Tren Sastra: Negosiasi Eksplorasi dan Konvensi
Bukan suatu ketidaksengajaan atau keisengan bagi saya untuk datang ke Kedai Patjarmerah di Pos Bloc pada Sabtu kemarin (4/1). Saya sengaja datang ke sana karena didorong oleh ketertarikan untuk mendengarkan salah satu diskusi dalam rangkaian acara Daur, yakni sesi bertajuk “Kilas Balik Sastra” yang menghadirkan narasumber Martin Suryajaya dan Dewi Anggraeni.
Saya datang dengan ekspektasi dalam kepala, bahwa sesi tersebut akan sedikit banyak menyentuh sejarah sastra atau paling tidak membahas fenomena-fenomena sastra yang menarik untuk dikunjungi kembali dalam perjalanan Sastra Indonesia. Ternyata pembahasan yang dibicarakan jauh lebih menarik, yakni terkait tren dalam Sastra Indonesia sepanjang tahun 2024–soal yang sebelumnya tidak terpikir oleh saya untuk dibahas pada momentum pergantian tahun.
Pembicaraan diawali dengan pertanyaan terkait pandangan kedua narasumber tentang tren yang terjadi pada 2024–apakah ada tren tertentu yang menarik atau bisa dibilang baru. Kedua narasumber bersepakat bahwa tidak ada eksplorasi yang bisa dibilang ‘mendobrak’ sepanjang setahun terakhir, tidak dalam hal tema, tidak juga bentuk.
Martin merasa bahwa dalam lima tahun terakhir tidak ada kebaruan yang signifikan, ditandai dengan masih banyaknya karya yang menjadikan latar tempat dan elemen-elemen kultural regional sebagai penggerak cerita. Selain itu, komunikasi yang terjalin antara penulis dengan pembaca melalui karya pun juga masih cenderung sama, yakni penulis cenderung berupaya memberikan informasi yang sebanyak dan sejelas mungkin kepada pembaca.
Masih jarang di Indonesia, menurut Martin, karya-karya yang bersifat understatement seperti layaknya tulisan sejumlah sastrawan Jepang atau Korea, di mana penulis seakan tidak memiliki tugas atau tanggung jawab untuk membuat cerita yang ‘utuh’ dalam artian tidak ada loophole.
Lebih lanjut, Reni menarik rentang waktu pengamatannya lebih jauh sampai ke momen kemunculan Reformasi, atau 26 tahun lalu. Sepanjang periode waktu tersebut, menurutnya tren tema yang diusung oleh penulis Indonesia masih cenderung sama, yakni isu-isu sosial yang sifatnya ‘kritis’.
Kecenderungan yang berlangsung sampai hari ini adalah penulis Indonesia berupaya merespons situasi sosial politik melalui karyanya. Padahal, semangat itu sudah ada–dan sempat mendominasi–pada periode 1950–60-an khususnya dengan keberadaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebagai konsekuensinya, seringkali karya sastra tampak tidak ada bedanya dengan berita di surat kabar. Padahal, semestinya sastra menjadi ruang untuk mengekspresikan narasi personal, satu aspek yang sekiranya tidak akan diperoleh dari tulisan-tulisan yang menghadirkan data-data keras dan dingin.
Meski demikian, Reni menggarisbawahi perubahan cenderung positif pada ekosistem sastra yang ditandai dengan kemunculan dan perkembangan ruang-ruang baru untuk kritik sastra yang didukung dengan pemanfaatan media digital. Sebut saja misalnya bacapetra.co (Klub Baca Petra) yang menerima submisi naskah karya dan kritik sastra, tengara.id (Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta) yang khusus memuat kritik sastra, dan kalamsastra.id (Salihara) sebagai wujud reaktivasi majalah Kalam yang pada masanya sempat menjadi semacam ‘gatekeeper’ Sastra Indonesia. Ruang-ruang tersebut mampu menghidupkan kembali geliat kritik sastra yang kerap dianggap sudah mati suri selama beberapa tahun terakhir–tidak seimbang dengan produksi karya sastra.
Selain itu, Reni juga mendapati 2024 sebagai momentum menguatnya komitmen dalam pelibatan sastra dalam pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan munculnya beberapa inisiatif seperti Sastra Masuk Kurikulum–terlepas dari semua kekisruhan yang sempat terjadi, yang sempat ditegaskan dua kali oleh Reni–oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan penyusunan Peta Sastra Kebangsaan oleh Salihara.
Inisiatif-inisiatif tersebut menurut Reni membantu orangtua dan guru dalam menentukan karya sastra yang bisa diperkenalkan kepada anak atau murid, sehingga sastra menemukan tempatnya di lingkup rumah atau sekolah. Berdasarkan semua itu, Reni menyimpulkan bahwa terlepas minimnya eksplorasi di ranah pengkaryaan, pada 2024 terjadi peningkatan dan perkembangan pada aspek ‘kegiatan’ yang mengisi ekosistem sastra–satu kecenderungan positif yang tidak bisa serta merta dikesampingkan juga.
