Baru mencabik-cabik kebebasan rakyat, ada orang-orang yang berani untuk bergerak di bawah tanah, mengupayakan agar karya Pram bisa dibaca, diterbitkan, disebarkan, dan bahkan diterjemahkan.
Dan berkumpulnya kita pada hari ini adalah bukti nyata bahwa Pram tidak hanya berumur panjang melintasi zaman, melainkan juga berhasil menembus berbagai rintangan yang menjadikan aktivitas membaca karyanya dan mempelajari pemikirannya sebagai suatu tindakan subversif.
Kini, memasuki dua puluh tujuh tahun jatuhnya Orde Baru, berbagai perubahan dan dinamika sosial, politik, dan budaya telah terjadi di Indonesia. Tidak terkecuali cara kita mengakses dan menyebarkan informasi dan pengetahuan. Telah lahir angkatan-angkatan generasi yang tidak lagi belajar membaca dari pelajaran mendikte atau mencongak, tetapi dari konten media sosial; generasi yang tidak lagi pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi, melainkan bertanya kepada Google atau bahkan ChatGPT dan Gemini; generasi yang tidak lagi mengenal Pram pertama kali dari membaca karyanya.
Untuk kebutuhan memorial lecture ini, saya sempat melakukan wawancara kecil-kecilan dengan beberapa kawan kelahiran pasca-Reformasi yang membaca buku Pram. Enam orang yang saya tanyai ini bukan mahasiswa jurusan Sastra atau berkecimpung dan bekerja di dunia sastra, sehingga pada dasarnya mereka tidak punya semacam kewajiban untuk membaca buku Pram. Jawaban mereka atas pertanyaan “dari mana awalnya kamu mengenal Pram?” agaknya sama sekali tidak pernah diterka oleh Pram sendiri.
Saya kok cukup yakin kalau Pram tidak pernah membayangkan tokoh Minke yang terinspirasi dari Tirto Adhi Soerjo, seorang jurnalis muda dengan semangat nasionalisme yang membara dalam dadanya, akan diperankan oleh seorang aktor dan penyanyi boyband yang digandrungi khalayak remaja karena wajahnya yang caem dan unyu-unyu. Bahkan tidak lama setelah film Bumi Manusia diputar di bioskop, banyak sekali bermunculan kritik terhadap cerita dari film tersebut yang dianggap terlalu picisan.
Dalam hal ini, kita bisa berdebat panjang lebar tentang keputusan-keputusan artistik Hanung Bramantyo atau bahkan tentang sejauh mana alih wahana, dalam hal ini ekranisasi, harus patuh dengan teks atau karya sumber. Namun, pada kenyataannya empat dari enam orang yang saya wawancarai mengakui mengetahui nama Pram untuk pertama kalinya dari Dilan. (Hehehe) Maksud saya dari menonton Bumi Manusia, didorong oleh kesukaan mereka terhadap Iqbaal Ramadhan, pemeran tokoh Minke.
Jawaban yang saya peroleh dari dua narasumber lainnya juga tidak kalah menarik. Salah satu dari mereka mengaku tergerak untuk membaca Bumi Manusia setelah membaca novel Laut Bercerita karya Leila Chudori. Adapun ia tertarik untuk membaca Laut Bercerita setelah mengikuti konten viral seorang pemengaruh yang cukup terkenal di jagat TikTok. Sementara seorang lagi menceritakan pengalamannya pertama kali mendengar nama Pram dari postingan media sosial kawannya tentang salah satu kutipan dari Bumi Manusia: “menulislah maka kamu akan abadi”. Ia mendapati kutipan itu sesendu kopi senja, sehingga terpantiklah keinginan untuk membaca novel tersebut dan mengenal Pram lebih lanjut.
Sekali lagi kita bisa berdebat panjang lebar tentang penggambaran tokoh aktivis dalam Laut Bercerita yang dianggap beberapa orang–yang mengaku dirinya aktivis–terlalu cengeng dan melankolis. Atau memperdebatkan betapa recehnya fenomena ‘anak sekarang’ yang hobi memposting kutipan penulis atau karya terkenal di media sosial untuk membentuk citra sebagai seorang kutu buku. Tapi kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa dengan cara-cara itulah karya-karya Pram masih dibaca sampai hari ini.
