Orde Baru sebagai Drama Baru

Dhianita Kusuma Pertiwi
7 min readDec 3, 2023

--

Bukan pertama kalinya dalam satu dua tahun terakhir ini, Megawati Soekarnoputri muncul di publik dengan pernyataan yang mencuri perhatian masyarakat dan kalangan elit politik. Sebelumnya saya sudah pernah menulis semacam surat terbuka (yang tentu saja tidak akan beliau baca) tentang pernyataan Megawati ketika mengomentari tentang isu kenaikan harga minyak goreng pada pertengahan tahun lalu.

Belum lama ini, Megawati kembali menyampaikan pernyataan yang cukup fenomenal dalam pidatonya di acara konsolidasi relawan pendukung Ganjar-Mahmud MD (27/11) yang berdurasi hampir 50 menit. Tanpa menyebutkan nama secara spesifik, Megawati melontarkan pertanyaan-pertanyaan retorik yang mengandung unsur kritik: “Bolehkah kamu menekan rakyat? Bolehkah kamu memerintah apapun juga kepada rakyat melalui perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia ini?” Pertanyaan itu disambut dengan tepuk tangan riuh dari para peserta kegiatan.

Megawati Soekarnoputri saat bertemu Soeharto pada 5 Februari 1994. (Dok. Kepustakaan Presiden)

“Mestinya Ibu nggak perlu ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Karena apa? Republik ini penuh dengan pengorbanan. Tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?” lanjutnya kemudian.

Saya sebenarnya tidak berniat untuk mengomentari pernyataan tersebut karena keterkaitannya yang terlalu terang dengan kontestasi politik menjelang Pemilu Presiden. Bahkan sampai keluar pernyataan Kaesang Pangarep untuk merespons pernyataan tersebut, saya belum ingin berkomentar atau membuat tulisan apa pun. Kepada media Kaesang menyatakan “Saya nggak tahu maksudnya definisi seperti Orde Baru seperti apa dulu. Karena saya sendiri kan saya tidak mengalami. Karena waktu itu saya masih umurnya kecil, jadi saya nggak mengalami.”

Sampai akhirnya beberapa kawan saya mulai membuat kiriman di media sosial dengan merujuk pada salah satu buku yang saya tulis, Mengenal Orde Baru. Bahkan beberapa di antara mereka menitipkan ‘harapan’ agar ada semacam diskusi tentang Orde Baru untuk kalangan politisi muda agar mereka tidak ahistoris.

Balasan saya untuk merespons pembicaraan itu hanya terbatas pada tertawa atau mengirimkan emoticon karena sebenarnya saya beranggapan bahwa semua ini barangkali tidak lebih dari sekadar panggung drama yang sengaja dirancang oleh para elit politik. Bagian dari strategi komunikasi untuk menggiring opini publik terhadap sosok atau golongan tertentu atau mengarahkan dukungan suara kepada calon tertentu.

Selain itu, saya juga punya pengalaman kurang mengenakkan pada momentum mendekati Pemilu Presiden 2019. Di tengah situasi opini masyarakat yang sudah terdikotomi, saya mendapatkan tudingan sebagai pendukung A saat menulis kritik tentang B dan sebaliknya dituding sebagai pendukung B saat menyampaikan kritik tentang A. Semua itu melelahkan secara psikologis. Terutama bagi saya yang dengan sadar selalu memilih berdiri di luar ring politik praktis dan memandangi pergerakannya dari bangku penonton untuk sesekali menyampaikan sorakan-sorakan kecil.

Namun, pada akhirnya sampailah saya di sini. Membaca sumber-sumber berita. Mengintip lagi entri-entri dalam Mengenal Orde Baru. Menulis artikel ini. Semoga kali ini saya cukup beruntung tidak lagi dituding macam-macam.

Saya ingin memulai dari pertanyaan-pertanyaan retorik yang disampaikan Megawati yang ia sangkut pautkan dengan Orde Baru. Dalam kaitannya dengan pemilihan umum, Megawati memang memiliki pengalaman sebagai pihak yang dikalahkan oleh Orde Baru. Keberhasilan Soeharto dan pemerintahannya untuk bertahan selama 32 tahun disokong oleh kemenangan Golkar pada semua pemilu yang diselenggarakan pada 1971, 1973, 1977, 1982, 1987, dan 1997. Kemenangan tersebut tidak diperoleh melalui cara pengumpulan suara yang sesuai dengan asas demokrasi, melainkan melalui klientelisme dan intervensi politik.

