Subversivitas Ambiguitas

Dhianita Kusuma Pertiwi
15 min readJul 14, 2024

--

“Maksud baik Anda untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Dua larik “Sajak Pertemuan Mahasiswa” yang ditulis W.S. Rendra tersebut –paling tidak menurut saya– mempunyai umur daya tampar yang panjang, jika tidak abadi. Hanya saja, dalam konteks dunia kesusastraan Indonesia saat ini, jika ada seorang penyair yang membuat puisi bernada serupa, ia akan dicemooh karena menulis ‘puisi pamflet’. Rendra sendiri sebenarnya juga sudah mendapatkan cemooh demikian pada 1970-an, dan ia meresponsnya secara cukup tangkas dengan menyuarakan “Pamflet bukan tabu untuk penyair”¹ serta mengumpulkan tulisan tangan puisinya lalu dijilid dan difotokopi dengan judul Pamflet Penyair. Semua itu ia lakukan untuk semakin mempertegas posisi — politik — nya sebagai seorang penyair, khususnya di bawah rongrong otoritarianisme Orde Baru.

Posisi itu jugalah yang berusaha dibaca Max Lane melalui bukunya, Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?: Politik Seni Subversif Rendra yang merangkum beberapa tulisan pembacaannya atas karya-karya dan proses kreatif Rendra terutama sebagai seorang dramawan. Banyak pembahasan penting dalam buku tersebut yang membantu saya untuk lebih memahami karya-karya drama Rendra yang bisa dibilang cukup berjarak dari saya.

Lapisan jarak yang pertama berkenaan dengan waktu–sesuatu yang barangkali tidak bisa digugat. Kebanyakan naskah Rendra, termasuk yang dibahas oleh Max Lane dalam bukunya, ditulis dan dipentaskan pada 1970-an. Pesan-pesan–subversif–yang bersemayam dalam karya-karya Rendra menjadi bahan bakar aktivis dan demonstran yang menuntut jatuhnya Orde Baru sejak 1970-an sampai mencapai puncaknya pada 1998. Semua itu tidak menjadi pengalaman empiris bagi saya yang baru dilahirkan pada 1993.

Lapisan jarak kedua sifatnya lebih struktural dan masih memiliki ruang untuk digugat. Dibandingkan bentuk-bentuk karya sastra lain, drama bisa dibilang semakin kehilangan panggungnya. Buku-buku naskah drama tidak diminati, kelompok teater di kampus tidak lagi memikat mahasiswa, gedung-gedung pertunjukan kalah dijejali dari konser penyanyi tunggal yang dikenal berkat TikTok. Saya mengatakan hal ini bersifat struktural karena ada faktor keengganan dari institusi-institusi terkait untuk mengembangkan drama dan teater dengan berbagai alasan, mulai dari sekolah dan kampus, lembaga yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan kebudayaan, sampai pemerintah.

Dengan semua situasi tersebut, saya mendapati terbitnya tulisan-tulisan Max Lane tentang karya dan kiprah Rendra sebagai salah satu momentum pencerahan dalam ranah kajian sastra, khususnya kajian terhadap karya-karya drama dan teater. Meski demikian, agaknya karena buku ini merupakan kumpulan tulisan yang sebelumnya dipublikasikan secara terpisah-pisah, tidak terlalu mudah untuk mengikuti dan memahami alur pembahasan dan argumen-argumen yang disampaikan penulisnya. Beberapa bagian menunjukkan repetisi, seperti misalnya uraian terkait posisi Rendra ketika polemik politisasi sastra vs humanisme universal terjadi. Pada saat yang sama, sejumlah konsep dan argumen yang dihadirkan sebagai kerangka dan hasil pembacaan atas karya Rendra tersebar di sepanjang buku layaknya daun kering yang gugur dan berserakan.

