Sekilas tentang 15 perempuan di antara 200 Pahlawan Nasional
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejak 1959 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 Tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur, Indonesia memperingati 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Peristiwa Pertempuran Surabaya 1945 yang melibatkan laskar rakyat dalam upaya memukul mundur tentara Belanda menjadi momentum sejarah modern Indonesia yang narasinya diambil untuk peringatan Hari Pahlawan, mengindikasikan kelenturan pada definisi dan kategorisasi atas apa dan siapa yang dapat dianggap sebagai pahlawan. Yang bisa dianggap sebagai pahlawan tidak selalu mereka yang tersemat pangkat di bahunya atau tersimpan pistol dalam saku celananya.
Pada level personal, masing-masing orang mungkin memiliki gambaran dan sosok pahlawannya sendiri-sendiri. Definisi dan kategorisasi yang dibentuk sendiri dengan pemaknaan pribadi. Kecenderungan tersebut tentunya tidak berlaku untuk narasi negara yang selalu diramaikan dengan kontestasi kepentingan dan ideologi, sebagaimana terlihat dari penetapan Pahlawan Nasional yang menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian Sosial.
Masih basah dalam ingatan beberapa dari kita perdebatan terkait wacana mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional yang mendapatkan dukungan dari kroni-kroni politiknya, serta kontestasi identitas Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional yang dihempaskan dalam sejarah karena peran dan sosoknya sebagai tokoh kiri.
Berkenaan dengan kemelut politik dan kepentingan dalam pemilihan dan penetapan Pahlawan Nasional, saya sempat menulis pada salah satu artikel untuk laman situs pribadi saya (yang saat ini sedang dalam tahap perbaikan) terkait perbandingan jumlah pahlawan nasional perempuan dan pahlawan nasional laki-laki. Sampai hari ini, hanya ada 15 tokoh perempuan dari total 200 Pahlawan Nasional yang diakui negara sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 241 Tahun 1958 Tentang Tata Tjara Penetapan Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Saya ingin kembali mengangkat isu ini karena pada Senin (7/11), Presiden akan memberikan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara kepada lima tokoh laki-laki sebagai peringatan Hari Pahlawan tahun ini. Kelima tokoh tersebut adalah dr. Soeharto, KGPAA Paku Alam VIII, H. Salahuddin bin Talibuddin, dan KH. Ahmad Sanusi.
Sebagai bentuk apresiasi kepada negara yang sepertinya belum ingin melakukan riset lebih mendalam terhadap tokoh-tokoh perempuan atau memiliki lebih banyak pertimbangan untuk mengesahkan tokoh perempuan sebagai Pahlawan Nasional, pada tulisan kali ini saya ingin mengingatkan kembali secara sekilas tentang 15 perempuan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden. Penyebutan para tokoh berikut diurutkan berdasarkan tahun pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional Kemerdekaan.
- Cut Nyak Dhien (1964)
Narasi tentang kepahlawanan Cut Nyak Dhien sampai hari ini–sayangnya, tetapi tidak terlalu mengherankan–seringkali menitikberatkan pada sisi emotif tentang seorang perempuan yang turun ke medan perang didorong rasa marah atas kematian dua suaminya. Mungkin hal tersebut ada benarnya, tapi ada latar belakang biografis yang agaknya cenderung dikesampingkan dalam narasi kepahlawanan Cut Nyak Dhien.
Lahir di keluarga bangsawan uleebalang, hampir dapat dipastikan bahwa Cut Nyak Dhien berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik daripada kebanyakan masyarakat Aceh atau bahkan seluruh Nusantara di abad ke-19. Konteks budaya pada saat itu memang mengharuskannya menikah di usia sangat muda, yakni 12 tahun sampai akhirnya suami pertamanya tewas pada pertemuran di Gie Tarum pada 1878.
