Serangan Umum 1 Maret: Panggung Drama Suharto

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readMar 2, 2025

--

Sebenarnya kemarin saya sedang mempersiapkan tulisan lain untuk saya publikasikan di blog ini pada akhir pekan kali ini. Namun, perhatian saya sejurus terusik ketika sebuah notifikasi muncul di sudut kanan atas layar monitor laptop saya, berasal dari aplikasi Calendar. Saya diingatkan bahwa esok hari adalah Hari Peringatan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret. “Nasionalis sekali perangkat saya ini,” saya membatin.

Sampul VCD Janur Kuning. Sumber: IMDb

Saya kemudian baru tersadar bahwa Peringatan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret memang sudah ditetapkan sebagai hari besar nasional. Namun, dibandingkan peringatan hari-hari besar yang lain, seperti misalnya Hari Kartini (ditetapkan pada 1964), Hari Pendidikan Nasional (ditetapkan pada 1959), dan Hari Pahlawan (ditetapkan pada 1959), usia penetapan Hari Peringatan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret memang masih sangatlah muda.

Tiga tahun lalu, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden №2 Tahun 2022 mengesahkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebagai bentuk peringatan atas Peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Proses penetapannya kala itu menuai perhatian dan komentar dari sejumlah pihak, khususnya terkait isi poin c dari konsiderans Menimbang yang berbunyi:

“bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.”

Persoalan yang menjadi perhatian publik adalah nama-nama tokoh yang dicantumkan dalam aturan tersebut, yang tidak melibatkan nama Soeharto, penguasa rezim Orde Baru. Banyak yang mempertanyakan mengapa nama Soeharto tidak dicantumkan, padahal sejumlah sumber menunjukkan dengan jelas bahwa ia punya peranan yang sangat penting dalam peristiwa tersebut sebagai serdadu militer berpangkat Letnan Kolonel atau Letkol.

Paling tidak ada dua sumber utama yang kerap dijadikan rujukan terkait peran Soeharto dalam salah satu konflik bersenjata dalam periode Revolusi Nasional tersebut, yakni buku biografinya dan film Janur Kuning.

Janur Kuning barangkali tidak lebih populer dibandingkan Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang diproduksi pada 1984. Meski demikian, Janur Kuning sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa film propaganda yang produksinya diinisiasi dan didukung oleh pemerintah. Film keluaran tahun 1979 tersebut diproduksi untuk membentuk sosok Soeharto sebagai tokoh penting di balik Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Selain kedua film tersebut, juga ada Serangan Fajar (1982) yang ceritanya mengarah pada penggambaran Soeharto sebagai pahlawan Revolusi Nasional. Ketiganya pun pernah ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru sebagai tontonan wajib bagi pelajar dan mahasiswa.

Poster penayangan film Janur Kuning. Sumber: Perpustakaan Nasional RI

Barangkali sulit dipercaya dan terkesan berlebihan jika saya mengatakan bahwa penggambaran sosok Soeharto dalam Janur Kuning menyerupai tokoh utama dalam film-film superhero yang diproduksi Hollywood, yang digandrungi oleh penonton lintas usia di seluruh dunia. Namun, perumpamaan seperti itu menurut saya adalah cara terbaik dan termudah untuk memberikan gambaran umum seperti apa penggambaran kembali sosok pemimpin dari pemerintahan yang bercorak militeristik dan otoritarian dalam media populer.

Cerita dalam film yang disutradari oleh Alam Surawidjaja tersebut dibuka dengan adegan para prajurit yang tengah bergerilya di tengah hutan sambil menyanyikan Sorak Sorak Bergembira, lagu gubahan komposer Cornel Simanjuntak. Tak lama, muncullah Soedirman (diperankan Deddy Sutomo) dari dalam tandunya memerintahkan pasukan untuk berhenti sejenak sambil terbatuk-batuk.

Penggambaran Soedirman yang rentan dan jauh dari kata karismatik tersebut bertahan sepanjang film dan dikontraskan dengan sosok Soeharto (diperankan Kaharuddin Syah) yang penuh semangat dan gairah muda. Karakter heroik Soeharto telah dibangun sejak awal, melalui dialog yang berlangsung antaranya dengan Sudirman. Soeharto dengan kebijaksanaannya, meyakinkan dan menguatkan hati Sudirman agar melanjutkan perjalanan gerilya ke Yogyakarta.