Soeharto memasukkan surat suaranya pada pelaksanaan Pemilu 2 Mei 1977, di Jakarta (ANTARA)

Dari segi intervensi politik, pemerintah sempat memberlakukan penggabungan partai politik menjelang pemilu 1973. Empat partai Islam digabungkan menjadi Partai Persatuan pembangunan. Tiga partai nasionalis dan dua partai Kristen dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dan satu partai lagi adalah Golkar sebagai partai tunggal. Pada 1982, Soeharto sempat menyampaikan bahwa fusi atau penggabungan tersebut dilakukan untuk membuat pelaksanaan pemilu menjadi lebih terkendali. Sementara Golkar tidak digabungkan dengan partai-partai lain karena Golkar merupakan satu-satunya partai yang benar-benar berasaskan Pancasila.

Selain itu, pemerintah juga menerapkan sejumlah kebijakan guna mengarahkan dukungan masyarakat untuk Golkar. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri №12 Tahun 1969, pemerintah melarang pegawai negeri sipil terlibat dalam partai politik dan mengharuskan mereka mendukung Golkar. Dalam implementasi aturan tersebut, sejumlah pegawai negeri sipil di daerah sempat mengalami pembuangan selama beberapa tahun sebagai bentuk hukuman karena menolak memberikan suara mereka kepada Golkar saat pemilu.

Berlanjut ke era 1980-an, pemerintah Orde Baru sengaja tidak menaikkan gaji pegawai negeri sipil selama bertahun-tahun atau hanya memberikan kenaikan gaji yang sangat rendah untuk pegawai negeri sipil. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan dependensi mereka terhadap pemerintah dan pada akhirnya memberikan dukungan untuk Golkar. Pada saat yang sama, pasukan hansip di desa-desa diberi tanggung jawab untuk memberikan pelatihan bela negara kepada PNS dan menggiring masyarakat untuk memilih Golkar.

Di tengah dominasi Golkar, tepatnya menjelang pemilu legislatif 1987, Megawati bergabung dengan PDI hasil fusi yang di dalamnya terdapat Partai Nasional Indonesia, partai bentukan Sukarno. Megawati mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan mendapatkan sokongan berarti dari statusnya sebagai putri Sukarno yang juga baru saja ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamasi oleh pemerintah pada 1986. Setelah merasakan bangku dewan, Megawati tidak lagi terpilih pada pemilu legislatif berikutnya tetapi tetap menjadi anggota PDI.

Pada 1993, PDI menyelenggarakan kongres nasional untuk menentukan ketua umum PDI berikutnya. Posisi tersebut diperebutkan oleh tiga orang calon, yakni petahana Soerjadi, Budi Harjono, dan Megawati. Di sinilah Orde Baru mulai melakukan intervensi karena melihat Megawati sebagai sebuah ancaman. Pemerintah memerintahkan kongres untuk menunda pemilihan ketua umum, sampai akhirnya Megawati mengadakan konferensi pers dan menyatakan diri sebagai ketua umum PDI de facto dengan dukungan dari mayoritas anggota partai.

Meski demikian, pemerintah tidak mengakui kepemimpinan Megawati. Pada 1996, pemerintah menggelar kembali kongres nasional di Medan untuk menjadikan Soerjadi Kembali sebagai ketua umum PDI. Megawati dan pendukungnya menolak untuk mengakui hasil tersebut dan akhirnya PDI terbagi menjadi kubu pro-Megawati dan pro-Soerjadi. Di tengah perpecahan tersebut, pada 27 Juli 1996 kubu Soerjadi mengancam akan merebut kembali Markas Besar PDI di Jakarta. Ancaman tersebut bergulir menjadi serangan terhadap kantor markas yang di dalamnya telah diduduki oleh pendukung Megawati.

Gerombolan pendukung Soerjadi yang mendatangi markas besar PDI selanjutnya diketahui telah digerakkan oleh pemerintah Orde Baru. Mereka terdiri dari anggota militer berpakaian sipil dan anggota Pemuda Pancasila. Sejak pagi, massa tersebut melempari batu ke arah kantor markas. Situasi semakin memanas ketika massa semakin membludak dan merangsek ke dalam gedung.

Suasana penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996 (Kompas/ Eddy Hasby)

Sejumlah pendukung Megawati yang bertahan di dalam gedung ditahan oleh massa. Sementara demonstran yang berada di jalan membakar fasilitas umum seperti bus dan bangunan di sekitar kawasan Menteng, Salemba, dan Kramat. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau Peristiwa Sabtu Kelabu dan terus diingat sebagai salah satu babak gelap dalam sejarah politik Indonesia.