Yang menarik kemudian adalah keputusannya untuk menerima lamaran dari Teuku Umar pada 1880 setelah mendapatkan izin agar ia turun ke medan perang. Pasca peristiwa Het verraad van Teukoe Oemar atau Pengkhianatan Teuku Umar yang diikuti dengan kematiannya, Cut Nyak Dhien menjadi pemimpin pasukan gerilya.
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 106 Tahun 1964.
2. Cut Nyak Meutia (1964)
Serupa dengan Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dikenal sebagai pemimpin pasukan gerilya dalam upaya melawan tentara kolonial Belanda selepas kematian suaminya di tangan musuh. Sekali lagi, tidak banyak narasi sejarah yang menceritakan sepak terjang Cut Meutia sebagai seorang pemimpin pasukan, yang pada kala itu tinggal tersisa 45 orang dengan 13 buah senjata.
Cut Nyak Meutia yang pada saat itu berusia 40 tahun pada akhirnya tertangkap oleh Belanda di tempat persembunyiannya di Paya Cicem. Ia sempat melawan pasukan Belanda yang menangkapnya dengan menudingkan rencong, tetapi kemudian tewas karena tembakan di kepala dan dada.
Cut Nyak Meutia dapat dikatakan merupakan salah satu Pahlawan Nasional perempuan yang masih mendapatkan penghargaan tinggi secara simbolik. Perangko tahun 1969 pernah menggunakan gambar rupa dirinya, dan saat ini kita juga masih dapat melihat rupa wajahnya di mata uang Rp1.000 yang dikeluarkan tahun 2016.
Cut Nyak Meutia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 107 Tahun 1964.
3. Kartini (1964)
Di antara semua Pahlawan Nasional perempuan bisa dibilang Kartini merupakan sosok yang masih sangat familiar hingga saat ini. Ia menjadi satu-satunya pahlawan perempuan yang tanggal lahirnya dijadikan hari besar bukan hari libur, yakni Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April.
Dan tidak seperti kebanyakan Pahlawan Nasional lainnya yang kebanyakan merupakan tokoh di medan perang atau di ranah publik, Kartini merupakan seorang perempuan muda yang melawan dari balik tembok keraton Jawa yang berpoles patriarki dengan pena di tangannya.
Pada satu sisi, peringatan Hari Kartini membantu kita untuk mewariskan narasi tentang sosok dan perannya kepada generasi yang lebih muda. Pada sisi lain, peringatan Hari Kartini yang khas dengan berdandan a la Kartini menjauhkan kita dari buah pikirnya yang tertuang dalam tulisan-tulisannya.
Sampai hari ini saya masih merasa perlu dilakukan pembacaan kembali yang lebih mendalam atas tulisan-tulisan Kartini untuk memahami posisinya dalam narasi tentang emansipasi perempuan yang kemudian disematkan kepadanya.
Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 108 Tahun 1964.
4. Dewi Sartika (1966)
Perempuan Indonesia di masa kolonial paling tidak menghadapi secara bersamaan opresi struktural dan opresi kultural dalam hal pendidikan. Hak atas pendidikan dibatasi atau bahkan bagi beberapa orang ditutup oleh penjajahan dan adat yang mempersulit atau tidak mengizinkan perempuan Indonesia untuk mendapatkan pendidikan formal.
Dewi Sartika merupakan salah satu tokoh pendobrak keterbatasan tersebut dengan mendirikan Sekolah Isteri di Paseban Kulon Pendopo Bandung pada 1904 yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Keoetamaan Isteri pada 1910.
Di tengah tekanan tentara kolonial, Dewi Sartika mengajarkan para perempuan Indonesia untuk bisa membaca, menulis, berhitung, menjahit, dan beragam jenis keterampilan lain.
Sempat berkembang pesat pada paruh akhir 1910-an sampai awal 1920-an, sekolah yang dicetuskannya mulai mengalami kejatuhan pada masa kependudukan Jepang. Salah satu sekolah yang masih beroperasi sampai hari ini adalah SMP Dewi Kartika di Bandung.
Dewi Sartika ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 252 Tahun 1966.
