Semesta Anto Labil (?)

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readJun 2, 2024

--

Judul tulisan ini memang selabil Anto Labil, bisa dibaca sebagai pernyataan atau sebagai pertanyaan. Bisa dibaca sebagai pernyataan karena mengikuti tajuk diskusi buku Sebelum Hancur Lebur sebagai Bahas Karya #41 di Atelir Ceremai, “Semesta Anto Labil”, yang mengindikasikan semesta itu ada.

Bisa dibaca sebagai pertanyaan karena saya memang sedang mempertanyakan apakah sebenarnya Anto Labil benar-benar hidup dalam suatu semesta sastrawi yang dibangun sedemikian rupa layaknya Narnia yang berada di balik portal dalam sebuah lemari, atau pulau-pulau yang dikunjungi Lemuel Gulliver, atau Wonderland yang dijelajahi oleh Alice.

Pertanyaan tersebut mungkin bisa dijawab dengan cepat dan yakin oleh beberapa pembaca, bahwa ekosistem Sastra Indonesia yang hancur lebur itulah semesta Anto Labil.

Kehancuran leburan ekosistem Sastra Indonesia tidak hanya digambarkan melalui sebuah program sastra pemerintah yang menelantarkan para sastrawan dan pada gilirannya membawa Anto Labil terdampar di Pulau Sastra. Dalam Sebelum Hancur Lebur kita akan menemukan referensi-referensi yang diambil dari teks Sangkan Paraning Dumadi yang diramu kembali untuk menunjukkan seakan-akan kehancuran tersebut sudah diramalkan bahkan sejak sastra yang ada di Indonesia masih sastra dalam bahasa daerah.

Pada satu sisi, kehancuran Sastra Indonesia disebabkan oleh orang-orang yang ada dalam ekosistem itu sendiri: mereka yang ingin dipuja-puja, yang oportunis, yang mengelu-elukan kesuksesan dan kekayaan. Di sisi lain, Sastra Indonesia juga tidak berhasil mempertahankan relevansinya di tengah perkembangan teknologi sampai menemui titik kepunahannya. Hal itu ditunjukkan dengan penggambaran ketika sastra tidak lagi dibaca tetapi dinikmati melalui formula-formula kimiawi yang mempengaruhi perasaan manusia serta sikap dan keputusan pragmatis Heru Joni Setia terhadap kepenulisan sastra yang diterangkan dalam bab penutup novel tersebut.

Setelah perusahaan-perusahaan agency dan farmasi melumat para pelaku dan esensi dari Sastra Indonesia, kiamat terjadi dan kehidupan baru di bumi muncul kembali. Dalam kehidupan baru itu pada awalnya seakan tampak ada harapan baru untuk Sastra Indonesia dengan hadirnya sepasang tokoh ibu dan anak perempuannya, yang meresapi sastra sebagai warisan nenek moyang untuk menyelamatkan diri dan kehidupan. Sastra menjadi doa tobat dan doa syafaat, menjadi azimat, menjadi tombo ati. Namun, rupanya kesaktian sastra yang sedemikian ini tidak bertahan lama juga karena mereka berdua akhirnya tewas dalam sebuah peristiwa bencana alam.

Penggambaran kehancur leburan Sastra Indonesia dirangkai dan diterangkan sedemikian rupa untuk menunjukkan pembaca tidak ada ruang lagi untuk harapan akan keselamatan. Untuk perkara itu, Sebelum Hancur Lebur bisa dikatakan cukup berhasil menjawab premis yang ditawarkan. Namun, pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana novel tersebut mampu menjadikan segala kecarutmarutan ekosistem Sastra Indonesia tersebut sebagai semesta Anto Labil, tokoh yang diberi penekanan dalam karya tersebut.

Risdianto yang menjadi tokoh dalam Sebelum Hancur Lebur sebelumnya sudah kita kenal dengan nama Anto Labil melalui Kiat Sukses Hancur Lebur. Dalam Kiat Sukses Hancur Lebur, ia dihadirkan melalui perkenalan oleh Andi Lukito dan (kekacauan) pikiran dalam kepalanya yang tertuang dalam naskah novel tersebut. Sementara dalam Sebelum Hancur Lebur ia muncul sebagai sosok yang lebih utuh dengan penggambaran karakteristik fisik, perilaku, dan dialog-dialognya.

Namun, selain keberadaan Anto Labil sebagai tokoh dalam kedua karya tersebut, sebenarnya belum ada penanda waktu yang cukup terang untuk menjelaskan alur kehidupan Anto Labil. Dari dua karya tersebut, saya membayangkan perjalanan hidup Anto Labil adalah sebagai berikut.

