Toeti Heraty dalam Pewarisan dan Pertaruhan Kapital

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readMar 31, 2024

--

Dalam tulisan yang saya publikasikan tiga pekan lalu yang membahas tentang dua kegiatan yang saya ikuti pada tahun ini, yaitu Peringatan 100 Tahun A. A. Navis dan pameran tentang Toeti Heraty, saya menyebut kedua orang tersebut sebagai “sosok-sosok yang kompleks”.

Identifikasi tersebut muncul dari penilaian awal atas sosok dan perjalanan kehidupan keduanya yang menerabas batas-batas bidang ilmu dan kelumrahan. Dalam tulisan kali ini, saya ingin membahas lebih lanjut sosok Toeti Heraty berdasarkan penggalian informasi dari buku-buku autobiografi yang ditulisnya ketika masih hidup. Toeti sempat menulis sejumlah autobiografi yang beberapa di antaranya diterbitkan untuk memperingati titik-titik pergantian usianya.

Pada Desember 2003, Toeti menerbitkan Pencarian Belum Selesai: Fragmen Otobiografi Toeti Heraty yang menandai tujuh dasawarsa usianya. Buku tersebut dihadirkan dalam cetakan yang bisa dibilang ‘luks’–menggunakan sampul keras dan kertas art paper, dengan ilustrasi sampul sketsa wajahnya yang dibuat oleh Srihadi Soedarsono setelah acara pengukuhan Toeti sebagai guru besar filsafat Universitas Indonesia pada 24 November 1994. Satu tulisan berjudul “Toeti Heraty: Sebuah Ruang Budaya” yang ditulis Melani Budianta dicantumkan sebagai kata pengantar.

Lima belas tahun kemudian, Toeti menerbitkan buku autobiografinya yang lain berjudul Otobiografi Pencarian Hampir Selesai. Hadir sebagai penanda pergantian usianya yang ke-85, buku tersebut bisa dibilang lebih ‘sederhana’ jika dibandingkan dengan terbitan autobiografi sebelumnya–dicetak dengan sampul standar dan kertas book paper. Kali ini Eka Budianta menjadi sosok yang menyumbangkan tulisannya sebagai pengantar buku tersebut, sementara tulisan Melani Budianta kembali dilibatkan sebagai epilog.

Dilihat dari aspek pemilihan judul, dua karya tersebut menampakkan upaya Toeti untuk menjadikan tulisan autobiografinya layaknya potongan-potongan puzzle yang coba dikumpulkan dan disusunnya seiring perjalanan waktu. ‘Pencarian’ dalam hal ini menurut saya menjadi kata kunci penting, mengindikasikan upaya pemaknaan yang dilakukan subjek pencerita atas perjalanan hidupnya.

Menariknya, Toeti tidak menggunakan judul Pencarian Sudah Selesai untuk buku autobiografi ketiga yang ia terbitkan pada 2021, yang sekaligus menjadi karya autobiografinya yang terakhir sebelum kepergiannya pada tahun yang sama. Alih-alih, ia memilih judul yang terkesan ‘nyleneh’ dan melanggar pola yang ditentukannya pada dua karya sebelumnya, yakni Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu: Fragmen Autobiografi Toeti Heraty.

Dengan menerbitkan sejumlah karya autobiografi, tampak dengan cukup jelas bahwa Toeti adalah seseorang yang punya banyak cerita kehidupan untuk ia bagikan kepada orang lain. Orang lain di sini adalah publik masyarakat yang luas, yang tidak terbatas pada lingkaran kecil keluarga atau rekan-rekan dekat.

Seperti umumnya narasi biografis, kisah yang diceritakan Toeti meliputi gambaran latar belakang keluarga, pengalaman bersekolah, dan perjalanan meniti karier, dengan sesekali diselipi penyebutan nama orang-orang yang punya pengaruh terhadap perjalanan hidupnya. Beberapa hal memang berulang dalam buku-buku tersebut karena Toeti cenderung menggunakan alur penceritaan yang sama di semua karya biografinya, yakni kronologis–dimulai dari titik yang paling lampau sampai pada titik masa sekarang.

Namun, berkaitan dengan pernyataan saya bahwa Toeti adalah sosok yang kompleks, ia tidak berhenti pada tahap mengingat dan menceritakan kembali pengalaman-pengalamannya di masa lampau. Dalam buku-buku autobiografinya, terutama yang pertama dan kedua, Toeti melakukan swarefleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan hidupnya dan turut mengajak orang lain untuk membaca kehidupannya.

Seperti yang sempat saya singgung sebelumnya, Toeti menggunakan kata kunci “pencarian” untuk membingkai pengalaman-pengalaman hidupnya sebagai wujud upaya pemaknaan atas diri sendiri. Di samping itu, hadirnya tulisan-tulisan Melani Budianta dan Eka Budianta sebagai pembuka dan penutup buku menunjukkan keterbukaan Toeti terhadap penilaian orang lain atas identitas dan kehidupannya. Hal tersebut menambah nilai substansi dari karya-karyanya dari ‘sekadar’ penceritaan ulang peristiwa-peristiwa di masa lampau yang sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang.