Bahkan barangkali kita juga harus bersiap dengan suatu masa ketika Pram dikenal melalui meme layaknya William Shakespeare yang karya-karyanya masih dibaca, dipelajari, dan dipentaskan sampai hari ini setelah empat ratus lima puluh tahun lebih usianya; atau bahkan dari hasil rekayasa kecerdasan buatan.
Namun, sebelum semua itu terjadi, pada kesempatan yang baik ini saya ingin mengajak kita semua untuk melihat lebih dalam karya-karya Pram. Secara khusus, saya ingin menelusuri dan menggali jejak-jejak ‘gelora muda Pramoedya’, sebagai bekal kita membangun jalan dan pintu baru bagi generasi muda untuk mengenal Pram.
Sejatinya kita tidak bisa menafikan kenyataan bahwa Pram menyimpan optimisme yang besar terhadap generasi muda. Kata-kata terakhir Pram yang kemudian terpatri di nisan makamnya adalah “pemuda harus melahirkan pemimpin”. Seseorang yang tidak memiliki harapan dan kepercayaan luar biasa besar terhadap golongan muda tidak akan mengutarakan hal semacam itu sebagai kata-kata terakhirnya sebelum meninggal dunia. Dan optimisme tersebut sesungguhnya juga bukan semata pemanis batu nisan, tetapi sudah menjadi tema dan motif dalam sejumlah karya yang ditulis Pram, baik non-fiksi maupun fiksi.
Kutipan yang terpatri di nisan Pram sempat ia tuturkan secara langsung dalam pidato kebudayaan yang disampaikannya di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada peringatan Hari Buku Sedunia 23 April 2003. Dalam orasinya yang bertajuk ‘Asia-Afrika! Buku, Tatanan Dunia Baru’, Pram membahas tentang hilangnya sosok pemimpin di Indonesia. Negara ini tidak lagi melahirkan sosok seperti Bung Karno, yaitu sosok orang Indonesia dengan nilai-nilai keIndonesiaan yang luas. Adapun pemimpin-pemimpin setelah Bung Karno tidak melanjutkan apa-apa yang telah dilakukannya, salah satunya menjadikan Indonesia sebagai mercusuar dunia antiimperialisme.
Masih dalam penyampaian orasi tersebut, Pram turut menyinggung peran orang-orang muda dalam gerakan Reformasi 1998, yang ia hormati dan sanjung tinggi-tinggi. Tapi ia menyayangkan “generasi muda yang berprestasi tinggi itu tidak melahirkan pemimpin sampai sekarang”. Peristiwa Reformasi, menurut Pram, berhasil melahirkan para pembesar, tetapi gagal melahirkan pemimpin.
Barangkali ada atau bahkan banyak orang yang tidak sepakat dengan kekecewaan Pram akan Reformasi. Tetapi agaknya kita bisa sependapat dengannya terkait minimnya sosok pemimpin di Indonesia saat ini. Orang-orang yang menduduki kursi-kursi kepemimpinan pada nyatanya tidak lebih dari birokrat tidak bergigi dengan pangkat dan jabatan. Atau pada kasus yang lebih buruk adalah para purnawirawan dalam periode post-power syndrome-nya, atau orang-orang yang haus kuasa dan tahta. Mereka bukan para pemuda dengan tekad kuat untuk memberi kepada bangsanya.
Kegelisahan Pram adalah kegelisahan kita semua, kegelisahan bangsa Indonesia.
Ibu Bapak dan rekan-rekan yang saya muliakan,
Tadi sekilas saya sudah sempat menyebut tentang Minke. Ia adalah tokoh utama yang mewarnai dan menggerakkan cerita dalam Kuartet Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Terinspirasi dari sosok Tirto Adhi Soerjo, seorang intelektual muda yang namanya nyaris dilupakan dalam sejarah pergerakan nasional, Minke dapat dibaca sebagai idealisasi Pram tentang pemuda Indonesia. Ia bukan sekadar seorang pemuda terpelajar, tetapi seorang pemuda terpelajar yang mau mengabdikan ilmu yang diperolehnya untuk kemajuan bangsanya.