Lahir di Semarang, berkuliah S1 di Sekolah Tinggi Filsafat Duryudana, mengajar kelas MKDU Logika di UNIKA Dursasana dan Universitas Multimedia Pancakarsa, ikut dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman pada era 1990-an dan kelompok Tujuh Pendekar Kere yang berkongsi untuk melawan Orde Baru, terlibat dalam Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), pada 2011 menjadi peserta Temu Sastrawan di Ternate lalu kemudian tidak bisa pulang dan terdampar di Pulau Sastra, kembali ke Semarang, menjadi guru SD sambil menulis naskah Kiat Sukses Hancur Lebur, kontrakannya kebakaran, lalu menghilang tak diketahui lagi rimbanya.

Dari perjalanan kehidupan tersebut, terlihat sejauh mana sebenarnya Anto Labil berinteraksi dengan Sastra Indonesia yang diasumsikan di awal sebagai semestanya. Pertama, ia terlibat dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman yang dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemusatan sosialisasi dan nilai-nilai sastra di Jakarta sebagai ibu kota. Tidak dijelaskan sejauh mana ia terlibat dalam gerakan tersebut apakah ia benar-benar muncul sebagai koordinator aktivis atau hanya menjadi pengikut semata, juga seberapa die hard perjuangannya melawan kemapanan Sastra Indonesia di pusat.

Titik kedua dalam kehidupan Anto Labil yang menunjukkan keterlibatannya dalam Sastra Indonesia adalah ketika ia diundang sebagai salah satu peserta Temu Sastrawan Indonesia di Ternate. Patut diacungi jempol bagaimana Anto Labil bisa terpilih menjadi salah satu peserta pertemuan yang dihadiri oleh sederet nama sastrawan moncer kala itu, apalagi mengingat ia belum pernah menerbitkan karya sastra pada saat itu.

Barangkali keterlibatannya dalam gerakan antikemapanan sastra menjadikannya sosok yang patut diperhitungkan di mata panitia penyelenggara. Selama terdampar, Anto Labil ‘tampak’ bersastra dengan memikirkan bagaimana ia berkarya dengan daun-daun pohon kelapa, pasir pantai, dan batu karang, sampai mencapai titik keberhasilannya untuk tidak menulis sebuah novel.

Melompat ke profil Anto Labil berdasarkan penuturan Andi Lukito dalam pengantar Kiat Sukses Hancur Lebur, kita akan mengetahui bahwa pada akhirnya Anto Labil menulis sebuah novel. Manuskrip naskah novel yang ia tulis jika ditumpuk tingginya sampai selutut orang dewasa, menunjukkan upaya yang luar biasa keras dalam proses penulisannya, ditambah lagi novel tersebut ditulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang guru SD. Terlepas dari absennya tanda-tanda dramatik dalam karya tersebut, kita barangkali bisa cukup berlapang dada untuk mengakuinya sebagai kontribusi kekaryaan Anto Labil terhadap Sastra Indonesia.

Meski sempat berdiskusi dengan Thomas Tembong terkait keinginannya menerbitkan manuskrip novel tersebut, pada akhirnya Kiat Sukses Hancur Lebur terbit pada 2025 tanpa melibatkannya dalam penyuntingan dan kerja-kerja lain yang lumrah dilakukan dalam proses penerbitan suatu naskah buku karena ia terlanjur hilang dari lingkaran pergumulan sastra.

Pembaca hanya bisa berasumsi terkait keberadaan Anto Labil setelah kontrakannya kebakaran dan ambles ke got. Barangkali ia berhasil menyelamatkan diri dan pergi ke suatu tempat, yang bisa jadi kembali ke Pulau Sastra atau bahkan moksa ke Khayangan Sastra. Tentu penerbitan suatu karya secara posthumous adalah satu fenomena yang lumrah. Namun, perkaranya kita tidak tahu persis keberadaan Anto Labil. Yang jelas adalah setelah karyanya terbit, ia tidak terlibat dalam pembicaraan atas novel tersebut di tengah belantara Sastra Indonesia yang hancur lebur.

Dalam hal ini, keberadaan Anto Labil menjadi penting untuk menilai lebih lanjut apakah Sastra Indonesia yang hancur lebur sebenarnya hanya bekerja sebagai latar atau dapat dikatakan sebagai semestanya Anto Labil.