Semua dari kita pada dasarnya punya kesempatan dan ruang yang sama untuk membagikan kisah pengalaman kehidupan masing-masing. Hal tersebut sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia sebagai homo narrans, atau manusia pencerita. Kemampuan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak dan menuturkan cerita, serta mengenali dan memahami diri sendiri dari cerita orang lain, merupakan karakteristik homo sapiens yang membedakannya dengan spesies-spesies sebelumnya.

Hal yang menjadi pembeda dalam konteks ini hanyalah medium yang digunakan dalam mentransfer cerita tersebut. Salah satu pendekatan yang paling sederhana dan primitif yang masih digunakan manusia abad ke-21 adalah penceritaan lisan yang biasanya dilakukan oleh generasi lebih tua kepada penerusnya, dimana tubuh manusia itu sendiri menjadi medium utamanya. Medium tulis berada di tingkatan berikutnya karena membutuhkan kemampuan untuk mengenali dan memahami sistem aksara.

Apalagi jika kemudian tulisan itu sampai dicetak dan dipublikasikan, jelas ada lebih banyak faktor penentu yang bermain. Faktor-faktor itu antara lain seperti mentalitas subjek pencerita–tidak semua orang kisah kehidupannya dibagikan dan diketahui oleh publik yang terlalu luas, barangkali teman-teman dekat dan anak cucu saja sudah cukup–sampai hal-hal yang sifatnya lebih praktikal seperti kesanggupan ekonomi dalam memproduksi suatu karya. Hal-hal itu jugalah yang menjadikan tidak semua orang bisa menerbitkan buku autobiografi, meski pada dasarnya kita semua diikat oleh persamaan sebagai homo narrans.

Sampai di sini, bisa dibilang bukan hal yang mengherankan jika Toeti mampu dan mau membagikan cerita kehidupannya ke publik luas melalui publikasi yang dapat dibaca semua orang. Melalui kisah kehidupannya, kita akan mengetahui bahwa sejak kecil Toeti merupakan satu dari sedikit perempuan Indonesia kelahiran prakemerdekaan yang memiliki akses terhadap pengetahuan, baik yang terinstitusional menjadi lembaga pendidikan formal maupun yang bersifat lebih organik seperti relasi dengan tokoh-tokoh intelektual pada zamannya. Hal tersebut bisa dibilang memang tidak aneh, karena Toeti terlahir sebagai putri dari seorang insinyur, politikus, dan pengusaha kenamaan Roosseno Soerjohadikoesoemo yang juga dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan Jawa.

Di usia muda ia sudah terpapar dengan karya-karya sastra dunia dan tulisan pemikir-pemikir besar–sesuatu yang sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh sebagian besar orang Indonesia di masa prakemerdekaan, terlebih lagi perempuan. Toeti mengakui bahwa masa-masa pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia yang diwarnai dengan episode-episode pertempuran merupakan periode waktu yang sulit. Ia beberapa kali pindah karena harus mengungsi dan menyelamatkan diri dari konflik fisik yang terjadi di beberapa daerah. Namun, sekali lagi latar belakang keluarganya memungkinkan Toeti untuk menuntaskan pendidikan dasar dan menengahnya di sekolah-sekolah yang baik kualitasnya.

Perjalanan kehidupan Toeti selanjutnya menurut saya masih tidak bisa dilepaskan begitu saja dari hal-hal yang terberi atau terwariskan kepadanya, seperti misalnya menempuh kuliah Sarjana Muda Kedokteran di Universitas Indonesia ketika Indonesia baru enam tahun merdeka, lalu dilanjutkan pendidikan Sarjana Muda Psikologi di Psychologie Gemeentelijke Universiteit Amsterdam.

Sekali lagi, pengalaman seperti itu bukan sesuatu yang lumrah dijalani oleh kebanyakan perempuan Indonesia kala itu. Keberanian dan kesiapan Toeti untuk hidup di luar negeri ketika perempuan Indonesia belum banyak yang melakukannya ada kaitannya dengan orangtuanya yang berpendidikan, latar pendidikannya (ketika SD ia sempat bersekolah di sekolah Belanda), bahan bacaan yang diaksesnya sejak kecil, dan kesempatan untuk bepergian yang diperolehnya juga sejak masih kecil.

