Siapa yang Pantas Dipamerkan?

Dhianita Kusuma Pertiwi
6 min readApr 14, 2024

--

Persoalan yang saya jadikan judul tulisan ini akhirnya saya bahas juga setelah coba saya kesampingkan beberapa pekan terakhir. Saya sempat berpikir ia hanya akan menjadi satu pertanyaan yang terlontar pada satu kesempatan lalu akan dengan mudah terlewatkan. Namun, rupanya ia cukup mengganggu benak saya terutama dalam proses persiapan dua pameran tokoh sastra yang saat ini sedang saya lakukan yakni A.A. Navis dan Toeti Heraty.

Sebenarnya pertanyaan yang sempat saya terima tidak seperti yang saya cantumkan sebagai judul dari tulisan ini. Lebih tepatnya adalah “kenapa hanya A.A. Navis yang dirayakan 100 tahunnya, sementara tahun ini Sitor Situmorang juga tepat 100 tahun?”

Pertanyaan tersebut saya terima pada sesi tanya jawab setelah saya menyampaikan paparan tentang program Peringatan 100 Tahun A.A. Navis kepada para Kepala Balai dan Kantor Bahasa dari seluruh Indonesia di Hotel Sultan pada 25 Maret lalu. Sebenarnya pertanyaan serupa sudah mengemuka pada kesempatan pertemuan saya sebelumnya dengan beberapa orang yang berada di lingkaran pegiat sastra.

Siapa pun yang bukan sekadar–meminjam istilah para seniman– ‘py-an’ alias ‘proyekan’ dan punya ketertarikan dengan sejarah Sastra Indonesia pasti bisa memahami betapa pelik dan sulitnya menjawab pertanyaan tersebut!

Sebenarnya tidak ada pertanyaan serupa yang saya peroleh dalam kaitannya dengan persiapan pameran Toeti Heraty. Namun, keterlibatan saya dalam kegiatan ini tidak bisa dipisahkan dari pengalaman sebelumnya menjadi periset dan kurator pada pameran tentang S. Rukiah tahun lalu.

Saya membayangkan seseorang pada suatu waktu di suatu tempat akan–atau barangkali sudah–menanyakan hal-hal seperti ‘kenapa Toeti Heraty yang dipamerkan–setelah S. Rukiah?’, ‘kenapa setelah pameran tentang S. Rukiah bukan pameran tentang Sugiarti Siswadi atau Suwarsih Djojopuspito–yang memiliki keterkaitan lebih dekat?’, atau barangkali jika konteksnya adalah penulis perempuan yang belum lama meninggal, ‘kenapa bukan pameran tentang Marga T.?’

Dan pertanyaan-pertanyaan terkait lainnya. Serupa halnya dengan kasus Sitor Situmorang, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga tidak bisa dipenuhi dengan satu jawaban singkat yang mudah ditemukan.

Pada titik ini, sebenarnya saya masih berlindung di balik jawaban-jawaban normatif. Terkait pertanyaan tentang A.A. Navis, penetapan Peringatan 100 Tahun A.A. Navis sebagai peringatan internasional oleh UNESCO pada tahun lalu menjadi konteks (baca: alasan) yang melatarbelakangi pelaksanaan pameran dan seluruh rangkaian kegiatan acara. Sementara itu, untuk pameran Toeti Heraty, permintaan yang datang langsung dari keluarga menjadi jawaban yang sulit untuk disanggah.

Meski demikian, sebagai seseorang yang sebenarnya juga tidak pernah merasa terpuaskan dengan jawaban-jawaban normatif, saya berusaha menemukan jawaban yang lebih substansial dengan mempertanyakan pada diri sendiri, siapa tokoh (sastra) yang ‘pantas’ untuk dipamerkan?

Ketika berbicara tentang kepantasan atau kepatutan, hal yang bisa dibilang paling lumrah adalah menentukan kriteria-kriteria penilaian tertentu. Ambil saja sebagai contoh kerja-kerja penjurian lomba atau sayembara yang menuntut penentuan kriteria penilaian sebagai pegangan untuk menentukan naskah atau tulisan mana saja yang dianggap pantas untuk menjadi pemenang.