Bukankah sampai hari ini sosok tersebut masih terus kita cari dan coba temukan? Narasi tentang pemuda yang cerdas dan rela berkontribusi bagi sesama sampai hari ini terus digaungkan di berbagai kesempatan, bahkan menjadi semacam jargon untuk program beasiswa yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Hal menarik lain dari tokoh Minke adalah relasinya dengan Nyai Ontosoroh. Kekaguman Minke terhadap Nyai Ontosoroh dan kemauannya untuk mendengarkan nasihat-nasihat Nyai Ontosoroh, terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang perempuan yang dijual untuk menjadi gundik Belanda, menunjukkan sifat rendah hati seorang pemuda terpelajar. Nikmatnya ilmu yang diperolehnya dari pendidikan formal yang tidak dirasakan oleh sebagian besar bumiputra tidak menjadikannya bebal, angkuh, dan merendahkan orang lain.
Melalui Minke, Pram mengejawantahkan idealisasinya tentang pemuda Indonesia, yakni pemuda yang tidak hanya pintar tetapi juga bijaksana sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Sosok Nyai Ontosoroh pun memberikan pelajaran berharga bagi para perempuan muda. Kelegaan dan keleluasaan yang sebagian banyak perempuan Indonesia nikmati hari ini tidak turun dari langit atau lahir dari ruang vakum, melainkan dibangun dengan pondasi darah dan air mata perjuangan perempuan-perempuan yang dikungkung oleh kolonialisme yang berkelindan dengan feodalisme. Nyai Ontosoroh menunjukkan tidak hanya keberaniannya untuk melawan sistem patriarki yang beroperasi di luar dirinya, tetapi yang tidak kalah penting juga adalah keberanian untuk tidak membiarkan dirinya menginternalisasi nilai-nilai yang mengukungnya sebagai perempuan.
Bukankah itu tantangan yang nyata dewasa ini? Yaitu ketika perempuan itu sendiri merelakan dirinya dipengaruhi atau bahkan dikuasai oleh rasa takut untuk berbicara, rasa takut untuk menjadi pemimpin; atau termakan oleh godaan-godaan merdu bernama tren fesyen dan konstruksi kecantikan yang sebenarnya merupakan wujud-wujud lain dari bagaimana industri dengan hasratnya untuk menguasai berupaya untuk mengatur tubuh, perilaku, dan pikiran perempuan.
Kemudian di karya fiksi yang lain, seperti Di Tepi Kali Bekasi, pembaca diperkenalkan dengan tokoh Farid. Ia adalah seorang pemuda sukarelawan yang melibatkan dirinya dalam pertempuran melawan penjajah Belanda. Keith Foulcher telah menunjukkan bahwa roman ini berdasarkan pada ideologi pemuda revolusi. Farid mewakili angkatan muda ini, yang baginya memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia melampaui segala-galanya. Keadilan sosial dan kemanusiaan, itulah esensi ideologi pemuda, sebagaimana tergambarkan secara kuat melalui tokoh Farid dalam roman tersebut. Bahkan Pram seakan tidak ingin memberikan ujung untuk perjuangan yang dilakukan Farid sampai akhir cerita, dengan mengatakan kemenangan pemuda ‘terletak pada kemauan dan keberanian mereka sendiri.’
Generasi muda saat ini dan di tahun-tahun mendatang barangkali bisa saja dengan mudah mengatakan, “Indonesia sudah lama merdeka”, dan kelanjutannya, “lalu untuk apa membaca karya-karya Pram?” Sudah barang tentu kita sudah tidak lagi berhadapan dengan penjajahan bangsa asing dalam definisi pendudukan dan konflik fisik. Tetapi sejauh mana sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka semerdeka-merdekanya ketika impunitas masih melanda alam bawah pikir sebagian masyarakat dan menjadi landasan dari pekerjaan aparatur negara; ketika masih ada perempuan yang berusaha mati-matian untuk melepaskan diri dari jeratan kawin paksa bawah umur; ketika begitu banyak rekan-rekan disabilitas yang tidak mendapatkan haknya sebagai manusia?
Di sinilah pemuda intelektual, pemuda pemberani, pemuda ideologi masih sangat dibutuhkan. Dan Pram sejak jauh-jauh hari telah memberikan petunjuk akan sosoknya kepada kita semua. Persoalannya terletak pada apakah kita bisa memperkenalkan idealisasi Pram tentang pemuda dalam karya-karyanya tersebut kepada golongan muda; sembari terus menyalakan tanda peringatan “generasi muda yang tidak punya keberanian, ia sama dengan ternak!”