Dalam tulisan ini saya akan mencatat kembali poin-poin penting yang telah coba ditedaskan Max Lane dalam Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?: Politik Seni Subversif Rendra, sekaligus meresponsnya dengan kacamata penikmat dan pengkaji sastra. Sebagai pijakan diskusi, tanpa bermaksud untuk melakukan simplifikasi, saya berusaha merangkum hasil pembacaan Max Lane atas ‘perjalanan’ Rendra sebagai berikut:

  • Sebelum 1965: Rendra aktif bergabung bersama budayawan dan sastrawan yang menentang ide dan politik kelompok kiri.
  • 1965: sejak 1964 sampai 1967 Rendra belajar drama di American Academy of Dramatic Art di Amerika Serikat.
  • Setelah 1965: aktivitas politik Rendra tampak melalui relasi dekatnya dengan Arief Budiman yang menjadi tokoh ‘gerakan moral’.
  • 1970-an: Rendra masuk ke dalam produksi karya-karya ‘drama yang terlibat’ dan puisi-puisi pamflet.

“Saudara berdiri di pihak yang mana?” sebagai kerangka pembacaan

Keluhan, sindiran, dan barangkali juga serangan terkait sepinya kritik sastra dewasa ini rasa-rasanya sudah memenuhi hampir semua pembicaraan terkait Sastra Indonesia. Oleh karena itu, saya tidak akan berpanjang-panjang membahasnya dalam tulisan ini. Satu hal yang ingin saya soroti terkait hal ini adalah kecenderungan cara pembacaan karya sastra yang dewasa ini menurut saya terjebak di dua jalur.

Jalur yang pertama adalah ulasan yang mengarah pada promosi buku, perlu tidaknya suatu karya dibeli oleh calon pembaca. Seakan-akan pengulas buku tersebut bertanggung jawab atas laris tidaknya buku yang dibahasnya di pasaran. Pembahasan yang demikian ini semestinya dilakukan oleh penerbit yang memang punya kepentingan untuk menjual produknya, bukan pengulas yang semestinya menawarkan pembacaan kritis. Sementara jalur yang kedua adalah pembacaan yang dibebani oleh teori-teori mapan yang dicetuskan oleh pemikir-pemikir besar. Kecenderungan seperti ini jamak ditemukan di tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh mahasiswa jurusan Sastra, atau bahkan pengajarnya, yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah. Penggunaan konsep dan teori yang berlebihan pada gilirannya mengubur pendapat dan argumen dari pengulas, karena segalanya harus diutarakan di atas punuk orang lain.

Di tengah kondisi seperti ini, Max Lane menawarkan cara pembacaan yang segar dengan menjadikan elemen dari karya Rendra sebagai kerangka pembacaan. “Saudara berdiri di pihak yang mana?” diterjemahkan kembali oleh Max Lane sebagai pertanyaan yang perlu disampaikan untuk membaca posisi politik Rendra berdasarkan karya-karya dan aktivitas berkeseniannya. Secara tidak langsung, Max mengutarakan bahwa pengulas karya sesungguhnya memiliki keleluasaan yang sedemikian luas dalam membaca karya atau sosok penulis yang dihadapinya. Hal ini akan membawa kita kembali kepada esensi kritik sastra yang bukan perkara salah benar yang diujikan berdasarkan rumus-rumus pasti, melainkan sebuah dialog pertanggungjawaban atas suatu pernyataan. Kita tidak selalu harus berlindung di balik tameng pendapat orang lain–yang kebetulan namanya lebih besar– karena suatu karya bisa menawarkan ruang eksplorasi yang sangat luas. Persoalannya adalah bagaimana kita bisa menjelajahi ruang-ruang tersebut. Oleh karena itu, keputusan analitik yang diambil Max Lane dapat dan perlu dipelajari oleh mereka yang tertarik pada pengkajian dan kritik sastra.