Namun, dalam konteks ini agaknya juga tidak semudah menentukan kriteria penilaian penjurian untuk sayembara penulisan, karena kita berhadapan dengan sosok manusia dengan segala latar belakang dan sejarah perjalanannya. Mengingat itu semua, barangkali ‘kontribusi’ menjadi salah satu aspek kriteria yang paling mendasar.

Bagaimana kita mendeskripsikan ‘kontribusi’? Jawabannya pun bisa beragam. Mungkin ada yang mendudukkan perkaranya pada jumlah karya yang pernah dibuat seorang penulis dalam sepanjang hidupnya. Barangkali bagi beberapa orang yang lain kuantitas tidak bisa dijadikan aspek penilaian tanpa mempertimbangkan kualitas dari karya-karya tersebut.

Lalu bagaimana pula menilai kualitas tersebut? Apakah satu dua karya yang memang diakui baik oleh pembaca atau kritikus cukup untuk membuat seorang penulis pantas dipamerkan, atau paling tidak katakan harus ada 5 dari 7 karya yang kualitasnya baik untuk menjadikan seseorang pantas dipamerkan atau ‘dirayakan’?

Selain itu, umur karya juga cukup sering dijadikan pertimbangan dalam menilai kualitasnya. Semakin lama ia diperbincangkan, dibaca lintas generasi, dan ‘menginspirasi’ penulis atau karya-karya selanjutnya dianggap semakin baik. Namun, perjalanan Sastra Indonesia tidak luput dari pelarangan dan pembredelan sebagai imbas politik yang menyebabkan keterputusan rantai distribusi karya dan pengetahuan. Jika menyebutkan Pramoedya Ananta Toer mampu melewati itu semua, ia hanya satu dari sekian penulis yang ‘beruntung’ dan keberhasilan itu pun tidak luput dari dukungan ekosistem di sekitarnya.

Dengan semua problematika tersebut, saya menawarkan satu pendekatan yang lebih menekankan pada gagasan yang ditawarkan atau dikomunikasikan penulis melalui karya-karyanya.

Sebut saja misalnya S. Rukiah dalam novel Kejatuhan dan Hati yang memilih untuk menghadirkan tokoh utama perempuan dengan latar belakang cerita perang revolusi kemerdekaan ketika kebanyakan karya sastra dan seni yang dibuat kala itu cenderung mengglorifikasi kegagahan dan heroisme yang maskulin. Pesan-pesan antiperang terselip di antara dialog-dialog dalam karyanya, diperkuat dengan penggambaran isu yang belum digarap oleh penulis Indonesia pada saat itu seperti misalnya kehamilan di luar hubungan pernikahan.

Kemudian kita tentunya tidak asing dengan karya monumental A. A. Navis, yakni cerpen “Robohnya Surau Kami” yang mendobrak dunia Sastra Indonesia kala itu. “Robohnya Surau Kami”, di samping sembilan cerpen lain yang menyusun antologi berjudul sama, diakui sebagai penanda babak baru dalam Sastra Indonesia karena menampilkan wajah Indonesia dengan kisah-kisah yang getir serta dipenuhi kata-kata satir dan cemoohan. Selain itu, hadirnya nilai-nilai yang bersifat universal dalam karya-karya A.A. Navis juga menjadi pertimbangan utama UNESCO dalam penentuan 100 tahun A.A. Navis sebagai peringatan internasional. Kata-kata satir dan kritis yang menjadi senjata A.A. Navis tidak hanya muncul di karya-karya sastranya, tetapi juga menghiasi tulisan-tulisan nonfiksi yang dibuatnya untuk merespons berbagai fenomena kontemporer.

Sementara itu, Toeti Heraty sudah sejak lama diakui sebagai penulis perempuan Indonesia yang secara terang-terangan dan konsisten mengampanyekan gagasan-gagasan feminisme dalam karya-karyanya. Salah satu contohnya adalah “Manifesto”, dimana Toeti tidak ragu-ragu menghadirkan aku liris yang lantang menantang dunia yang patriarkis: aku tuntut kalian/ ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi/ siapa tahu, suap-menyuap telah meluas menjulang/ sampai ke Hakim Tinggi/ siapa jamin, ia tak berpihak sejak semula/ karena dunia, pula semesta, pria yang punya. Didukung lebih lanjut dengan ketertarikan dan latar belakang di pendidikan filsafat, serta Toeti Heraty mewariskan karya-karya fiksi dan nonfiksi yang mengajak pembacanya–terutama perempuan–bertransendensi melampaui batas-batas.