Ibu Bapak dan rekan-rekan Pramis yang saya muliakan,
Seperti itulah harapan, impian, dan panggilan Pram kepada golongan muda. Pesan-pesan itu merupakan bahan-bahan yang bisa kita susun bersama untuk membangun jalan-jalan perjumpaan bagi generasi muda lintas zaman dalam mengenal Pram. Barangkali untuk saat ini, kita mau tidak mau harus mengakui bahwa salah satu cara ‘paling mudah’ untuk memperkenalkan Pram dan karya-karyanya adalah melalui kutipan-kutipan yang sendu dan catchy, seperti pengalaman seorang kawan yang sempat saya ceritakan tadi. Dan berbicara tentang kutipan, Pram juga kerap menyampaikan di beberapa kesempatan bahwa baginya ‘menulis adalah sebuah tugas nasional’.
Menulis adalah tugas nasional. Pernyataan itu menunjukkan dengan terang kesungguhan Pram dalam melakoni pekerjaannya sebagai penulis, dan kesadaran Pram akan pentingnya profesi, aktivitas, dan hasil yang dibuat seorang penulis.
Saya sendiri harus mengakui bahwa buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu pemberian kakek saya itulah yang menjadi pijakan untuk menulis dan menerbitkan novel pertama saya, Buku Harian Keluarga Kiri. Novel tersebut mengisahkan pengalaman kakek ketika menjalani kehidupan di tahanan Orde Baru serta bagaimana nenek bersama ibu saya dan kedua saudarinya bertahan tanpa kehadiran suami dan ayah selama satu dekade lebih.
Seperti itulah Pram menjalankan tugas nasionalnya, dalam pemaknaan personal generasi ketiga penyintas pelanggaran HAM massal, sehingga ia bisa membawa identitas ‘cucu eks-tapol’ dengan penuh kebanggaaan.
Sementara untuk pemaknaan dalam konteks yang lebih luas, pertama saya ingin memperluas subjek dari kutipan tersebut. ‘Menulis’ dalam hal ini sepatutnya tidak dimaknai secara terbatas dan literal, tetapi diperluas menjadi ‘berkarya’. Tentu yang saya maksud di sini bukan ‘karya’ dalam padat karya atau Golongan Karya a la Orde Baru, melainkan kerja-kerja kreatif yang kita lakukan dengan profesi dan peran yang kita jalani masing-masing. Baik itu penulis, seniman, atau bahkan peneliti dan pejabat sekali pun.
Sampai hari ini masih ada kecenderungan pembatas-batasan atau pengotak-kotakkan yang memisahkan antara kerja-kerja kreatif dan non-kreatif. Kreativitas menjadi emblem yang disematkan untuk pelukis, penulis, pematung, dan profesi-profesi lain yang menghasilkan karya seni. Sementara profesi-profesi seperti ilmuwan, peneliti, dan pejabat kerap kali ditempatkan di kotak non-kreatif, karena aktivitas yang dikerjakan dianggap tidak melibatkan proses-proses kontemplasi dan refleksi.
Padahal, seorang peneliti dan ilmuwan berkreasi dengan metodologi riset atau eksperimennya, lalu berkontemplasi dengan data yang berhasil dikumpulkannya untuk menghasilkan suatu kesimpulan atau teori. Sementara itu, para pengambil keputusan juga sudah semestinya melakukan kerja-kerja kreatif dan melibatkan proses reflektif untuk memastikan kebijakan yang dibuatnya memang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat banyak.
Kedua, yang tidak kalah penting untuk diperiksa lebih lanjut adalah kata ‘nasional’ dalam frasa ‘tugas nasional’. Barangkali agak lebih mudah bagi Pram dan pemikir sezamannya untuk memahami dan mendefinisikan gagasan tentang nasion. Musuh yang bangsa Indonesia hadapi kala itu nyata dan terang adanya, yakni kolonialisme yang menjadi sumber ketidakadilan dan kesengsaraan, serta hulu dari kerusakan dan kebinasaan. Segala daya upaya dikerahkan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan. Bahkan bagi generasi berikutnya yang hidup di bawah represi Orde Baru pun bisa dengan tegas menudingkan jari ke arah pemerintahan yang otoriter. Kemarahan yang dialamatkan pada musuh bersama akhirnya membuahkan gerakan perlawanan yang berhasil menjatuhkan tirani yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa yang demokratis.