Tidak hanya segar dalam konteks pengkajian sastra Indonesia dewasa ini, tawaran Max Lane menjadikan dua larik dari puisi “Sajak Pertemuan Mahasiswa” sebagai ‘pertanyaan balik’ juga mampu menempatkan sosok, karya dan aktivitas Rendra sebagai entitas politik secara konsisten. Saya berasumsi bahwa memang pesan itulah yang ingin disampaikan oleh Max Lane melalui ulasannya, dan dalam hal ini ia berhasil melakukan itu. Pada saat yang sama, cara pembacaan yang ditawarkan Max Lane juga mengingatkan kita untuk tidak ‘takut’ menggunakan politik –sebagai pemikiran– sebagai alat untuk membaca karya sastra. Ketika membaca buku ini saya teringat pengalaman saya pribadi berdebat dengan pembimbing akademik saya waktu kuliah ketika saya mengajukan ide tesis untuk meneliti karya-karya sastra penulis Lekra Malang. Ide saya tersebut kurang didukung karena dikhawatirkan kajian yang saya lakukan akan berat ke politik atau sejarah daripada analisis sastra. Dalam hal ini, Max Lane cukup berhasil untuk menunjukkan bahwa pertemuan antara sastra dengan politik tidak semerta-merta mengurangi kekuatan analisis, dengan tetap melakukan pembacaan dekat terhadap dialog dan penokohan untuk konteks naskah drama, atau diksi dan suasana untuk konteks puisi.

Saya pun cukup setuju dengan pernyataan Max Lane bahwa “karya Rendra dan sumbangannya terlalu berharga untuk tidak menjadi milik seluruh rakyat Indonesia”.² Meski demikian, minat dewasa ini terhadap karya-karya Rendra, baik untuk sekadar dinikmati, ditampilkan, atau dibaca secara kritis, bisa dibilang tidak terlalu tinggi. Hal ini berkaitan dengan isu struktural yang sempat saya utarakan pada awal tulisan ini. Di sisi lain, saya juga berasumsi kurangnya minat ini turut dipengaruhi oleh dinamika gelombang (baca: tren) estetika dalam penciptaan karya sastra dan seni–perihal yang akan saya bahas lebih lanjut pada bagian berikutnya dalam tulisan ini.

Ambiguitas sebagai strategi (?)

Kita akan mendapati argumen-argumen Max Lane atas karya dan kiprah Rendra tersebar di sepanjang buku Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?: Politik Seni Subversif Rendra, yang semuanya mengarah pada jawaban atas pertanyaan “Saudara berdiri di pihak yang mana?” Mari kita lihat kembali lini masa perjalanan Rendra yang saya rangkum di atas, dimulai dari periode sebelum 1965.

Kedekatan Rendra dengan sastrawan dan budayawan yang menentang politik kiri serta politisasi sastra dan seni pada periode pemerintahan Sukarno sampai hari ini menjadi salah satu perdebatan. Tidak sedikit yang mengklaim bahwa Rendra memang merupakan bagian dari Manifesto Kebudayaan yang ideologinya bertentangan dengan apa yang disuarakan oleh kelompok Lekra. Tindakan itu kerap kali dipandang sebagai sebuah ‘kecacatan’ dan menurunkan derajat kepolitikan Rendra sebagai seniman yang berpihak kepada masyarakat yang tertindas.

Sementara itu, Max Lane mencatat bahwa “menurut (Arief) Budiman dalam cuplikan buku hariannya yang dipublikasikan di Horison, Rendra dianggap sebagai perwakilan seniman Manikebu meskipun ia tidak ikut menandatangani Manikebu.”³ Turut ditambahkan, dan menurut saya juga perlu ditinjau lebih lanjut, bahwa meski Rendra menolak politik populis Sukarno–bersama Budiman dan kawan-kawan–tidak ada bukti atau catatan yang menunjukkan “kerja samanya dengan kekuatan militer selama periode sebelum 1965”.⁴ Posisi tersebut jelas menjadikan Rendra berbeda dari para seniman dan sastrawan lain kala itu yang mendeklarasikan partisipasi dan dukungannya terhadap satu kelompok dan gagasan secara ajek. Dia tidak seperti Taufiq Ismail di laras Manikebu, tetapi tidak juga seperti Joebaar Ajoeb di pihak Lekra.