5. Maria Walanda Maramis (1969)
Di Kecamatan Wenang, 15 menit dari pusat kota Manado, kita dapat menemui patung Maria Walanda Maramis, seorang Pahlawan Nasional yang berkontribusi besar terhadap hak pendidikan dan hak politik perempuan pada awal abad ke-20.
Maria Walanda Maramis menempuh jalur kepenulisan dengan menjadi kontributor kolom opini di surat kabar Tjahaja Siang untuk menegaskan tentang pentingnya peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya, perempuan harus mendapatkan pendidikan yang layak.
Bergerak dari sana, ia mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 1917 sebagai wadah pertemuan dan pendidikan perempuan Minahasa. Dalam perkembangannya, PIKAT berkembang di sejumlah kota di seluruh Sulawesi dan bahkan Jawa.
Dalam memperjuangkan hak politik perempuan Minahasa, Maria Walanda Maramis menentang kebijakan yang mengatur bahwa hanya laki-laki yang dapat menjadi anggota Minahasa Raad, sebuah badan perwakilan rakyat. Usulannya agar perempuan dapat terlibat dalam lembaga pemangku kebijakan tersebut dikabulkan, menandai partisipasi aktif perempuan Minahasa dalam ranah politik.
Maria Walanda Maramis ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 12/K/1969.
6. Martha Christina Tiahahu (1969)
Martha Christina Tiahahu menjadi sosok Pahlawan Nasional perempuan termuda yang menemui ajalnya di usia 17 tahun dalam pertarungan melawan kolonial. Dibesarkan oleh seorang Kapten sebagai piatu, Martha Tiahahu dikenal dengan keberaniannya ketika turut maju ke medan Perang Pattimura.
Satu catatan biografis penting dari seorang Martha Tiahahu adalah bagaimana ia turut membangkitkan semangat para perempuan yang ditemuinya agar turut dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Kejatuhan Martha Tiahahu ditandai dengan kekalahan pasukannya pada pertempuran di Pulau Saparua yang membawa ayahnya divonis hukuman tembak. Kematian ayahnya tidak menghentikan langkahnya untuk melakukan operasi gerilya sampai akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal dunia.
Martha Christina Tiahahu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No. 12/TK/1969.
7. Siti Walidah (1971)
Tidak banyak yang mengetahui Siti Walidah sebagai nama lahir dari Nyai Ahmad Dahlan, istri dari pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan. Siti Walidah mendirikan Sopo Tresno pada 1914, kelompok pengajian bagi perempuan muslim yang merupakan cikal bakal dari organisasi sayap Muhammadiyah, Aisyiyah.
Melalui Aisyiyah, Siti Walidah mendirikan sekolah Islam dan asrama bagi perempuan, serta melakukan pendidikan keaksaraaan dan mengampanyekan gerakan anti kawin paksa. Dalam khotbah-khotbahnya, Siti Walidah juga berpesan bahwa peran perempuan adalah menjadi mitra dari laki-laki, alih-alih konco wingking.
Selain itu, selama kependudukan Jepang, di bawah tekanan pasukan musuh Siti Walidah membuka dapur umum dan memasak untuk tentara Indonesia.
Siti Walidah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 42/TK/1971, sepuluh tahun setelah ditetapkannya Kyai Ahmad Dahlan untuk gelar yang sama.
8. Rasuna Said (1974)
Rasuna Said yang sejak lahir dibesarkan di keluarga muslim taat memilih untuk menjadi perempuan yang memperjuangkan kesejahteraan perempuan, khususnya dalam hal pendidikan, politik, dan pernikahan. Sebagai lulusan sekolah Diniyah Putri, ia mengabdikan dirinya sebagai guru dan berupaya untuk memasukkan ilmu politik ke dalam kurikulum sekolah.
Ia turut terjun dalam dunia pergerakan dan politik dengan menjadi bagian dari Partai Sarekat Islam dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Saat menjadi anggota Permi, ia sempat menyampaikan dalam pidatonya bahwa kebijakan Permi menempatkan imperialisme sebagai musuh dan menyatakan bahwa kemerdekaan akan datang.