Dengan demikian, nasion bukanlah gagasan atau wacana yang statis-stagnan dan natural-terberi. Tentu kita mengenal konsep-konsep yang terkesan pasti, kasat mata, dan benar, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia atau batas-batas wilayah darat, laut, dan udara. Namun, semua hal itu pun juga sebenarnya tidak bebas dan imun dari pertentangan dan kontestasi. Disertasi Hilmar Farid telah menunjukkan bagaimana karya-karya Pram yang ditulis di Pulau Buru, antara lain Arok Dedes, Arus Balik, dan Kuartet Buru menyumbangkan konsepsi berharga untuk memaknai Indonesia sebagai nasion dalam konteks poskolonial.
Menurut Hilmar Farid, Arok Dedes dan Arus Balik menghadirkan wacana tandingan terhadap gagasan Nusantara sebagai entitas yang terbentuk secara natural dan transhistoris. Sementara itu, Kuartet Buru menantang gagasan bangsa Indonesia–dan negara–sebagai hasil alamiah dari sejarah bersama. Pengembangan karakter Minke dalam keempat roman tersebut juga memberikan petunjuk akan gagasan Pram bahwa bangsa merupakan sebuah proses, bukan hasil akhir ataupun titik permulaan.
Dengan semua babak yang sudah dilalui bangsa Indonesia, pertanyaan yang patut dilontarkan kemudian adalah seperti apa konsep nasion yang berlaku dewasa ini, yang berada dalam alam pikir golongan muda Indonesia? Bagaimana memaknai ‘menulis atau berkarya adalah tugas nasional’ ketika pada satu sisi ada kehidupan yang jauh lebih bebas dan merdeka, tetapi pada sisi lain masih diliputi kekhawatiran akan terkena gas air mata atau pukulan aparat saat berdemo? Ketika pada satu sisi kita sekarang bisa menenteng buku Pram ke mana-mana tanpa khawatir ditangkap, tetapi pada sisi yang lain terkadang juga masih digentayangi oleh hantu propaganda antikomunis?
Sungguh bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Jauh lebih sulit dari mencari kutipan sendu dari buku Pram untuk diposting di media sosial. Bahkan lebih sulit dari membaca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu di usia tujuh tahun. Tapi karena sudah kadhung berdiri di sini maka saya akan mencoba menjawabnya juga. Semoga tidak akan terjerat Pasal 433 UU №1 Tahun 2023 alias pasal tentang pencemaran nama baik. (Hehehe)
Tugas nasional yang perlu kita jalankan di zaman kontradiktif dan wolak walik (tapi tidak senikmat tahu walik!) seperti saat ini menurut saya adalah berkarya untuk mengingat. Tampak dengan jelas tanda-tanda bahwa kita dibawa menuju ruang gelap pelupaan, di mana kita menaruh kepercayaan kepada para pelaku kekerasan HAM sebagai pemimpin; di mana gerak langkah kita dipacu oleh target-target numerikal yang dingin dan egois, bablas trabas tanpa mempertimbangkan ada keberlangsungan manusia dan biota yang dipertaruhkan.
Dengan menulis, dengan berkarya, apapun pekerjaan yang kita jalani atau bahkan genre seni dan sastra yang kita dalami, kita perlu terus menyalakan alarm pengingat bahwa nasion dan bangsa yang merdeka adalah yang masyarakatnya terus mengingat perjuangan pendahulunya, yang pemimpinnya mau mengakui kesalahan dan pelanggaran besar di masa lalu, mau membangun masa depan dengan mengedepankan kemanusiaan. Karena sejatinya, “kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”
Dengan demikian, Ibu Bapak dan kawan-kawan yang saya muliakan, “menulis–atau berkarya–adalah tugas nasional” maknanya melampaui pemisahan antara siapa-siapa yang patut dinamai pekerja kreatif dan pendefinisian tentang nasion yang singkat dan sempit. Ini adalah tentang proses jangka panjang, perjalanan jarak jauh, tentang memaknai dan memahami Indonesia dengan semua tumpah darah dan air mata rakyatnya–yang terkadang harus mengalir karena sesama bangsanya sendiri.
Mari jadikan tugas itu tanggung jawab kita semua, di mana golongan muda dengan kecerdasan, keberanian, dan kebijaksanaannya mengambil peran sebagai pemimpin. Dan tidak ada waktu yang lebih tepat dari hari ini untuk meresapi pesan Pram tersebut dan menjadikannya sebagai pijakan kita dalam berpikir, bertindak, dan berkarya.
