Wahana dan Alih Wahana di Era Data
Setiap kali mendengar kata “alih wahana” yang muncul dalam kepala saya adalah wajah mendiang Sapardi Djoko Damono, yang sempat dua atau tiga kali saya ikuti secara langsung kuliahnya sebagai mahasiswa pascasarjana Sastra UI.
Ketika saya menempuh mata kuliah Kajian Alih Wahana pada semester ketiga, buku Alih Wahana bersampul kuning dengan judul yang ditulis menggunakan percampuran beragam jenis huruf yang ditulis Sapardi menjadi buku teks wajib bagi para mahasiswa. Tentunya Alih Wahana merupakan satu dari sekian referensi yang harus saya pelajari pada saat itu, tetapi terdapat beberapa elemen unik dalam buku tersebut yang sampai hari ini masih teringat jelas dalam kepala saya.
Selain penulisan judul di sampul yang mengindikasikan upaya untuk menunjukkan makna dari kerja-kerja alih wahana, buku tersebut menggunakan analogi yang cukup menarik di bagian pembuka untuk menjelaskan keragaman media, yakni kokok suara ayam yang dibunyikan dan dituliskan dalam cara yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Jika di Indonesia penulisan yang umum adalah “kukuruyuk”, di Italia “co-co-dè, co-co-dè”, sementara di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris “cluck cluck”.
Satu hal lagi, kali ini sifatnya berkaitan dengan substansi, yang membekas dalam ingatan saya adalah upaya Sapardi untuk menegaskan cara pembacaan yang lebih mendalam dan terperinci untuk membaca kerja-kerja perpindahan media atau wahana. Salah satunya seperti penggunaan istilah “ekranisasi” alih-alih “adaptasi” yang lumrah digunakan saat kita berbicara tentang pengalihwahanaan sastra ke film. Konsep tersebut dalam perkembangannya berhasil mengisi ruang-ruang penelitian kontemporer, khususnya dalam konteks riset akademis.
Dengan bekal ingatan–dan didikan–tersebut, saya cukup beruntung untuk mendapatkan kesempatan menjadi moderator pada sesi diskusi Sastra dan Sains: Kata, Citra, Data pada Sabtu (1/4). Kegiatan yang diselenggarakan oleh tengara.id bekerja sama dengan Rubanah Underground Hub tersebut menghadirkan Martin Suryajaya dan Grace Samboh sebagai narasumber untuk membahas tentang eksistensi dan peran wahana serta kerja-kerja alih wahana khususnya dalam konteks sastra dan seni rupa. Tentu pembahasan terkait hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, baik dalam lingkaran sastra maupun lingkaran seni.
Namun, diskusi kemarin menawarkan gagasan yang sangat kontekstual di tengah perdebatan sengit terkait dualisme potensi dan risiko, manfaat dan mudarat, juga ketertarikan dan ketakutan yang dihadirkan oleh teknologi kecerdasan buatan di tengah-tengah kehidupan kita dewasa ini. Secara khusus, diskusi kemarin berfokus pada upaya untuk memikirkan kembali respons-respons artistik terhadap karya sastra–yang telah menjadi praktik kreatif tengara.id dalam mempublikasikan tulisan-tulisan kritik sastra di setiap edisinya.
Respons-respons artistik terhadap karya sastra memiliki elemen-elemen yang mengindikasikan terjadinya kerja-kerja alih wahana, tetapi sesungguhnya tidak terbatas pada perpindahan media. Yang terjadi sesungguhnya adalah interpretasi visual yang melibatkan proses kreatif baru, menghasilkan karya yang baru, dan terkadang mengarah pada perbincangan baru. Lalu bagaimana respons artistik terhadap karya sastra bekerja di suatu masa ketika mesin bisa menghasilkan karya seni rupa dalam jangka waktu sekian detik dengan berbekal masukan teks yang dinamakan sebagai prompt?
Martin Suryajaya selaku narasumber pertama, yang akhir-akhir ini juga bereksperimen dengan kecerdasan buatan dalam melakukan pembacaan atas karya sastra, melalui paparannya “Tergantung pada Data” menjelaskan pergeseran yang bisa dibilang cukup radikal dalam dunia seni dan sastra saat ini dengan adanya kebangkitan data.
Terdapat tiga hal pokok yang ditawarkan oleh Martin Suryajaya, meliputi doktrin kekhasan wahana, peleburan wahana dalam data, dan kesenimanan setelah kecerdasan buatan. Martin membuka paparannya dengan mengajak audiens kembali ke abad ke-19 dan ke-20 ketika sastra dan seni “terjebak” dalam belenggu wahana agar dapat mencapai identitas utuhnya sebagai karya sastra dan karya seni. Kecerdasan buatan dewasa ini meradikalkan semua kritik yang muncul terhadap doktrin kekhasan wahana dengan meleburkan wahana ke dalam data melalui apa yang disebut dengan tokenisasi.