Pada pembuka tulisan ini saya sempat menyebutkan beberapa karya sastra yang mendapatkan pengakuan atas kamampuannya menghadirkan semesta yang unik, sekaligus utuh dan kaya. The Chronicles of Narnia dan Alice’s Adventure in Wonderland menggunakan unsur portal yang menjadi penanda pembeda antara dunia realitas dengan semesta fantasi, yakni pintu di dalam lemari pakaian dan lubang kelinci.

Teknik tersebut tidak digunakan dalam Gullivers’ Travels yang memanfaatkan cerita tentang perjalanan untuk menunjukkan adanya pergantian ruang. Aspek penting dalam ketiga karya tersebut adalah penggambaran suatu dunia yang memiliki penghuninya sendiri dengan karakteristiknya yang berbeda dengan dunia di luar dunia tersebut.

Misalnya Alice yang seorang anak manusia perempuan memiliki fisik dan sifat yang berbeda dengan tokoh-tokoh di Wonderland seperti White Rabbit dan Cheshire Cat. Begitu pula dengan Gulliver yang bertemu dengan masyarakat liliput dengan ukuran tubuh yang jauh lebih kecil darinya. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut mereka berinteraksi satu sama lain dalam semesta fantasi yang dibentuk dalam cerita. Bahkan pada beberapa kesempatan mereka tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang berlaku dalam dunia tersebut sehingga pada akhirnya menjadi bagian di dalamnya.

Sekarang kita kembali ke Anto Labil dengan Sastra Indonesia yang hancur lebur. Novel tersebut sejak awal memang tidak berupaya menunjukkan bahwa Sastra Indonesia yang hancur lebur adalah suatu dunia yang terpisah dari kehidupan sehari-hari Anto Labil, sehingga tidak digunakan penanda-penanda tertentu untuk menunjukkan keberadaannya sebagai suatu dunia yang liyan.

Meski demikian, dalam Sastra Indonesia yang hancur lebur itu hidup sejumlah tokoh sastrawan yang digambarkan memiliki sifat dan tindak-tanduk yang bermacam-macam, terkadang eksentrik, untuk menegaskan kepada pembaca tentang keunikan ruang tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana Anto Labil beredar di dalamnya dan berinteraksi dengan orang-orang yang hidup di sana.

Sepanjang penggambaran tentang ekosistem Sastra Indonesia dalam Sebelum Hancur Lebur, sedikit sekali diceritakan bahwa Anto Labil bertemu dan berinteraksi dengan para sastrawan yang hidup di dunia tersebut. Ia turut diundang dalam Temu Sastrawan Indonesia bersama nama-nama ngetop, tetapi sedikit sekali penggambaran tentang relasi yang dimilikinya dengan orang-orang tersebut.

Ketika membaca Kiat Sukses Hancur Lebur yang merupakan karya Anto Labil kita akan mendapati kekacauan, tetapi bukan kekacauan dalam ekosistem Sastra Indonesia. Dalam novel tersebut yang tampak tidak lain adalah kecarutmarutan antifilsafat yang mengisi kepala seorang sarjana filsafat.

Berdasarkan identifikasi perjalanan hidup Anto Labil yang tadi kita lakukan, tampak juga bahwa ia sebenarnya tidak sepenuhnya masuk dalam dunia Sastra Indonesia yang digambarkan sedemikian rupa melalui berbagai teknik dan bentuk dalam Sebelum Hancur Lebur. Tidak tampak secara terang apakah Anto Labil turut menyumbangkan kehancurleburan terhadap Sastra Indonesia, atau apakah kehancurleburan Sastra Indonesia yang membuat Anto Labil berpikir hancur lebur.

Minimnya interaksi antara Anto Labil dengan ekosistem Sastra Indonesia menunjukkan bahwa, Sastra Indonesia yang digambarkan dalam Sebelum Hancur Lebur bukanlah semesta Anto Labil. Sastra Indonesia yang hancur lebur tersebut baru terbatas bekerja sebagai latar kehidupan Anto Labil.

Jika pembatasan interaksi Anto Labil dengan ekosistem Sastra Indonesia tersebut sengaja diterapkan untuk menguatkan gambaran tokoh tersebut sebagai salah satu makhluk obskur dalam belantara Sastra Indonesia–layaknya yang coba dilakukan Martin Suryajaya dalam karya kumpulan puisinya Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945–2045–bisa dibilang hal tersebut bekerja dengan cukup baik.

Namun, patut dipertanyakan juga apakah itu sebenarnya kecerobohan penulis dalam mengolah unsur-unsur intrinsik dalam sebuah novel sebagai satu bentuk karya sastra.

--

--