Barangkali perlu juga saya tambahkan Danarto dalam contoh ini, yang menjadi tokoh penulis lain yang digarap pamerannya dalam Pekan Kebudayaan Nasional 2023 oleh Grace Samboh bersama timnya. Danarto dikenal sebagai penulis yang memadukan aspek citra dan kata, menyajikan karya-karyanya dengan permainan bentuk yang dipengaruhi kuat oleh kesadaran artistik yang tinggi. Tidak jarang juga cerpen dan puisinya dibubuhi dengan ilustrasi buatannya sendiri yang turut menguatkan isi dari karya tulisnya. Selain itu, dalam beberapa karyanya kita juga dapat menemukan elemen-elemen fiksi ilmiah yang bisa dibilang jarang disentuh oleh penulis Indonesia.

Tawaran-tawaran gagasan tersebut menjadikan masing-masing dari mereka memiliki posisinya masing-masing dalam periode-periode tertentu dalam sejarah Sastra Indonesia ketika mereka menjadi bagian di dalamnya dan perannya masing-masing pula pada masa-masa posthumous.

Dengan demikian, ‘kontribusi’ yang menjadi aspek penilaian dari pantas atau patut tidaknya seorang penulis untuk dipamerkan tidak berhenti pada kuantitas jumlah karya yang pernah ditulis, juga tidak terombang-ambing dalam penilaian tentang kualitas yang seringkali–dan mungkin memang semestinya–bersifat subjektif sehingga tidak mudah untuk ditentukan patok-patoknya. Gagasan-gagasan tersebut pada gilirannya juga menjadi ‘petunjuk’ bagi kurator pameran dalam melakukan kerja-kerja kuratorial, misalnya seleksi atas arsip karya yang dipilih untuk dipamerkan.

Meski demikian, saya sendiri tetap belum merasa puas dengan pendekatan yang saya tawarkan sendiri di atas. Ketidakpuasan tersebut berpangkal dari kenyataan bahwa pendekatan tersebut belum sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Jika menggunakan pendekatan yang saya tawarkan tadi, bukankah Sitor Situmorang dengan Surat Kertas Hijau-nya, atau Suwarsih Djojopuspito dengan Manusia Bebas-nya (yang pengantarnya juga ditulis oleh Toeti Heraty) juga bisa dikategorikan pantas atau patut dipamerkan?

Pada titik inilah saya harus mengakui bahwa jawaban yang tersisa agaknya akan mengecewakan. Karena pada akhirnya kita tidak bisa terlepas juga dari ‘kesempatan’, yakni hal-hal yang tadi saya sebut sebagai jawaban normatif dari pertanyaan-pertanyaan terkait siapa yang pantas dipamerkan.

Penetapan UNESCO tahun lalu memutuskan A.A. Navis dan Kamalahayati sebagai dua tokoh Indonesia untuk diperingati 100 tahunnya secara internasional dengan pertimbangan-pertimbangan tersendiri, dan bukan Sitor Situmorang atau Charlotte Salawati (politisi, penulis, sekaligus bidan kelahiran Sulawesi Utara yang saya teliti sosok dan karyanya dalam Ruang Perempuan dan Tulisan).

Sementara itu, keluarga Toeti Heraty agaknya juga memiliki kapital yang memadai untuk menyadari pentingnya memperingati warisan-warisan karya dan pemikiran seorang Toeti Heraty. Kita harus mengakui bahwa kapital tersebut tidak dimiliki oleh semua keturunan atau keluarga tokoh-tokoh penulis dan sastrawan yang memiliki kontribusi bermakna.

Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan yang menjadi persoalan utama dari tulisan ini meliputi perihal-perihal yang berkaitan langsung dengan kiprah sang tokoh dan faktor-faktor yang berada di luarnya. Barangkali perihal yang saya jabarkan di tulisan ini tidak memuaskan keingintahuan dan pencarian para pembaca.

Pada saat yang sama, barangkali pertanyaan tersebut juga sudah semestinya diganti menjadi lebih mengarah kepada ‘sejauh mana kurator mempertanggungjawabkan kepantasan seorang tokoh untuk dipamerkan?’ Seperti inilah tulisan ini saya buka dan saya tutup dengan pertanyaan.

--

--