Ibu Bapak dan rekan-rekan semuanya.
Kita telah membicarakan cukup banyak tentang aspek temporal dari karya dan pemikiran Pram, bagaimana ia berhasil melintasi zaman. Karena kita saat ini berkumpul di sini, sungguh tidak afdol jika kita melewatkan begitu saja pembicaraan tentang aspek spasial dari karya-karya Pram dan peringatan seabad Pram.
Dipilihnya Blora sebagai lokasi penyelenggaraan kick-off peringatan seratus tahun Pram merupakan keputusan yang tidak bisa dianggap kebetulan atau tidak bermakna apa-apa. Keputusan serupa juga kami ambil tahun lalu untuk peringatan seratus tahun Ali Akbar Navis, di mana kami memulai rangkaian acara di Padang, Sumatra Barat, sebelum kemudian menyebar di seluruh Indonesia dan sampai ke Prancis. Pertimbangan yang mengarah pada keputusan tersebut adalah di samping karena kebudayaan Minangkabau melekat kuat dalam hampir semua karya A.A. Navis, ia juga sepanjang hidupnya tidak pernah berpindah atau meninggalkan Sumatra Barat–yang dalam konteks kebudayaan Minangkabau bisa dibaca sebagai perlawanan terhadap tradisi merantau.
Tentu hal yang berbeda terjadi dengan Pram yang beberapa kali menjejakkan kaki keluar dari tanah kelahirannya. Misalnya ke Surabaya ketika ia menempuh pendidikan di Sekolah Kejuruan Radio, lalu Nusakambangan dan Pulau Buru (tentu saja yang ini di luar kuasa dan kemauannya), sampai Jakarta. Meski demikian, Blora tetap memberikan kesan yang bermakna dan nostalgik bagi Pram, sebagaimana tampak dari sejumlah karyanya yang menjadikan Blora sebagai latar.
Salah satunya adalah Perburuan yang ditulis ketika Pram berada dalam penjara Belanda pada 1949. Roman tersebut memberikan gambaran tentang situasi di Blora pada masa-masa akhir pendudukan militer Jepang. Perburuan dengan cepat meraup kesuksesan besar setelah meraih hadiah pertama dalam Sayembara Sastera Balai Pustaka tahun 1949, berkat jasa H. B. Jassin yang mengikutsertakannya dalam sayembara tersebut tanpa sepengetahuan penulisnya.
H. B. Jassin kemudian juga turut menyumbangkan pembacaannya atas karya Pram lain yang berlatar di Blora, bukan lain Cerita dari Blora, yang dilibatkan sebagai pengantar terbitan pertama kumpulan cerpen tersebut pada 1952. Jassin mendapati Pram banyak “teringat kepada negeri kelahirannya Blora” ketika ia berada dalam keterasingan sebagai tawanan Belanda selama 29 bulan. Sebelas kisah yang terhimpun dalam Cerita dalam Blora memberikan petunjuk kepada pembacanya tentang kehidupan keluarga di Blora pada periode Revolusi dan pascakemerdekaan. Cerita-cerita yang cenderung bernuansa muram, meski diceritakan dari sudut pandang anak-anak, menggarisbawahi kritik Pram tentang situasi setelah kemerdekaan yang tidak terlalu mengubah nasib masyarakat di kota kecil di Jawa Tengah.
Namun, Pram sejatinya tidak hanya sekadar mengingat dan menggambarkan kembali Blora dalam karya-karya tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh A. Teeuw, “bukan sastra mendapat nilai tambahan dari persesuaian dengan kenyataan, melainkan kota Blora mendapat nilai tambahan berkat cerita-cerita Pramoedya. Kota Blora yang tidak berarti itu menjadi mempesona, mendapat wajah dan identitas, diberi tempat di Jawa dan dalam sejarah Indonesia yang tidak pernah diperkenankan pada kebanyakan kota semacam itu. Kita sebagai pembaca mulai kerasan di Blora, kita sendiri menjadi orang Blora.”
Demikian bermaknanya Blora bagi Pram dan Pram bagi Blora, sebagai tanah kelahiran, sebagai situs ingatan, dan sudah semestinya menjadi pintu masuk untuk mengenal Pram bagi generasi penerus.