Sesampainya di Yogyakarta, karakter heroik Soeharto kembali diperkuat dengan hadirnya tokoh Siti Hartinah atau Tien Soeharto (diperankan Nuniek Karjono) yang sedang hamil tua. Tidak hanya seorang prajurit muda yang bijaksana dan dipercaya oleh Soedirman, hadirnya tokoh Tien menambah lapisan karakter Soeharto sebagai seorang suami yang penuh kasih dan perhatian, terlepas dari kondisi kehidupan yang sulit dikarenakan perang yang tak kunjung berakhir.

Namun, di antara semua itu tentu yang menjadi fokus utama dari film tersebut adalah penggambaran Soeharto sebagai sosok penting dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Hal tersebut dihadirkan melalui adegan-adegan yang melibatkan interaksi dan dialog Soeharto dengan rekan sesama prajurit dan para penduduk lokal. Soeharto yang bertugas sebagai komandan Brigade X Wehrkreise III digambarkan sangat cakap dalam menyusun strategi menyerang dan bertahan, serta dalam memberikan perintah terkait penempatan prajurit di beberapa titik strategis. Turut digambarkan bagaimana para prajurit yang mendapatkan perintah dari Soeharto semuanya menunjukkan kepatuhan, kesetiaan, dan kekaguman yang luar biasa kepadanya.

Tidak berhenti di situ, Soeharto juga dicintai oleh masyarakat sipil karena ia benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Pada suatu momentum konflik bersenjata, tersiar kabar bahwa Soeharto telah tertembak oleh Belanda. Namun, ketika kabar tersebut terbukti tidak benar dan Soeharto muncul dari tengah hutan dalam keadaan utuh, bahkan tidak terluka sedikit pun, warga kampung segera mengerumuninya, berebut untuk memeluk dan mengelu-elukan namanya.

Adegan ketika Suharto dielu-elukan oleh masyarakat yang mengiranya tewas tertembak. Sumber: Film Janur Kuning (1979)

‘Pengkultusan’ atas sosok Soeharto semakin diperkuat dengan dialog yang disampaikan oleh orang-orang yang mengikutinya berkeliling Yogyakarta untuk membangun basis pertahanan.

LAKI-LAKI 1: Mosok jalan tujuh hari tujuh malam Pak Harto ini nggak merasa capek. Mungkin dia tidak punya bosan. (terengah) Mbok ya berhenti satu hari saja.

LAKI-LAKI 2: Mbok yo kena duri kakinya itu jadi berhenti.

LAKI-LAKI 3: Cangkemmu kuwi! (terengah) Kalau kena duri, aku sing nggendong.

Dialog tersebutlah yang menjadi landasan atas pendapat saya sebelumnya bahwa penggambaran sosok Soeharto dalam Janur Kuning menyerupai protagonis dalam film-film superhero. Seakan belum cukup dengan sifat-sifat ideal dari seorang prajurit, film tersebut memunculkan karakteristik yang melampaui manusia biasa untuk tokoh utamanya. Dengan penggambaran yang demikian, ditambah dengan peraturan yang menetapkan film tersebut sebagai tontonan wajib, barangkali bisa dibilang tidak mengherankan jika pemujaan terhadap Soeharto sedemikian kuatnya dan masih dapat ditemukan sisa-sisanya sampai sekarang.

Namun, pembicaraan dan perdebatan yang terjadi ketika Keputusan Presiden №2 Tahun 2022 disahkan mengindikasikan terbukanya ruang pembacaan yang lebih kritis atas narasi-narasi heroik Soeharto yang telah digencarkan selama berpuluh tahun. Sebenarnya ruang tersebut sudah mulai terbuka melalui kesaksian Kolonel Latief yang kala itu menjadi anak buah Soeharto sebagai Komandan Kompi 100. Latief sebenarnya bersahabat karib dengan Soeharto sejak periode Revolusi. Namun, relasi tersebut persahabatan tersebut berakhir setelah Latief diadili dan dijebloskan oleh pemerintah Orde Baru karena keterlibatannya dalam Gerakan 30 September.