Pembicaraan semakin menarik (baca: menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut dalam kepala saya) ketika mulai muncul kata-kata seperti “keberulangan”, “terkungkung”, dan “begini-begini saja” yang digunakan untuk menggambarkan kondisi Sastra Indonesia. Kembali pada penyampaian kedua narasumber tentang tidak adanya eksplorasi yang menggebrak selama 2024, Martin lebih lanjut menyampaikan pengamatannya atas lanskap sastra Indonesia modern.
Menurutnya, sastra Indonesia berada pada siklus yang mengalami keberulangan, berayun di antara dua ekstrem yakni eksplorasi dan pengkaryaan (craftsmanship). Titik yang pertama tampak pada karya-karya yang muncul pada periode 1960–70an, kemudian dekade 1990–2000-an khususnya setelah jatuhnya Orde Baru. Sementara itu, titik yang kedua terjadi pada periode 1980–1990-an dan 2000–sampai hari ini.
Sebagai pembuktian, Martin sempat menggunakan Pernyataan Pertanggungjawaban Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dalam tiga kali pelaksanaan terakhir sebagai contoh. Ia mendapati kecenderungan para juri menjadikan aspek kerapian, keutuhan, dan–merujuk langsung pada istilah yang digunakan narasumber–‘ke-OCD-an’ dalam menulis sebagai indikator penilaian.
Pada titik ini saya tidak bisa mencegah diri saya sendiri untuk tersenyum karena teringat proses penjurian Sayembara Novel DKJ 2023 yang saya lakukan bersama Zaky Yamani dan Azhari Aiyub. Pernyataan Martin ada benarnya. Kami pada saat itu memang ‘masih’ menjadikan craftsmanship sebagai indikator penilaian, meski–yang barangkali perlu digarisbawahi dan mungkin bisa dianggap sebagai bentuk pembelaan saya–kami tetap membuka ruang untuk eksplorasi.
Terkait eksplorasi pun Martin juga berkomentar dengan menjadikan Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, pertama kali terbit pada 1968, sebagai contoh. Setelah membacanya kembali, Martin menyadari betapa ‘berantakannya’ karya tersebut, bahkan sampai mempertanyakan bagaimana kemudian Iwan Simatupang dianggap sebagai maestro sastra dengan karya yang demikian.
Semua penjelasan yang disampaikan Martin, ditambah pengalaman saya menjadi juri Sayembara Novel DKJ, memunculkan pertanyaan yang cukup mengganggu dalam kepala saya: sejauh mana suatu karya bisa dianggap sebagai eksplorasi, dan sejauh mana suatu karya merupakan kegagalan craftsmanship?
Pertanyaan berikutnya muncul dalam kepala saya ketika kata “terkungkung” mulai digunakan, awalnya oleh moderator dan berikutnya oleh para narasumber. Secara khusus, Reni mengaitkannya dengan pernyataannya sebelumnya terkait kecenderungan penulis Indonesia untuk selalu merespons isu-isu sosial. Saya menangkap narasumber memaknai tendensi tersebut sebagai tanda bahwa penulis Indonesia telah ‘terkungkung’ sehingga tidak mampu melakukan eksplorasi. Kata tersebut menurut saya adalah ekspresi yang cukup kuat dan terkesan definitif. Atau paling tidak, terlalu definitif dan konklusif untuk suatu entitas secair sastra sebagai salah satu bentuk praksis kebudayaan.
Saya kemudian mulai bertanya-tanya, bagaimana jika kemudian respons terhadap isu sosial memang merupakan karakteristik dari Sastra Indonesia? Jika di Jepang dan Korea ada sastra yang bersifat understatement, kemudian kawasan Amerika Latin dikenal dengan genre sastra realisme magis, apakah tidak mungkin jika kita menjadikan ‘sastra yang terlibat’ sebagai kekhasan Sastra Indonesia? Mengapa kita perlu menyebutnya sebagai keterkungkungan?
Semua pembicaraan tentang tidak banyaknya eksplorasi atau inovasi selama 2024, lima tahun terakhir, atau bahkan dua dekade terakhir, mengarah pada pendapat bahwa sastra Indonesia ‘begini-begini saja’. Karya-karya sastra lahir untuk merespons situasi sosial, tetapi tidak mampu mempengaruhi situasi sosial.
Pendulum yang berayun ke arah craftsmanship atau pun narasi yang digerakkan oleh latar tempat diperkirakan juga akan bertahan selama beberapa tahun depan. Sampai di sini dalam kepala saya muncul sejumlah pertanyaan lain: urgensi apa yang mendorong sastra Indonesia untuk keluar dari dua titik ekstrem yang selama ini menjadi jalur pergerakannya? Dampak apa yang diharapkan dari eksplorasi atau inovasi dalam penulisan karya sastra?
Pada akhirnya semua pertanyaan itu tidak dapat dijawab seketika. Jawabannya barangkali akan kita temukan sepanjang perjalanan 2025 dengan semua upaya bernegosiasi antara eksplorasi dan konvensi. Atau bahkan belum akan kita temukan dalam waktu dekat. Tapi paling tidak saya percaya bahwa sastra akan menemukan jalan, kecepatan, dan tujuannya. .