Pada titik ini mungkin kita akan tiba pada kesimpulan bahwa Toeti Heraty bisa menjadi Toeti Heraty yang dikenal secara luas oleh publik semata dikarenakan privilese yang terberikan kepadanya, alih-alih hasil yang dicapainya dari proses-proses berupaya dan bekerja. Dengan demikian, semua itu hanya perkara keberuntungan, hal yang tidak bisa didapatkan oleh kebanyakan orang. Saya pun harus jujur bahwa saya sempat berpikiran demikian sebelum menerima ajakan dari keluarga Toeti untuk menjadi kurator pameran dan pada akhirnya menyelami kehidupannya salah satunya melalui buku-buku autobiografi yang pernah ditulisnya. Kini, setelah melakukan penelusuran lebih dalam, cara pandang saya berubah.

Meski pewarisan kapital tersebut tidak bisa dikesampingkan sepenuhnya, perjalanan hidup Toeti sebagaimana ia ceritakan menunjukkan bahwa ia pun sebenarnya tidak serta merta sepenuhnya larut dalam privilese yang terberi itu. Hal tersebut tampak dari beberapa titik penting dalam kehidupan Toeti, seperti misalnya keputusan untuk berpindah jurusan kuliah dari Kedokteran menjadi Psikologi (dan kemudian merambah ke Filsafat), kegigihan dalam menuntaskan kuliahnya dalam keadaan hamil dan pergi-pulang Jakarta-Bandung, keberanian untuk pindah ke Jakarta dan memulai kehidupan baru tanpa ditemani oleh suami, sampai keputusannya untuk menjadi penyair. Pada episode-episode kehidupan tersebut, Toeti menghadapi momentum-momentum pergulatan yang penuh pertaruhan.

Toeti mengaku masuk Kedokteran UI dengan konsentrasi fisiologi karena menuruti kemauan ibunya. Meski tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti kuliah, ia terus mempertanyakan esensi dari eksistensi manusia, yang menurutnya tidak hanya terbatas pada aspek badaniah tetapi juga meliputi kejiwaan. Hal tersebut membawanya berpindah jurusan ke Psikologi, yang berarti mengingkari keinginan ibunya, memutus kesempatan untuk bisa menjadi dokter yang notabene berpenghasilan besar untuk mendalami ilmu pada saat itu belum populer dan terlalu diminati oleh masyarakat Indonesia secara umum.

Setelah kembali ke Bandung setelah menyelesaikan kuliahnya di Belanda dan diperistri oleh Noerhadi, seorang ahli kultur jaringan di ITB, dan menjadi ibu dari sepasang putri kembar, Toeti memutuskan untuk melanjutkan studinya di UI. Menjalani studi pascasarjana saja bukanlah hal yang mudah, masih ditambah dengan keadaan mengandung dan harus bolak-balik Bandung-Jakarta. Toeti menjalani semua itu karena belum merasa puas dengan dua gelar Sarjana Muda yang sudah dipegangnya, serta menjadi pengajar sekaligus istri dan ibu–suatu kondisi yang mungkin bagi beberapa orang sudah ‘cukup’.

Bahkan setelah menuntaskan studinya dengan penuh perjuangan itu, Toeti masih menantang dirinya lagi dengan memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Toeti menulis dalam autobiografinya bahwa ia mengatakan pada Noerhadi, “tanpa atau dengan ijin, saya tetap pergi,” sesuatu yang kemudian ia refleksikan sebagai “point of no return”. Ia memboyong anak-anaknya ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru tanpa didampingi suaminya yang bertahan di Bandung. Ia menjual perhiasan yang dimilikinya untuk mencari tempat tinggal sampai akhirnya mendapatkan rumah di Jalan Cemara yang ia jadikan galeri seni sekaligus kediaman pribadi tersebut. Rumah itu semenjak kepergiannya kini juga menjadi perpustakaan dan museum yang bisa dikunjungi publik.

Meski sudah mendapatkan ruang yang luas di ranah akademik, Toeti juga masih mencari ruang-ruang lain yang bisa dimasukinya untuk menyalurkan gagasan-gagasannya. Ia memilih sastra, khususnya puisi, yang menurutnya merupakan wadah yang tepat untuk “mencatat kesan-kesan”–sesuatu yang tidak dimungkinkan oleh penulisan ilmiah dengan struktur dan tatanan yang baku. Toeti sendiri pun mengakui bahwa keputusan menjadi seorang penyair mungkin menyalahi sama sekali bayangan atau harapan ayahnya yang dibesarkan dengan teori-teori eksakta. Namun, keputusan yang berani tersebut sekali lagi memberikan makna yang lebih berarti dalam perjalanan (baca: pencarian) hidupnya.

Saya memang belum tuntas dalam menggali kehidupan seorang Toeti Heraty. Bahkan barangkali saya tidak akan pernah mencapai titik ketuntasan itu, layaknya Toeti sendiri yang tidak menutup ceritanya dengan “pencarian sudah selesai”. Namun, paling tidak sampai pada titik ini saya disadarkan dengan kenyataan bahwa hal-hal yang terberikan tidak selamanya menjauhkan seseorang dari pertaruhan dan perjuangan.

--

--

No responses yet