Ketika peristiwa kudeta 1965 terjadi, Rendra sedang memasuki tahun kedua kuliah drama di Amerika Serikat, sehingga dapat bisa dipastikan tidak mengalami secara langsung dampak dari pelanggaran HAM berat dan kekerasan budaya masif yang terjadi pada periode 1965–66. Sekali lagi, hal tersebut menjadikan Rendra berbeda dengan Pramoedya yang pada Oktober 1965 rumahnya diobrak-abrik dan kemudian dipenjarakan sebagai tahanan politik selama bertahun-tahun tanpa proses peradilan. Ia juga tidak seperti H. B. Jassin yang pada 1966 mendirikan Horison bersama Mochtar Lubis, majalah yang dalam perkembangannya menjadi barometer kualitas dan popularitas karya sastra dan sastrawan Indonesia.

Di antara dua pusaran tersebut, setelah pulang dari Amerika Serikat, Rendra kembali ke Yogyakarta lalu membentuk Bengkel Teater pada 1967. Pada saat itulah Rendra menghasilkan “drama-drama pertamanya yang merupakan ekspresi kekecewaan terhadap kekerasan massal”,⁶ salah satunya seperti drama Bip Bop (1968).⁷ Ketika para seniman dan sastrawan yang tergabung dalam Lekra atau mendukung politik kiri dipenjarakan dan dibuang oleh pemerintah Orde Baru, mereka yang tergabung dalam Manikebu mendapatkan panggung sebagai elite intelektual Jakarta. Sebelum keberangkatannya ke Amerika Serikat, Rendra sudah dikenal secara nasional sebagai seorang penyair. Ditambah dengan statusnya kemudian sebagai lulusan kampus bergengsi di Amerika Serikat, bisa sebenarnya Rendra punya tempat di antara golongan elite tersebut. Namun, ia memilih untuk tetap berada dan berkarya di Yogyakarta, jauh dari kebisingan politik dunia seni Jakarta. Kendati demikian, Rendra juga sering tampil di Jakarta, terutama di Taman Ismail Marzuki, pada 1968 sampai 1970.

Di sisi lain, Rendra masih menjaga kekerabatan yang erat dengan Budiman yang memperkenalkan Manikebu pada 1963, menjadi salah satu tokoh sentral ‘antipolitik’ Angkatan ’66, dan kemudian turut menyampaikan protes keras kepada rezim Orde Baru. Salah satu wujud nyata dari kedekatan tersebut adalah partisipasi Rendra dalam kegiatan-kegiatan protes yang diorganisir Budiman, termasuk Malam Tirakatan yang diselenggarakan pada Agustus 1970. Kegiatan itu merupakan salah satu manifestasi dari ‘gerakan moral’ yang diperjuangkan Budiman pada 1970 sampai 1972, yakni gerakan yang dilakukan masyarakat untuk memberikan tekanan moral kepada pemerintah guna menggerus ekses-ekses yang ditimbulkan. Meski demikian, keterlibatan dalam gerakan moral dan kedekatan dengan Budiman tidak membawa Rendra bekerja sama dengan militer untuk menyingkirkan kaum Kiri.

Sikap ‘politik/ anti-politik’⁷ Rendra pada periode 1970-an ditandai dengan keengganannya untuk mendukung dan terlibat dengan kecenderungan kebudayaan dominan yang dikonstruksikan oleh para elite intelektual Jakarta. Hal tersebut mewujud dengan penyelenggaraan Perkemahan Kaum Urakan di Pantai Parangtritis pada 16–18 Oktober 1971. Perkemahan Kaum Urakan sebagai sikap politik/ anti-politik dibaca oleh Max Lane sebagai suatu keberlanjutan dari pertunjukan Dunia Azwar pada Juni 1971 atau satu bulan menjelang Pemilu–yang tentu saja kemudian dimenangkan oleh Golkar–yang turut menyertakan sajak “Hak Oposisi”. Keduanya menurut Max Lane menawarkan gagasan tentang ‘kelompok pengimbang’ dari kekuatan dominan yang–meskipun bernama ‘oposisi–tidak melakukan perlawanan secara radikal dan antagonistik terhadap kaum elite.