Buntut dari pernyataan publiknya tersebut adalah Rasuna Said menjadi perempuan pertama Indonesia yang dikenai hukuman pelanggaran Speekdelict atau pelanggaran berbicara. Dalam kesempatan lain, polemik poligami dan meningkatnya angka kawin cerai di tanah Minang pada 1930-an sempat membuatnya geram. Ia berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan pelecehan terhadap perempuan.
Rasuna Said ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 84/TK/1974.
9. Nyi Ageng Serang (1974)
Nyi Ageng Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Sepeninggal ayahnya, ia menjadi pemimpin wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram, tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.
Di usianya yang sudah 70 tahun, Nyi Ageng Serang turun ke medan Perang Diponegoro untuk menjadi penasihat strategi bagi Pangeran Diponegoro. Beberapa daerah yang sempat menjadi lokasi perjuangannya meliputi Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Masyarakat Kulon Progo dan Grobogan sama-sama percaya bahwa Nyi Ageng Serang meninggal di kota mereka, sehingga sekarang dapat ditemukan dua petilasan Nyi Ageng Serang di kedua daerah tersebut.
Nyi Ageng Serang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 84/TK/1974.
10. Siti Hartinah (1996)
Di antara lima belas tokoh perempuan yang diakui negara sebagai Pahlawan Nasional, Siti Hartinah atau Tien Soeharto agaknya menjadi sosok yang paling problematik.
Pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional dilakukan hanya tiga bulan setelah kematiannya ketika Soeharto masih menjadi presiden. Bandingkan dengan sejumlah tokoh lain yang membutuhkan waktu berpuluh tahun atau bahkan lebih dari satu abad untuk mendapatkan pengakuan.
Tien Soeharto dikenang sebagai pencetus Taman Mini Indonesia Indah yang digadang-gadangkan menjadi lokasi wisata edukasi kebudayaan Indonesia. Satu hal yang problematis juga mengingat pembangunan megaprojek tersebut diprotes oleh banyak kelompok masyarakat pada saat itu, dananya sebagian diperoleh dari APBD yang digalang oleh Tien Soeharto melalui yayasannya, dan representasi Indonesia yang dipajang di taman tersebut juga telah dikritik oleh banyak pihak.
Siti Hartinah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 060/TK/1996.
11. Fatmawati (2000)
Fatmawati lahir dan dibesarkan di keluarga bangsawan dari Kesultanan Indrapura dengan nama Fatimah. Fatmawati dikenang sebagai perempuan yang berinisiatif untuk menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan di rumah Jalan Pegangsaan pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Inisiatif tersebut muncul setelah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dan mengizinkan pengibaran bendera merah putih. Diceritakan bagaimana upaya untuk mendapatkan kain merah dan putih pada saat itu bukanlah hal yang mudah karena Jepang menguasai alur perdagangan barang-barang impor.
Setelah mendapatkan kain tersebut, Fatmawati menjahit bendera Sang Saka Merah Putih dalam kondisi tubuh yang lemah karena tengah hamil tua putra sulungnya.
Fatmawati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 118/TK/2000.
12. Opu Daeng Risadju (2006)
Opu Daeng Risadju lahir dengan nama Famajja, dan ia adalah sedikit dari keturunan bangsawan yang merelakan gelar kehormatannya demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal dengan perjuangannya bersama Partai Sarekat Islam Indonesia di Palopo.
Di bawah tekanan dan hasutan Belanda, Opu Daeng Risadju terus melancarkan gerakan revolusi di Luwu. Ia kemudian ditangkap oleh tentara kolonial dan kehilangan gelar kehormatannya. Seluruh keluarganya juga mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda agar ia menghentikan aktivitasnya di PSII.
Opu Daeng Risadju sempat ditahan oleh tentara NICA di penjara Bone, penjara Sengkan, dan penjara Bajo selama 11 bulan tanpa mendapatkan pengadilan. Ia meninggal dan dimakamkan tanpa upacara kehormatan.