Selain Blora, Jakarta juga mendapatkan porsi yang besar dan penting dalam karya-karya Pram, khususnya Jakarta selepas perang kemerdekaan. Pada periode tahun 1950 sampai 1956, Pram banyak menulis tentang Jakarta, membuahkan di antaranya novel Cerita dari Jakarta, serta roman pendek Gulat di Jakarta, Korupsi, dan Midah Si Manis Bergigi Emas. Sumbangsih terbesar dan terpenting Pram melalui tulisan-tulisannya tentang Jakarta adalah penggambaran kenyataan di kota pusat pemerintahan dan ekonomi setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia sebagai negara merdeka.
Di tengah gempita perayaan kebebasan dari penjajahan bangsa asing, Pram memilih untuk menyinggung dan menonjolkan kehidupan orang-orang yang termarjinalkan, yang mesti bergulat, yang hidupnya tidak tersentuh gita gempita tersebut. Orang-orang itu di antaranya seperti pengamen, pembantu rumah tangga, sampai orang dengan disabilitas dan perempuan pekerja seks komersial. Pada kesempatan lain, pembaca juga diberi petunjuk yang terang akan kritik tajam dan kasar Pram terhadap praktik-praktik borjuasi yang dilakukan oleh orang-orang kota kaya raya. Praktik-praktik yang merendahkan dan menginjak-injak mereka yang tidak seketika merdeka ketika negara Indonesia akhirnya terbentuk.
Tulisan-tulisan Pram tentang Blora dan tentang Jakarta menunjukkan dengan jelas bahwa Pram menjadikan realisme sosial yang berdasarkan humanisme sosialis atau humanisme proletar sebagai tesis utamanya dalam menulis. Humanisme yang berlawanan dengan humanisme borjuis.
Sekarang kedua kota tersebut, Jakarta dan Blora, menjadi, atau paling tidak dijadikan, sebagai kota harapan. Pada satu sisi, Jakarta menjadi tujuan untuk merantau, mengadu nasib, memperbaiki kehidupan dengan segala hal yang mesti dipertaruhkan. Pada sisi lain, Blora digadang-gadangkan sebagai kota yang tepat untuk menjalani slow living, untuk melarikan diri–baik untuk sementara atau pun jangka panjang–dari kesibukan dan tuntutan yang mencekik leher. Narasi-narasi itu bisa saja menggelontorkan pendapatan yang menggiurkan dari sektor bisnis, industri, dan pariwisata; mencetak angka-angka yang cantik di laporan pemasukan, mencapai target-target yang dingin.
Tapi jika kembali merefleksikan karya-karya Pram tentang dua kota tersebut, kita semestinya tidak dengan mudah tergiur dan tenggelam dalam praktik-praktik penjajahan berkedok peningkatan kesejahteraan. Kisah-kisah orang-orang yang terpinggirkan dalam cerita-cerita tentang Jakarta dan Blora memberikan kita lensa untuk melihat kedua kota tersebut sebagai ring gulat, di mana selalu ada orang-orang yang berjuang untuk hidupnya di antara mereka yang punya cukup atau berlebih uang untuk bermain saham atau bervakansi slow living.
Ibu Bapak serta rekan-rekan semua yang saya hormati dan muliakan,
Agaknya terlalu banyak yang bisa dan perlu kita baca dari Pram untuk disampaikan pada satu kesempatan memorial lecture atau bahkan sepanjang tahun peringatan satu abadnya. Jika dari karya-karya yang sudah diterbitkannya kita mendapatkan petunjuk tentang idealisasi pemuda pemimpin, tentang konsepsi bangsa dan nasion, tentang sisi gelap nan nyata dari kota-kota harapan, masih ada sejumlah karya yang belum sempat diterbitkan ketika ia masih hidup. Yang berarti masih ada banyak lagi gagasan dan pemikiran yang bisa dikenang dan diperkenalkan.
Membaca Pram adalah pekerjaan yang tidak kunjung usai, itu pun jika ada kata usai.
Peringatan seratus tahun Pram adalah titik mula dari siklus mengenang dan mengenalnya, yang sudah sepatutnya terus bergulir. Sebagaimana Pram percaya bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, maka saya pun percaya bahwa terus mengenang dan terus mengenal Pramoedya Ananta Toer adalah bekerja untuk mengantarkannya menuju kekekalan.
Terima kasih. Rahayu.
Blora, 6 Februari 2025