Dekade 1970-an dibaca oleh Max Lane sebagai periode ketika Rendra mulai menghasilkan ‘drama yang terlibat’. Berkaitan dengan poin pertama yang saya bahas dalam tulisan ini, ‘drama yang terlibat’ merupakan tawaran konsep yang baru sekaligus menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Dalam buku ini, kita tidak akan menemukan definisi rigid terkait apa itu ‘drama yang terlibat’–barangkali kesengajaan pencetusnya untuk mencegahnya menjadi suatu konsep yang mapan. Namun, dari penjabarannya kita bisa memaknai ‘drama yang terlibat’ sebagai bagian dari aliran ‘Seni yang Terlibat’ yang berlangsung di Indonesia pada 1973–1979. Karya seni yang terlibat adalah yang mengandung pandangan politik senimannya atas fenomena sosial politik yang terjadi di sekitarnya.

Lebih lanjut, Max Lane mengulas beberapa karya besar Rendra pada periode aliran ‘seni yang terlibat’ untuk mengukur derajat keterlibatan (politik) karya-karya tersebut. Tiga karya drama Rendra yang mendapatkan porsi kajian mendalam antara lain Mastodon dan Burung Kondor (dipentaskan November 1973), Lysistrata (April 1975), dan Kisah Perjuangan Suku Naga (Oktober 1975). Sekali lagi tanpa ada keinginan untuk mereduksi penerokaan yang telah dilakukan Max Lane, saya akan berusaha merangkumnya sebagai berikut:

  • Mastodon dan Burung Kondor merupakan karya ‘drama terlibat’ pertama Rendra tetapi masih tampak naif dari segi plot karena revolusi yang dilakukan tokoh utama sang penyair tidak mengubah apa pun, sehingga “keseluruhan cerita merupakan pernyataan skeptisisme terhadap perjuangan politik.”⁸
  • Lysistrata memiliki kecenderungan serupa dengan Mastodon karena meskipun dapat dibaca sebagai lakon “antipemerintah”, pertunjukan tersebut menggambarkan “perlawanan pasif” dalam perjuangan kaum perempuan terhadap korupsi dan militerisme yang disimbolkan dengan tokoh suami.
  • Kisah Perjuangan Suku Naga merupakan karya ‘drama yang terlibat’ Rendra yang paripurna karena kerakyatan memiliki kedudukan sentral, menggunakan struktur dramatik yang diadaptasi dari lakon wayang, sehingga menjadi “pertemuan yang murni antara pengalaman budaya pribumi dan realitas sosial kontemporer.”⁹

Secara khusus, Max Lane menggarisbawahi temuan-temuannya atas kontradiksi antara “keengganan seniman independen untuk terlibat dalam perjuangan politik dan kebutuhan objektif mereka untuk terlibat hanya agar lakon-lakon kritikal dapat diproduksi.”¹⁰ Misalnya dalam Mastodon –paling tidak menurut kacamata ideal Max Lane terkait ‘drama yang terlibat’ semestinya tokoh utama penyair –yang diperankan sendiri oleh Rendra– berhasil membuat perubahan guna menghadirkan wacana keberhasilan gerakan perjuangan politik. Begitu pun demikian untuk kasus Lysistrata, semestinya akhir “adegan menjadi klimaks yang menampilkan pemecahan masalah”,¹¹ atau dalam kata lain terjadi revolusi.

Semua keterangan tersebut pada gilirannya mengantarkan (baca: menjerumuskan) saya pada pertanyaan “jadi apa kata yang tepat untuk menerangkan posisi politik Rendra (pada empat titik periode tersebut)?” Terkait hal ini, paling tidak Max Lane beberapa kali menyebutkan ‘ambiguitas’ dan ‘kontradiksi’; misalnya ia menggunakan ‘ambiguitas’ untuk menerangkan kedekatan Rendra dengan Arief Budiman yang dibarengi keberjarakan dengan elite intelektual Jakarta, lalu menggunakan ‘kontradiksi’ untuk menerangkan ketidakselarasan antara kecenderungan hati-hati dalam cerita lakon yang dibuatnya dengan sikap penolakan subjektif Rendra tentang keterlibatan politiknya.