Opu Daeng Risadju ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 85/TK/2006.
13. Malahayati (2017)
Malahayati sejak remaja telah menunjukkan ketertarikannya pada dunia militer, ditunjukkan dari keputusannya untuk menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis. Dari sanalah ia mendapatkan pembelajaran tentang strategi perang.
Pada 1585–1604 Malahayati memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Gelar Laksamana diperolehnya setelah memimpin pasukan inong balee (janda-janda pahlawan yang mati syahid) untuk menghancurkan kapal dan benteng Belanda.
Selain itu, ia juga berhasil membunuh Cornelis de Houtman melalui pertempuran satu lawan satu ketika bertugas melindungi pelabuhan dagang di Aceh. Melalui perundingan damai, Malahayati berhasil membuat pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh sebagai syarat untuk melepaskan Frederik de Houtman yang ditangkapnya.
Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 115/TK/2017.
14. Andi Depu (2018)
Andi Depu Marradia Balanipa merupakan maharaja perempuan pertama di Indonesia yang sejak kecil sudah terbiasa mengendarai kuda dan bermain perang-perangan. Di usia dewasa, ia mengambil keputusan berani untuk bercerai dari suaminya yang tidak setuju dengan gagasannya untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, dan membawa serta putranya dalam gerakan revolusi.
Pada 1939, Andi Depu ditahbiskan sebagai penguasa Balanipa dan menunjukkan perlawanan kepada militer Jepang dengan mendirikan Fujinkai di Mandar. Selama masa agresi militer Belanda, ia mendirikan Kris Muda sebagai organisasi yang memperjuangkan pertahanan kemerdekaan Indonesia dan berhasil melindungi Mandar dari invasi Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda akhirnya berhasil menangkap Andi Depu pada 1949 dan melakukan penyiksaan berat kepadanya.
Andi Depu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 123/TK/2018.
15. Roehana Koeddoes (2018)
Roehana Koeddoes lahir dengan nama Siti Roehana di keluarga intelektual sebagai anak kepala jaksa dan dikenal memiliki semangat tinggi untuk belajar walaupun ia tidak menempuh pendidikan formal. Ia meminta para tetangga serta istri para jaksa rekan ayahnya untuk mengajarinya membaca dan menulis aksara Jawi dan Latin, yang kemudian diajarkannya kepada perempuan seumurannya.
Roehana Koeddoes dikenal sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia sebagai penulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia, sekaligus pendiri Sunting Melayu. Surat kabar tersebut tercatat sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur, sekaligus para penulisnya adalah perempuan. Menuju akhir hidupnya, ia memimpin surat kabar Perempuan Bergerak, menjadi redaktur surat kabar Radio dan Cahaya Sumatra.
Bersamaan dengan aktivitasnya di bidang jurnalistik, Roehanna Koedoes juga aktif di bidang pendidikan, khususnya untuk perempuan. Ia sempat mengajar di sekolah yang didirikannya, yakni Kerajinan Amal Setia di Koto Gadang. Hal tersebut diikuti dengan pendidikan Roehana School di Bukittinggi pasca kepulangannya dari Belanda.
Roehana Koeddoes ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 120/TK/2019.
Tentunya penjelasan singkat di atas hanya cuplikan kecil dari sejarah sosok, pemikiran, dan perjuangan dari masing-masing Pahlawan Nasional perempuan Indonesia. Diperlukan pembacaan lebih lanjut untuk mengenal mereka, mencegah para perempuan tersebut dilupakan dan terlupakan. Karena ingatan bukan hanya perkara gelar Pahlawan Nasional yang tercatat hitam di atas putih pada surat keputusan resmi yang diproduksi negara, tapi bersemayam dalam kepala dan batin, mencetuskan babak-babak perjuangan baru dalam bentuk yang beragam, karena perempuan punya caranya untuk menjadi pahlawan.