Dalam pledoi yang ia sampaikan saat Pengadilan Militer Tinggi II Jawa Barat pada 21 Juni 1978 –dan kemudian dibukukan dalam Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat di G30S– Latief menyebut bahwa alih-alih berperan besar dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret, Soeharto sebenarnya sedang makan soto ketika pertempuran tersebut terjadi. Ketika pasukannya sedang mati-matian menghadapi tentara Belanda bersenjata lengkap, Soeharto ditemani pengawal dan ajudannya sedang menikmati soto babat.

Pernyataan Latief pada saat itu dikesampingkan dan dengan cepat tertutup oleh narasi yang diglorifikasi dalam Janur Kuning yang notabene mulai tayang satu tahun setelah pidato pembelaan tersebut disampaikan. Namun, pernyataan bahwa Soeharto makan soto di saat pertempuran berlangsung dikonfirmasi oleh Haryasudirja, salah satu komandan batalyon Brigade X yang dipimpin Soeharto.

Haryasudirja dalam wawancaranya dengan David Jenkins, penulis biografi Young Soeharto: The Making of a Soldier 1921–1945 (2021), mengaku menjumpai Soeharto sedang makan soto babat ketika pasukan Indonesia berusaha mundur dari kota karena gempuran tentara Belanda. Namun, tentu saja dalam film Janur Kuning kita tidak akan mendapatkan adegan Soeharto menepi dari medan pertempuran untuk makan soto.

Keberhasilan Orde Baru selama kurang lebih 19 tahun dalam menutupi narasi kurang heroik dengan penggambaran tokoh Soeharto pemberani dalam Janur Kuning akhirnya terusik. Tidak lama setelah Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono serta Menteri Penerangan Yusuf Sofiah menyatakan bahwa Janur Kuning bersama kedua film propaganda buatan Orde Baru tidak lagi menjadi tontonan wajib bagi pelajar dan mahasiswa.

Kemudian seiring berjalannya waktu, sejumlah sejarawan mulai mempertanyakan kembali narasi utama yang diangkat dalam film tersebut. Salah satunya Asvi Marwan Adam yang pada 2012 mengingatkan bahwa penggambaran tentang Soeharto yang terlalu dominan telah mengesampingkan peran Sultan Hamengku Buwono IX dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Film Janur Kuning memang menghadirkan sosok Sultan Hamengku Buwono IX (diperankan Sentot HS) tetapi tokoh tersebut bisa dibilang tidak memiliki peran yang terlalu signifikan dalam cerita. Ia muncul pada bagian pertengahan ketika digambarkan melakukan diskusi dengan Sudirman, mendengarkan siaran radio tentang perkembangan serangan tentara Belanda di Yogyakarta yang diikuti dengan menulis surat kepada Suharto, dan pada bagian akhir ketika serangan 6 jam telah tuntas.

Penggambaran yang demikian tidak sejalan dengan sejumlah catatan yang mencantumkan bahwa sebenarnya Sultan Hamengku Buwono IX –sebagai Menteri Pertahanan, gubernur, sekaligus diplomat perundingan Revolusi Nasional– yang menggagas serangan umum di kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 sebagai strategi untuk mengusir tentara Belanda. Selain itu, prajurit yang memberikan perintah menyerang kepada Soeharto, yakni Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, juga tidak disebutkan sama sekali dalam film tersebut.

Meski harus diakui bahwa beberapa sumber juga terkesan berupaya mengglorifikasi heroisme tokoh-tokoh tertentu, kontestasi narasi agaknya masih jauh lebih baik daripada pewarisan sejarah tunggal yang mendukung kekuasaan rezim militeristik.

Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk tidak mencantumkan nama Soeharto dalam regulasi yang mengatur peringatan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret barangkali bisa dianggap sebagai angin segar dalam upaya pembacaan dan pemaknaan kembali narasi sejarah terbentuknya Republik Indonesia. Salah satu bagian dari panggung drama yang dibangun rezim Orde Baru sudah runtuh, tapi tidak sepatutnya kita terlena. Karena bukan tidak mungkin panggung-panggung baru akan diciptakan, dijejali oleh tokoh-tokoh baru yang berhasrat menjadi pahlawan (palsu).

--

--

No responses yet