Sejumlah pengamat politik telah melakukan pembacaan atas penyampaian Megawati. Mereka menilai bahwa Megawati sedang mengomentari intervensi pemerintah terhadap proses penentuan calon presiden dan calon wakil presiden yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Isu tersebut memang sudah cukup lama mencuat khususnya dengan partisipasi Gibran Rakabuming dalam pertarungan pemilu mendatang sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Banyak yang beranggapan pemerintah melakukan intervensi terhadap putusan MK untuk melancarkan proses pemajuan Gibran sebagai anak presiden yang menjabat saat ini untuk menjadi calon wakil presiden.

Mengingat latar belakang pengalaman yang dihadapi Megawati ketika Orde Baru masih berkuasa, agaknya tidak terlalu mengherankan jika Megawati merasa berhak menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah dalam konteks pemilu yang akan datang. Meski demikian, tetap saja ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Salah satunya: seperlu apa sebenarnya memasukkan “Orde Baru” dalam pernyataan tersebut?

Pertanyaan itu muncul karena sebenarnya ini bukan pertama kalinya pemerintahan saat ini dituding seperti mengulangi hal-hal yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Bahkan sempat muncul istilah “neo-Orde Baru” pada 2019 di tengah polemik revisi Undang-Undang KPK. Istilah tersebut juga sering digunakan oleh masyarakat untuk menilai cara pemerintah mengatasi demonstrasi atas penolakan UU Revisi KPK dan pengesahan UU Cipta Kerja. Pihak-pihak lain juga menyoroti kecenderungan impunitas pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai salah satu ciri yang mengisyaratkan karakteristik dari rezim Orde Baru.

Semua hal tersebut pada beberapa titik memang ada benarnya karena terdapat intervensi terhadap jalannya proses penegakan hukum dan demokrasi. Namun, saya mempertanyakan sejauh mana penilaian tersebut bermakna jika munculnya juga dari sosok yang masih punya kepentingan langsung dengan politik praktis. PDI Perjuangan selama ini memang memosisikan diri sebagai partai pendukung yang tetap kritis terhadap pemerintahan. Namun, bukan berarti jalannya selalu sejalan dengan konstitusi. Kita perlu mengingat juga isu yang muncul awal November lalu tentang pakta integritas yang menunjukkan dugaan keterlibatan Badan Intelijen Nasional untuk memenangkan Ganjar Pranowo.

Menurut saya, komentar semacam itu masih memiliki bobot jika disampaikan oleh masyarakat sipil non elit politik dalam menilai kinerja pemerintahannya. Meski demikian, penggunaan istilah-istilah dan klaim-klaim sedemikian tetap perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Kita mungkin bisa berkaca dari istilah Neo-Nazism yang merujuk pada gerakan atau ideologi Nazi yang berkembang pasca Perang Dunia II.

Orang-orang yang terlibat dalam Neo-Nazi secara terang menunjukkan persetujuan dan dukungan terhadap gagasan, nilai, dan praktik yang sempat digelorakan oleh Hitler dan partai Nazi. Istilah “neo” digunakan karena sudah dilakukan sejumlah upaya untuk menghancurkan kekuasaan Nazi “lama”, termasuk salah satunya melalui persidangan Nuremberg yang digelar untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan penjajahan selama Nazi Jerman berkuasa.

Saya sendiri lebih cenderung memilih untuk menggunakan istilah-istilah yang mengarah pada “keberlanjutan” Orde Baru sampai hari ini. Karena memang pada nyatanya belum ada langkah-langkah strategis yang dilakukan negara atau jaringan internasional untuk sepenuhnya memutus gagasan, nilai, dan praktik yang berlaku di pemerintahan Orde Baru. Satu hal yang saya khawatirkan adalah penggunaan istilah-istilah yang kurang tepat pada akhirnya malah memunculkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalihkan kesalahan yang dilakukan satu pihak kepada pihak yang lain.

Sementara itu, komentar balasan Kaesang. Sikap “masa bodo” atau tidak tahu menahu yang ia tunjukkan menurut saya tidak lebih dari strategi komunikasi yang ia gunakan mengingat posisinya saat ini yang juga masuk dalam ring politik nasional. Karena rasa-rasanya tidak mungkin jika ia sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru. Pernyataan yang ia sampaikan tidak lebih dari upaya untuk memperkeruh drama politik yang melibatkan elemen relasi keluarga. Meski demikian, pernyataan tersebut memang berpotensi menimbulkan kecenderungan ahistoris khususnya di kalangan generasi muda yang melihat sosok Kaesang sebagai figur publik.

Pada akhirnya, kita juga masih akan tetap berada di bangku penonton dan menyimak semua drama ini berlangsung. Yang kita perlukan adalah teropong untuk melihat secara lebih jelas makna di balik setiap dialog dan tindakan para pemain di atas panggung yang sekilas tampak baru dan memukau.

--

--

No responses yet