Surat Terbuka untuk Ibu Megawati Soekarnoputri

Dhianita Kusuma Pertiwi
4 min readAug 14, 2022

--

Dokumentasi Kompas

Bu Mega, beberapa hari yang lalu saya–dan jutaan masyarakat Indonesia lain–terpapar dengan berita yang kesekian tentang pernyataan-pernyataan “menarik” yang Ibu sampaikan yang berkenaan dengan isu perempuan. Paling tidak sudah ada tiga kali pernyataan Ibu dalam setahun ini yang menggerakkan saya untuk menulis surat ini.

Pertama adalah respons Ibu terhadap isu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, kemudian yang kedua terkait bagaimana perempuan harus bisa memasak–karena Ibu bisa memasak, dan yang ketiga yang Ibu sampaikan pada kesempatan yang sama dengan pernyataan kedua, yaitu tentang pejabat perempuan yang mengenakan sepatu berhak tinggi ketika turun ke lapangan.

Ibu, saya yakin Ibu sendiri pun memahami betul bahwa bukan hal yang mengherankan jika Ibu menjadi sosok yang diharapkan publik untuk berbicara tentang perempuan. Sayangnya, apa yang Ibu sampaikan mungkin bukan yang beberapa dari kami para perempuan–atau paling tidak saya–harapkan. Siapa yang tidak kenal seorang Megawati Soekarnoputri? Sepak terjang Ibu di dunia politik tentunya satu hal yang tidak dapat diperdebatkan dan penting untuk dipertimbangkan, khususnya dalam konteks peran dan posisi perempuan di dunia yang atmosfernya cenderung mengarah kepada maskulinitas. Namun, pada titik ini saya merasa bahwa terlepas dari semua pengalaman, perjuangan, dan capaian Ibu, menjadikan nilai-nilai yang Ibu percaya atau tindakan-tindakan yang Ibu lakukan sebagai standar yang harus diikuti oleh perempuan lain, khususnya yang berkenaan dengan pilihan-pilihan personal, bukanlah hal yang patut dilakukan.

Dari ketiga pernyataan yang sudah Ibu sampaikan di publik tersebut, paling tidak ada dua hal utama yang ingin saya bahas di sini. Yang pertama tentang perempuan dan aktivitas memasak, dan yang kedua tentang cara perempuan berpenampilan. Pada dua kesempatan terpisah, Ibu menyampaikan kepada para perempuan, khususnya para ibu, untuk bisa kreatif dalam mengolah makanan yang bergizi bagi anak-anak, tidak bergantung pada metode memasak dengan minyak goreng, dan bukanlah hal yang wajar jika perempuan tidak bisa memasak karena Ibu, terlepas dari semua kesibukan di ranah publik, masih memasak untuk keluarga.

Bu Mega, dalam pembacaan saya, pernyataan Ibu itu mengimplikasikan kecenderungan untuk membebankan tugas-tugas perawatan anak termasuk pemenuhan gizi anak dan kerja-kerja reproduktif dalam konteks rumah tangga kepada perempuan. Ini adalah satu hal yang sebenarnya dewasa ini tengah dipertanyakan ulang dengan menguatkan partisipasi aktif laki-laki atau suami dalam relasi heteroseksual alih-alih hanya menjadi penonton atau bahkan pelempar tuduhan ketika terjadi suatu hal yang tidak diharapkan. Ditambah dengan penekanan pada pengalaman Ibu sebagai perempuan yang menjalankan peran ganda di ruang publik dan ruang privat. Saya menyayangkan kecenderungan untuk membenarkan konstruksi yang saat ini sebenarnya juga sedang coba dipertanyakan dan bahkan dibongkar, sebab sekali lagi relasi dibangun oleh empat tangan dua orang, bukan cuma sepasang tangan yang memegang nampan dengan tumpukan piring menjulang.

Dan puncaknya lagi, mengonstruksikan kemampuan memasak sebagai kewajaran bagi perempuan adalah kecenderungan lawas yang sudah semestinya tidak lagi dilakukan dan diwariskan. Mengotak-ngotakkan perempuan sebagai wajar/ tidak wajar, normal/ tidak normal benar-benar jauh dari upaya untuk mendorong perempuan mengenali dan mencintai dirinya sendiri dengan segala kemampuan dan ketidakmampuannya; juga menghargai perbedaan yang ada dalam diri antar perempuan. Perempuan akan tetap menjadi perempuan–apabila mereka ingin mendefinisikan dirinya demikian–jika ia tidak bisa memasak, jika ia tidak memiliki kecenderungan untuk merawat, bahkan jika tubuhnya secara biologis tidak mampu menjalankan fungsi reproduksi.

Kemudian cara bagaimana Ibu mengomentari pejabat perempuan yang turun ke lapangan dengan mengenakan sepatu hak tinggi menurut saya juga problematis. Dalam hal ini, saya yakin bahwa Ibu punya niat yang baik dalam menyampaikan hal tersebut, khususnya dalam konteks meningkatkan kesadaran para pejabat publik tentang perannya sebagai pelayan masyarakat yang sudah semestinya keluar dari istananya dan berinteraksi dengan rakyat. Namun dari pernyataan Ibu, saya membaca nada perploncoan antara sesama perempuan yang kaitannya dengan pilihan-pilihan personal–sesuatu yang seringkali tidak disadari oleh perempuan dan menjegal upaya-upaya untuk mencapai apa yang seringkali disebut sebagai emansipasi.

Dalam hal ini, sekali lagi saya membaca kecenderungan Ibu untuk melakukan pembenaran atas diri sendiri khususnya sebagai perempuan yang menduduki posisi sebagai pejabat publik. Memang hampir tidak pernah Ibu terlihat mengenakan sepatu hak tinggi di kesempatan-kesempatan publik, dan mungkin Ibu merasa lebih nyaman dengan cara berpenampilan seperti itu. Namun Ibu juga perlu ingat bahwa ada orang-orang–terlepas dari gendernya–yang merasa nyaman untuk mengenakan sepatu hak tinggi ataupun jenis-jenis dan unsur-unsur pakaian lain yang mungkin tidak masuk dalam preferensi Ibu. Jika saya tidak salah memahami, saya tahu bahwa Ibu sebenarnya ingin berbicara tentang performa kerja profesional, dan hal tersebut semestinya tidak menjadi alasan untuk menghakimi pilihan orang lain, khususnya dalam hal ini perempuan yang menduduki posisi sebagai pejabat publik.

Ibu Mega yang saya hormati, seperti yang Ibu sampaikan di penghujung kegiatan BKKBN hari itu, ‘saya nulis begini mau diterima monggo, tidak, ya sudah’. Tapi, mbok tolong Ibu bisa lebih cerewet pada hal-hal yang membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan, bukan kepada sesama perempuan.

--

--

No responses yet