Sampai di sini, semua penjelasan Max Lane membuat pembaca, atau paling tidak saya, kembali memikirkan narasi-narasi tentang sejarah sastra atau seni yang selama ini beredar dan dijadikan pegangan untuk memahami perjalanan kebudayaan Indonesia. Relasi ambigu Rendra di tengah gonjang ganjing Lekra-Manikebu mengindikasikan bahwa polemik tersebut agaknya tidak sehitam putih yang selama ini kita bayangkan atau baca dari sejumlah literatur. Ada apa yang saya sebut ‘area abu-abu’ di mana Rendra, dan barangkali beberapa seniman dan sastrawan lain, bermanuver guna mendapatkan ruang untuk berkarya dan menyampaikan pandangan (politik)nya, khususnya di masa-masa krusial antara pelarangan Sukarno terhadap Manifesto Kebudayaan dan represi Suharto terhadap ideologi Kiri.

Ambiguitas tersebut menurut saya bukanlah sesuatu yang tidak sengaja terjadi. Rendra belajar di Amerika Serikat pada awal 1960-an, ketika pemikiran dan gerakan New Left mulai berkembang di sana. Max Lane pada bab awal bukunya pun mengaku bahwa Rendra menyarankan ia membaca buku-buku Erich Fromm, salah seorang tokoh penting dalam perkembangan pemikiran sosialis demokrat. Sayangnya, Max Lane tidak membahas perjalanan Rendra di Amerika Serikat dan mengintegrasikan pengalaman tersebut dalam pembacaannya atas aktivitas dan karya-karya Rendra. Sementara itu, saya mengasumsikan banyak hal yang dijumpai dan barangkali dipelajari Rendra pada periode tersebut yang turut memengaruhi pandangan dan sikap politiknya yang kemudian termanifestasikan dalam persinggungannya dengan lingkaran-lingkaran intelektual Jakarta dan ‘masyarakat biasa’ di Yogyakarta, serta tertuang dalam karya-karya sastranya.

Kemudian kontradiksi dan level keterlibatan dalam Mastodon dan Lysistrata yang dikritisi oleh Max Lane juga barangkali perlu ditinjau lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal-hal yang absen dalam kajian, atau paling tidak, tulisannya tersebut. Perihal pertama berkenaan dengan aspek formalistik-teknik dalam penciptaan karya pertunjukan teater. Pembacaan Max Lane atas karya-karya teater Rendra berpaku pada pertunjukan panggung, tidak ada penyebutan bahwa ia merujuk kepada teks naskah yang ditulis Rendra. Sementara itu, perlu disadari sifat distingtif dari karya drama/ teater yang membedakannya dari karya sastra lain seperti prosa dan puisi.

Naskah drama, khususnya yang dibuat Rendra, ditulis untuk dipertunjukkan, dan dalam proses penggarapan naskah menjadi pertunjukan kerap kali terjadi perubahan-perubahan pada berbagai unsur cerita seperti misalnya dialog dan karakter tokoh, atau bahkan plot cerita sekali pun. Faktor penyebabnya bisa bersifat artistik (baru disadari oleh penulis/ sutradara bahwa yang apa yang ditulisnya ternyata perlu disesuaikan di sana sini ketika dihadapkan dengan realitas panggung), atau teknis (ketersediaan dana, kondisi material panggung pertunjukan), sampai ideologis. Faktor yang terakhir ini barangkali berlaku untuk pertunjukan Mastodon yang menjadi karya pertama Bengkel Teater yang dilarang. Pertunjukan tersebut mulanya direncanakan untuk tampil di Universitas Gadjah Mada pada 11–12 November 1973 tetapi tidak mendapatkan izin dari pihak otoritas, sehingga baru bisa ditampilkan pada 24 November di Sport Hall Kridosono. Menurut saya ada kemungkinan pelarangan tersebut memengaruhi suguhan yang ditampilkan Rendra dan kawan-kawan, yang kemudian dinilai oleh Max Lane sebagai ‘naif’.