Spesialitas wahana yang sebelumnya dibangun melalui kekhasan kata–sebagai unsur terkecil dari tulisan atau sastra–dan citra sebagai unsur terkecil dari seni rupa–sekarang dilebur menjadi data kuantitatif yang digunakan mesin generative artificial intelligence untuk menghasilkan “karya” berbekal prompt. Algoritma text-to-image (seperti Stable Diffusion), image-to-text (auto-caption), text-to-audio dan image-to-audio (seperti Google MusicLM) menandai berakhirnya logika kewahanaan. Dan data tidak bisa dianggap sebagai wahana karena data tidak mengenal kekhasan: setiap data pada dasarnya adalah angka–tegas Martin dalam paparannya.
Pertanyaannya kemudian, apa yang tersisa dari kerja-kerja seni? Martin menawarkan jawaban–yang agaknya tidak semudah itu juga untuk kita dengar apalagi mengamininya–bahwa fenomena tersebut memberikan jarak terhadap–apa yang saya sebut–”cara pandang antroposentris” dalam kerja-kerja kreatif. Selama ini, sastra dan seni dipenuhi dengan keakuan manusia sebagai kreator dengan intuisi, kreativitas, bakat, ilham, dan hal-hal lain yang digadang-gadangkan hanya dimiliki manusia, sehingga menjadikannya superior di atas makhluk hidup lain, apalagi benda-benda yang tidak bernyawa, sebut saja seperti komputer dan internet.
Penjelasan Grace Samboh berikutnya pada beberapa titik menegaskan pesan yang tersirat dari paparan Martin Suryajaya, yakni bahwa wahana–dan alih wahana–memiliki titik kerentanannya sendiri. Hal tersebut hadir melalui penjelasannya tentang karya-karya puisi konkrit dan cerpen Danarto, khususnya yang judulnya ditulis menggunakan citraan not balok dan berisi teks yang dibentuk sedemikian rupa serta dilengkapi dengan ilustrasi busi yang ditempeli setangkai bunga yang terbit di medio 1970-an.
Cerpen itu mengisahkan tentang sebuah mesin ketik yang jika digunakan untuk mengetik nama seseorang, mampu menunjukkan kepada penggunanya lokasi dan tindakan seseorang empunya nama secara waktu nyata–fenomena yang menjadi praktik keseharian dewasa ini dengan berkembangnya media sosial.
Meski lebih dikenal sebagai sastrawan, Grace berhasil menunjukkan melalui penjelasannya bahwa Danarto sebenarnya tidak berdiri semenjejak itu pada satu jenis wahana. Danarto, meminjam istilah Martin, sebenarnya sudah menjadi “pengungsi wahana”, bahkan jauh sebelum kecerdasan buatan bangkit dan meleburkan wahana menjadi data yang tidak memiliki kekhasan, bahkan ketika internet masih dalam proses riset dan uji coba.
Oleh karena itu, jika Grace pada pembuka penyampaiannya dengan menekankan kemampuan Danarto untuk membahas fenomena yang baru menjadi kelumrahan tiga sampai empat dekade kemudian dari pertama kali cerpennya diterbitkan, ada satu hal lain yang patut menjadi pertanyaan berikutnya yakni bagaimana Danarto meleburkan garis-garis pemisah antara satu wahana dengan wahana lain ketika pada saat itu gagasan kekhasan wahana sedang bergemuruh di sekitarnya?
Diskusi yang berlanjut di sesi tanya jawab juga tidak kalah menarik, mengindikasikan adanya keragaman pendapat di antara audiens yang memiliki latar belakang dari dunia sastra dan seni. (Ketika saya menulis ini dari balik kepala saya muncul pertanyaan apakah masih perlu menyebutkan A dari lingkaran sastra dan B dari lingkaran seni jika wahana sudah lebur jadi data pada 1970-an Danarto sudah menjadi pengungsi wahana?)
Beberapa mengutarakan optimismenya dengan perkembangan kecerdasan buatan dan penggunaannya dalam penciptaan karya, sementara yang lain merasa agensi manusia masih menjadi syarat yang tidak tergantikan (paling tidak untuk saat ini) dalam proses kreatif. Pada akhirnya, semua orang saat ini memang masih bertanya-tanya, masih mengira-ngira, masih meraba-raba. Perkembangan–dan dominasi–algoritma deep learning telah menunjukkan keunggulannya dan kelemahannya, juga masih menyimpan misteri black box yang memungkinkan kita melihat masukan dan output-nya tetapi tidak proses yang terjadi.
Paling tidak menurut saya, leburnya wahana tidak berarti sastra dan seni sekonyong-konyong mati atau kehilangan maknanya dalam kehidupan manusia dengan dibersamai oleh teknologi digital atau tidak.