Begitu pun untuk Lysistrata yang menghadirkan kelompok pejuang perempuan sebagai tokoh utama. Max Lane membaca pertunjukan tersebut secara sekilas, tanpa mengaitkannya dengan konteks pergerakan perempuan pada masanya, baik di taraf global maupun nasional. Periode 1970-an dipandang sebagai salah satu momentum penting dalam perjalanan gerakan feminis internasional, ditandai dengan berbagai peristiwa bersejarah seperti demonstrasi besar-besaran pada bulan Agustus untuk memperingati 50 tahun pemberian hak pilih bagi perempuan, kasus persidangan Roe vs Wade yang mengawali legalisasi aborsi di Amerika Serikat, dibarengi dengan kebangkitan pada ranah kajian perempuan dengan berdirinya pusat-pusat studi gender yang fondasinya mulai dibangun pada dekade sebelumnya. Sementara itu, kondisi di Indonesia pada saat itu masih sangat terdampak oleh –meminjam istilah Saskia Wieringa–’politik seksual’¹² yang narasi utamanya adalah mendemonisasi Gerakan Wanita Indonesia dan mendepolitisasi gerakan perempuan. Di tengah kondisi seperti itu, gerakan perempuan di Indonesia memang mulai menemukan pijakannya, tetapi sedang dalam proses pendewasaan. Dengan demikian, saya menawarkan alternatif pembacaan atas Lysistrata sebagai upaya Rendra untuk merepresentasikan kondisi pergerakan perempuan di Indonesia kala itu yang tengah mencari bentuk.

Kenyataan bahwa Max Lane “belum sempat menonton Rendra lagi sejak 1975”¹³ juga merupakan satu perihal tersendiri yang perlu dipertimbangkan, terlebih karena ia berpendapat bahwa aliran ‘seni yang terlibat’ berlangsung di Indonesia pada periode 1973 sampai 1979. Di sisi lain, pada periode tersebut sebenarnya Rendra juga sudah mulai mencari ruang baru untuk Bengkel Teater yang semakin sering mendapatkan pelarangan dari pihak-pihak otoritas di Yogyakarta. Pemindahan Bengkel Teater dari Yogyakarta ke Depok dilakukan secara berangsur sejak 1977 sampai akhirnya sepenuhnya berganti tempat pada 1987 dengan nama baru Bengkel Teater Rendra atau BTR, melibatkan pembagian tugas dimana Bengkel Teater di Yogya mengurusi perkara ideologis sementara di Depok mengurusi perihal artistik dengan koordinatornya masing-masing.

Dengan demikian, saya ingin menggarisbawahi di sini bahwa masih ada ruang yang begitu lapang untuk menganalisis aktivitas (politik) dan karya-karya Rendra dan menilai level keterlibatannya–itu pun jika kita masih ingin menggunakan ‘seni/ drama yang terlibat’ sebagai kerangka pembacaan. Barangkali, ambiguitas dan kontradiksi merupakan strategi (politik dan artistik) Rendra untuk merebut ruang berkarya dan bersuara pada periode abu-abu yang kemudian bergerak menjadi apa yang ia sebut dengan ‘Zaman Edan’. Barangkali juga perlu untuk menempatkan ambiguitas dan kontradiksi sebagai bagian dari perjalanan pencarian bentuk seorang Rendra, sebagaimana kita memaknai –dan memaklumi– perjalanan ideologi Arief Budiman sendiri.

Barangkali-barangkali itulah yang melahirkan tanda tanya pada subjudul bagian ini dan yang sepatutnya tidak hanya berusaha dijawab oleh Max Lane tetapi juga perlu kita sikapi sebagai pewaris karya-karya Rendra dan segala polemik kebudayaan yang terjadi pada periode-periode tersebut.

Menentukan posisi di era ‘serba kontemporer’

Max Lane mendapati bahwa karya-karya seni, terutama drama dan film yang diproduksi setelah 1978, tidak lagi menunjukkan kecenderungan ‘seni yang terlibat’. Dalam konteks film, salah satu faktor pendorongnya adalah gempuran film-film box office yang digandrungi publik, ditambah kebijakan pemerintah agar sineas Indonesia menghasilkan film untuk mengimbangi gempuran tersebut. Pada posisi demikian, sineas Indonesia dituntut untuk kejar tayang dan pada saat yang sama mengikuti pasar, yang pada beberapa titik memengaruhi aspek-aspek ideologis dari karya yang dibuatnya.

Sementara itu, Rendra pada periode ini juga masuk semakin dalam ke dunia showbiz, yang agaknya juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Setelah pemenjaraannya selama hampir setahun tanpa pengadilan selepas pembacaan sajak-sajak pamfletnya pada 28 April 1978 di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki–yang diwarnai dengan pelemparan tas berisi amonia dari arah penonton–Rendra sepertinya sekali lagi perlu bermanuver untuk tetap berkarya. Selain itu, represi besar-besaran yang terjadi periode Zaman Edan ini juga memberikan tekanan luar biasa–meskipun tidak mematikan sepenuhnya–aktivisme dan gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, sehingga bisa dibilang Rendra kehilangan mitra dan ekosistem pendukung untuk melahirkan karya-karya seni yang terlibat.

Setelah tuntas membaca buku Max Lane, saya dibayang-bayangi oleh pertanyaan bagaimana menentukan posisi berdiri di pihak yang mana di era serba kontemporer saat ini. Era ketika pemaknaan serba relatif dan diwarnai dengan gejala-gejala budaya baru yang kemunculannya turut dipengaruhi oleh terbentuknya ekosistem digital. Era ketika –seperti beberapa orang utarakan– sulit untuk menentukan musuh bersama layaknya Angkatan 66 yang berhadapan dengan pemerintah Sukarno dan Angkatan 98 yang berada di posisi antagonistik dengan Orde Baru. Era ketika estetika pamflet dianggap nomor dua setelah sajak-sajak liris yang mengaduk-aduk sisi romantik dari benak pembaca. Era ketika masih ada ekses-ekses dari pendefinisian ‘revolusi’ sebagai subversif sehingga hanya menjadi kosakata sekelompok orang terbatas.

Bukan perkara mudah untuk menjawab perihal tersebut tetapi–sekali lagi–barangkali, kita bisa kembali ke “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, bahwa di antara semua ambiguitas, “ada yang jaya, ada yang terhina / ada yang bersenjata, ada yang terluka / ada yang duduk, ada yang diduduki / ada yang berlimpah, ada yang terkuras”; dan dalam hal ini kita masih perlu berpikir dan bertindak subversif, serta berdiri di pihak yang terluka, diduduki, dan terkuras.

Bagian dari tulisan ini dipaparkan pada acara diskusi buku Saudara Berdiri di Pihak yang Mana? Politik Seni Subversif Rendra di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta pada Sabtu, 13 Juli 2024.

[1] Dalam sajak Rendra, “Aku Tulis Pamflet Ini”.
[2] Lane, M., Saudara Berdiri di Pihak yang Mana? Politik Seni Subversif Rendra (Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2024) hlm. 47.
[3] Ibid., hlm. 68. Penekanan oleh penulis.
[4] Ibid., hlm. 69.
[5] Loc.cit.
[6] Bip Bop diakui sebagai salah satu karya pendahulu teater eksperimental di Indonesia yang menawarkan eksplorasi gerak tubuh. Pertunjukan ini menghadirkan tokoh Zzzzzz yang menyampaikan dialog “zzzzz” melawan bunyi “bip bop” dan mendekati kerumunan orang bersila. Tokoh tersebut ‘mematikan’ satu persatu orang bersila tersebut, termasuk seorang perempuan yang ia mampuskan setelah diperkosa.
[7] Istilah ‘politik/ anti politik’ saya gunakan untuk mewadahi aktivitas (politik) Rendra yang menentang politik populis Sukarno.
[8] Lane, M., Saudara., hlm. 178.
[9] Ibid., hlm. 114–115.
[10] Ibid., hlm. 205.
[11] Ibid., hlm. 184.
[12] Baca lebih lanjut di Wieringa, S., Harsutejo (penerj.) Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (Yogyakarta: Galangpress, 2010).
[13] Lane, M., Saudara., hlm. 45.

--

--

No responses yet